TOTO S

                                                     

Sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa menjelang Hari Raya dan atau hari besar keagamaan biasanya terjadi kenaikan harga pangan tertentu.
Tulisan ini akan mencoba merekonstruksi upaya pengendalian harga pangan berdasar pengalaman, disesuikan dengan perubahan dan keadaan terkini.

Dari pengalaman, terdapat beberapa aspek dalam pengendalian harga yang perlu diketahui. Pertama, pemahaman siklus kalender peristiwanya sendiri. Kedua, pola panen dan perdagangan serta sentra produksi dari komoditasnya. Ketiga, pemahaman atas karakteristik fluktuasi harga pada masing-masing komoditas.

Keempat, kelembagaan yang menangani dan kejelasan pembiyaannya. Kelima, cara pengelolaannya yang mesti konsisten dengan mekanisme harga dan stok. Sinyal pengendalian harga adalah "harga dan keadaan stok yang dikuasai pemerintah", bukan atas dasar estimasi pasokan dibanding permintaan.

Dari segi pemahaman yang perlu diketahui, pasokan komoditas pertanian itu mengikuti kalender matahari dan permintaannya mengikuti kalender bulan (Memahami Siklus Perekonomaina Indonesia, Noer Soetrisno, 2016).

Kemudian, berdasar pengalaman, yang perlu dilakukan pengendalian harga adalah selama tiga bulan pada "masa pesta", yakni bulan Sya'ban (Ruwah), Ramadhan (puasa) dan Syawal (lebaran) atau SRS. Peristiwa lain adalah menjelang Natal dan Tahun Baru dan adanya peristiwa penting seperti pemilu dan perhelatan Asian Games 2018.

Pengendalian harga yang paling menyita perhatian ekstra adalah persiapan siklus 'masa pesta' (SRS) yang waktunya berbarengan dengan masa paceklik. Sebagaimana diketahui, kalender matahari dan bulan itu waktunya bergeser 11 hari setiap tahun. Dengan demikian apabila "waktu" ajang pengendalian harga bulan puasa dan lebaran terjadi "bersamaan" dengan siklus paceklik, misalnya untuk beras dan cabai, maka pengendalian harganya perlu perhatian serius.

Untuk tahun 2018 ini, siklus bulan puasa dan lebaran terjadi pada Mei-Juni, maka upaya pengendalian harga terjadi pada waktu panen padi dan cabai. Oleh karena itu, dari segi pasokan tidak terlalu mengkhawatirkan, tinggal bagaimana mengatur sistem logistiknya supaya lancar.

Pemahaman lain adalah bahwa pengendalian harga pangan itu memerlukan biaya ekstra. Kecuali untuk komoditas yang pasokannya berlebih atau posisi kita sebagai net eksportir, misalnya minyak goreng dan ikan, maka tugas kita adalah memperlancar logistik penyediaannya.

Dengan pemahaman ini, merupakan hal yang tidak mungkin apabila pengendalian harga itu biayanya dibebankan pada pelaku pasar (operator). Apabila pemerintah tidak menyediakan anggaran, hasilnya tidak akan optimal karena beban-beban tersebut akan terbeban pada konsumen atau menjadi kerugian perusahaan.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Pedagang menjajakan daging ayam di Pasar Pagi, Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (11/5/2018). Daging ayang di Cirebon saat ini Rp 35.000 per kilogram atau naik dari pekan lalu Rp 32.000 per kilogram

Pemahaman lain, yakni pengendalian harga itu sebaiknya dengan pendekatan ramah pasar. Kita mempunyai pengalaman pendekatan "non-pasar" pada akhir pemerintahan Presiden Sukarno. Pada tahun 1962 dikeluarkan beberapa peraturan untuk menjerat pelaku pasar beras yang dikenal dengan "undang-undang subversi ekonomi".

Apa yang terjadi? Ketika dilakukan penggeledahan gudang beras, beras di pasar menghilang dan akhirnya harga beras naik tak terkendali pada tahun 1965. Pengalaman penggerebekan gudang beras PT IBU tahun 2017 juga berbuah kegoncangan pasar. Namun, apabila pemerintah merasa perlu melakukannya, sebaiknya cadangan beras pemerintah diperkuat dulu untuk mengantisipasi kelangkaan beras di pasar..

Pola panen yang berbeda-beda.

Tiap komoditas punya pola panen yang berbeda, seperti untuk padi dan cabai itu pola panen rayanya terjadi pada Maret-Juni. Dengan demikian apabila bulan Ruwah, puasa dan lebaran terjadi pada waktu panen, maka dapat diperkirakan pasokannya akan cukup dan kemungkinan harganya akan aman. Namun, harus tetap waspada akan permintaan beras tertentu seperti beras ketan.

Hal ini juga terbantu karena karakteristik petani kita yang umumnya menjual padi untuk persiapan puasa dan lebaran. Namun, apabila pemerintah merasa perlu berjaga-jaga sebaiknya melakukan pengendalian harga atas beras dalam kategori beras kelas premium melalui saluran yang tepat.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pedagang menyiapkan daging sapi pesanan pelanggan di Pasar Senen, Jakarta, Senin (28/11/2016).

Sementara untuk gula, yang sekarang ini mulai masa giling, hal ini juga sangat membantu pasokan gula di pasar. Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, untuk pengendalian harga gula dan terigu adalah dengan menambah alokasi penyaluran sebesar 15-25 persen, bergantung kondisi harga karena seluruh persediaan dikuasai oleh Bulog. Saat ini Bulog memiliki persediaan gula, tetapi karena sifatnya komersial sudah barang tentu efektivitasnya akan kurang.

Untuk terigu dan kedelai, harganya pada puasa dan lebaran ini kemungkinan akan naik lagi sesuai dengan kenaikan nilai tukar dolar. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian pemerintah karena penggunaan terigu untuk membuat penganan sudah demikian meluas dan impor kedelai untuk penyediaan sumber protein murah untuk rakyat kecil demikian strategis. Cara yang mungkin bisa dilakukan sekarang mungkin dengan mengurangi tingkat bea masuknya.

Buruh kupas bawang merah bekerja dengan upah Rp. 400 per kilogram bawang yang dikupas di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (3/8/2011).

Untuk penyediaan ternak dan pengendalian harga daging, Bulog dahulu pada mulanya hanya bertugas melakukan koordinasi logistik karena pasokan ternak kita masih bisa mencukupi dan harganya masih kompetitif dengan harga internasionl. Sehubungan dengan membaiknya keadaan ekonomi Indonesia, maka—mulai 1974—Bulog ditugaskan untuk mengoordinasikan penyediaan ternak dan pengendalian harga daging untuk DKI Jakarta.

Mulai pertengahan 1980-an ditambah daging dan ayam beku. Pada waktu periode 1974-1998, tugas Bulog dapat bertindak sebagai koordinator penyediaan ternak karena bentuk lembaganya adalah sebagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Pada tahun 2003, bentuk kelembagaan Bulog ditransformasikan menjadi perusahaan umum (operator), sehingga masih menyisakan tugas-tugas kepemerintahannya (regulator) yang sampai sekarang belum ada penggantinya.

Pembiayaan dan kelembagaan

Pengalaman empiris juga menunjukkan bahwa kunci keberhasilan program pengendalian harga, pertama, adalah sistem pembiayaan yang fleksibel dengan jumlah yang cukup. Kedua, bentuk lembaganya yang independen.

Sistem pembiayaan ini merupakan kunci utama karena seperti telah disebutkan, program pengendalian harga itu memerlukan biaya yang besar. Dahulu Bulog mendapat kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan bunga khusus untuk periode 1969-1981 dan diberikan subsidi melalui APBN apabila terdapat kerugian.

Kunci sukses operasi Bulog yang lain adalah karena bentuk lembaga Bulog independen di bawah presiden. Keunikan lembaga Bulog tersebut dahulu sebagai regulator yang merangkap operator. Sekarang keadaan tersebut jauh berbeda, Bulog hanya sebagai operator dan untuk dapat melakukan tugasnya harus berkoordinasi dengan banyak lembaga.

Pedagang telur di PD Pasar Jaya Pasar Buncit, Jakarta Selatan, Senin (13/6/2016) melayani pembelinya.

Sekarang ini tugas Bulog ibarat sebagai pemadam kebakaran: api sudah berkobar tetapi untuk bisa memadamkan api harus menunggu izin atau rapat koordinasi. Sebagaimana diketahui, ego sektoral sekarang ini lebih menonjol, sehingga tugas-tugas yang dijalankan Bulog sering terlambat dan tidak optimal karena menunggu kesepakatan dari rapat koordinasi.

Untuk mengatasi hal tersebut, disarankan agar dibentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) guna mengurusi cadangan pangan/beras nasional dengan nama Badan Koordinasi Cadangan Pangan Nasional (BKCPN) sebagai regulator. Adapun sebagai operatornya adalah Perum Bulog. Badan ini langsung di bawah presiden, yang tugasnya mengurus cadangan beras pemerintah dan mengoordinasikan serta memantau cadangan beras pemerintah daerah dan cadangan pangan masyarakat.

Pedagang menunggu pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (19/12/2011).

Titik lemah pengendalian sekarang ini karena tidak ada yang memantau cadangan pangan/beras masyarakat yang ada di rumah tangga konsumen, di pedagang eceran, grosir dan pedagang besar, di penggilingan, di pedagang pengumpul gabah, di petani dan di sawah yang akan panen. Menurut pengalaman, pemantauan stok di masyarakat ini harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga karakternya dapat diketahui menghadapi berbagai tipe tahun, seperti tahun kemarau kering, kemarau normal, kemarau basah, dan sebagainya.