Penulis amat senang atas tulisan Fachry Ali ("Kompas", 17/4/2018), yang menanggapi tulisan penulis dengan judul sama, "Ekonomi Pasar Pancasila", sebelumnya.

Fachry ringkasnya menyimpulkan dengan gambaran empat pelaku "ekonomi akar rumput" sebagai representasi ekonomi pasar Pancasila (EPP). Sementara EPP yang penulis gambarkan (antikonsentrasi kekayaan sebagai pengaruh agama dan sistem nilai), menurut Fachry, belum berjalan. Fachry menggambarkan EPP dekat dengan konstruksi CMEs (Coordinated Market Economies) yang telah berjalan sukses umumnya di Eropa, terutama di Jerman.

Secara umum tulisan Fachry mendekati apa yang penulis maksud dengan EPP secara empiris, tetapi belum komprehensif. Deskripsi Fachry tentang empat figur ekonomi akar rumput sebenarnya oleh Mubyarto telah disebut adanya tiga motif sebagai gambaran EPP, yakni motif ekonomi, sosial, dan moral (Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,LP3ES, 1987).

Membaca gambaran empat figur akar rumput dalam tulisan Fachry, sebenarnya ada unsur harga juga, cuma sudah dikombinasikan oleh motif sosial (secara mikro: asas tolong-menolong yang secara makro pada gilirannya dapat mencegah konsentrasi kekayaan). Juga motif moral (seperti sikap Andi terhadap Abun dalam tulisan Fachry, yang meyakini kalau kita bersikap kasih, yang juga dapat mencegah konsentrasi kekayaan), maka "Allah akan memberi rezeki yang tak disangka-sangka".

"Nusantaranomics"

Gambaran EPP yang lebih diwakili ekonomi akar rumput, menurut Fachry, penulis mengategorikan dalam skala ekonomi subsisten (hanya untuk bertahan hidup). Itu tak sepenuhnya benar. Dalam belasan disertasi yang penulis ikut bimbing dalam konteks ekonomi, kasus-kasus dalam temuan disertasi doktor bidang sosiologi-ekonomi (di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Bengkulu) merepresetasikan "ekonomi lokal". Penulis kemudian memopulerkan sebagai adanya "Nusantaranomics".

Keberadaan ekonomi-ekonomi lokal itu lebih mewakili ekonomi kelas menengah yang omzet umumnya sudah puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Tesis besarnya, dalam pembangunan nasional terdapat endogen power  terutama berupa nilai dan kecerdasan lokal (local genius and values) yang bisa menjelaskan kenapa ekonomi daerah tetap bertahan (resilient) dan kuat (persistent), bahkan kemudian tumbuh berkembang meski bantuan pusat relatif minim atau malahan absen sama sekali. Dalam tulisan ini akan dikemukakan hanya dua kasus, di Bengkulu dan Jawa Barat. Salah satunya adalah kasus dalam disertasi Andi Ishak.

Dalam disertasi tersebut adanya gambaran petani yang mencerminkan keberhasilan dalam kewirausahaan secara kolektif serta berkembangnya ekonomi lokal yang tak terjadi di tempat lain. Hal itu karena para petani  secara kolektif mampu memutuskan konversi dari sawah ke sawit (dan meningkatkan kesejahteraannya) saat harga sawit melonjak 1998-2014) serta mengonversi kembali ke sawah saat harga sawit jatuh 2014-2018. Keberhasilan para petani ini juga karena ada peran regulasi serta peran pemda dan DPRD yang mendukung konversi tersebut.

Kebaruan (novelity) tingkat teori ditunjukkan oleh disertasi Andi Ishak, yakni dengan memakai teori Strukturasi Anthony Giddens yang dikenal dengan Teori Sosiologi-Ekonomi kritis karena melampaui struktural.

Para petani akhirnya dapat memutuskan juga secara otonom sebagai agency (waktu mengonversi sawah jadi kebun sawit atau sebaliknya) yang dapat diterangkan secara kultural (adanya mental kewirausahaan) menghadapi kekuatan besar kalangan konglomerat (nasional atau internasional).

Kasus kedua adalah temuan disertasi Jamilah dengan judul "Ketahanan Industri Bordir: Studi Etika Moral Ekonomi Islami di Tataran Sunda". Dalam disertasi ini ditemukan apa yang dia sebut faktor nilai-nilai dan budaya Islam dalam kegiatan ekonomi daerah yang telah bertahan dan berkembang lebih dari satu abad.

Para pengusaha Islam Sundanis awalnya berangkat dari kegiatan kerajinan skala rumah tangga sebagai hobi kalangan ningrat. Setelah memasuki kemerdekaan, kegiatan ini menjadi kegiatan ekonomi rakyat yang masuk skala ekonomi komersial, terutama sejak Orde Baru dan Reformasi, berkat kebijakan pemihakan dari pemerintah sehingga produknya menjalar ke banyak daerah, termasuk di Tanah Abang.

EEP pada era digital

Selanjutnya pada era Revolusi Industri 4.0 (ekonomi digital), kita pun menyaksikan gejala EPP, yakni adanya korporasi kelas menengah-atas Bukalapak. Pada 2017 nilai transaksi perusahaan ini Rp 10 triliun atau Rp 7 miliar per hari, melibatkan 7 juta perusahaan UMKM. Yang menarik, sebagai bukti adanya gejala EPP, Bukalapak  hanya dapat 1 persen dari omzet keseluruhan.  Dengan demikian, perusahaan ini 99 persen memperkaya orang lain (UMKM). Ini fenomenal karena umumnya perusahaan swasta besar sebagian besar keuntungan jatuh ke pemilik.

Yang masih belum "normal" dalam kerangka EPP adalah belum sepenuhnya ada peran active-state,untuk mengawal agar jika terjadi suntikan dana asing tak serta-merta menggeser menjadi sekadar menyalurkan produk impor asal sebagai penyuntik dana asing tersebut.

Mencermati para pengusaha besar di berbagai bidang yang kehidupannya sebagian besar lebih sebagai economic animal,jenis pelaku ekonomi ini, oleh Kunio disebut sebagai pelaku semu (erzats), atau oleh Yahya Muhaimin disebut sebagai political entrepreneur  dan atau dalam ekonomi politik yang berperilaku sebagai "pemburu rente" (rents seekers). Yakni tipikal pelaku ekonomi yang hanya memburu super normal profit dengan menyiasati berbagai regulasi kalau perlu dengan cara-cara korup.

Itu jelas lebih menunjukkan ekonomi pra-modern (merkantilis dan primitif yang sedang dan akan di-reform oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha di zaman Reformasi ini). Di antara gejala umum itu terdapat juga pengusaha besar yang genuine entrepreneur yang menggambarkan EPP. Meski mereka tak dominan, masih dapat kita temukan. Usahanya (BUMN maupun swasta) patuh terhadap berbagai regulasi, berusaha dan bersaing dalam mekanisme pasar yang normal, di samping mengeluarkan rupa-rupa pengeluaran nonpasar seperti CSR maupun terkait kebajikan agama, seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf tanpa harus mengakibatkan kerugian perusahaan.

Kemudian, yang dalam nuansa generalisasiEPP, Fachry mengimajinasikan akan seperti CMEs atau Ekonomi Pasar Sosial (EPS) di Jerman. Saya tak sepenuhnya setuju dengan konstruksi EPP seperti  EPS. Ada yang cocok (dalam hal adanya active-state dan peran ekonomi sosial untuk memberdayakan UMKM dalam rangka menghindari konsentrasi kekayaan). Sementara yang kurang adalah absennya cooperativisme (ekonomi kekeluargaan seperti disebut dalam Pasal 33 UUD 45 Ayat 1, tetapi yang modern) dan bukan hanya gerakan koperasi sebagai lembaga, melainkan juga cooperatisme di dalam perusahaan BUMN maupun swasta yang menurut penulis merefleksikan spirit keagamaan.

Hal itu merupakan gejala yang ditemukan dalam model Jepang dengan kemitraan/sistem subkontrak antara besar, menengah dan, kecil serta Japan incorporated. Yakni, sinergi antara negara, korporasi, parlemen, dunia riset, dan para diplomat untuk meraih keunggulan di pasar global. Juga dalam sistem manajemen (Total Quality Control, bekerja seumur hidup dalam perusahaan) yang mengungguli sistem MBA ala Barat di mana pada saat krisis, perusahaan Jepang tetap bertahantanpa harus melakukan PHK.

Juga kita temukan dalam sistem politik dengan Demokrasi Konsensus (bukan konfliktual) yang dalam sila keempat Pancasila merupakan demokrasi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" yang lebih mengedepankan gotong royong modern dalam rangka kepentingan nasional yang lebih luas. Tampaknya konstruksi EPP ke depan akan lebih dekat dalam kerangka "Asian way" yang best-practice-nya dapat kita temukan dalam model Jepang.

Untuk konstruksi terakhir, memang masih merupakan cita-cita di masa depan setiap insan Indonesia, terutama elitenya, harus berupaya mentransformasikannya karena ini amanat Konstitusi.