Pada Maret 2014, The Washington Post menyelenggarakan jajak pendapat tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam krisis politik di Ukraina. Saat itu, Rusia menganeksasi Semenanjung Cremia, sebuah teritori Ukraina dengan penduduk mayoritas berbahasa Rusia.
Perlukah AS melakukan intervensi militer untuk mengusir Rusia dari Cremia? Begitulah pertanyaan utama dalam jajak pendapat yang melibatkan 2.066 responden tersebut. Data yang dihasilkan sungguh mengejutkan. Hanya satu dari enam orang Amerika yang mengetahui letak Ukraina dalam geografi bumi. Hanya satu dari empat mahasiswa AS yang dapat secara benar menunjukkan posisi Ukraina dalam peta dunia.
Namun, ketidaktahuan itu tak menghalangi mereka untuk mendukung pilihan politik yang ekstrem: perlu intervensi militer AS atas Semenanjung Cremia. Mereka tak peduli opsi militer akan sangat mahal karena jauhnya jarak antara AS dan Cremia. Opsi militer juga sangat berbahaya bagi peradaban dunia karena dapat memicu perang global di antara dua raksasa dunia: AS dan Rusia.
Lebih mencengangkan lagi, antusiasme atas opsi militer semakin menguat pada responden jajak pendapat yang secara konyol mengidentifikasi Ukraina adalah negara yang terletak di Amerika Latin atau di Benua Australia.
Thomas M Nichols mengungkapkan fakta ini dalam buku The Death of Expertise (2017) untuk menunjukkan paradoks masyarakat digital. Kelimpahruahan informasi di era digital ternyata tidak berbanding lurus dengan pengetahuan masyarakat tentang berbagai hal. Kelimpahruahan informasi di era digital juga tidak sepenuhnya membuat masyarakat semakin terbuka terhadap opsi-opsi, semakin familier dengan ragam perspektif, serta semakin rasional dalam menentukan sikap. Alih-alih kelimpahruahan informasi itu justru menjerumuskan masyarakat dalam epidemi irasionalitas.
Dengan beragamnya sumber informasi digital, semestinya masyarakat AS dengan mudah mendapatkan informasi dan perspektif tentang konflik Cremia. Semestinya mereka juga akan lebih selidik, teliti, dan berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Namun, jajak pendapat itu justru menunjukkan hal sebaliknya: hilangnya penalaran yang rasional dan ketidakpedulian terhadap pentingnya proses verifikasi sebelum sampai pada suatu kesimpulan.
Opsi militer untuk kasus Cremia jelas sangat berisiko. Namun, risiko itu tak terpikirkan bahkan oleh masyarakat yang konon paling literate secara digital di muka bumi ini. Ketidaktahuan akan risiko itu juga tidak menghalangi mereka untuk berseru kepada orang sekitarnya: serang Cremia, usir Rusia dari teritori Ukraina!
Dekonstruksi digital
Dari kasus seperti di atas, Nichols kemudian menukik pada persoalan serius dalam masyarakat dunia saat ini: luruhnya penghargaan terhadap standar- standar ilmiah dan kepantasan publik di tengah gelombang digitalisasi segala bidang yang mendorong semua orang untuk berpikir dan bertindak serba cepat, instan, praktis, dan otomatis tanpa merujuk pada kriteria-kriteria yang baku.
Google, Facebook, Youtube, Wikipedia, dan lain-lain telah membawa gelombang dekonstruksi dalam kehidupan masyarakat. Mereka hadir untuk menyebarkan kredo: "setiap orang adalah subyek yang berbicara", "setiap orang adalah wartawan", serta "setiap orang adalah sumber yang otoritatif".
Media baru, khususnya media sosial, memang membawa dampak demokratisasi. Elitisme di ruang media, hierarki di dunia akademis, dan eksklusivisme dalam wacana intelektual terterabas sedemikian rupa. Kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara mendapatkan momentum dan lokus baru yang memungkinkan semua orang mengeksplorasi diri tanpa terkendala hierarki sosial, tanpa merasa canggung, tanpa ketakutan dianggap tak layak atau tak ilmiah.
Google, Wikipedia, Facebook, Youtube dalam waktu yang begitu cepat telah menghapus batas-batas antara pakar dan orang awam, pemimpin dan yang dipimpin, penceramah dan yang diceramahi, mahasiswa dan dosen. Tak ada lagi segregasi ras, kelas, seksualitas, intelektualitas dan lain-lain. Semua orang "otoritatif" untuk berwacana dan memengaruhi orang lain.
Namun, Nichols mengingatkan bahwa yang terjadi pada aras ini bukan hanya pudarnya peran intelektual, pakar, profesional dan pendakwah akibat disrupsi digital yang memungkinkan peran manusia diambil alih oleh mesin, aplikasi dan fitur digital. Yang terjadi bukan hanya bahwa kecerdasan manusia telah digantikan dengan kecerdasan buatan sehingga banyak kaum terpelajar kehilangan pekerjaan.
Yang lebih serius dari itu, menurut Nichols, adalah euforia masyarakat terhadap teknologi digital juga ditandai pudarnya kemauan untuk berproses, kerendahhatian dalam bersikap, penghormatan terhadap otoritas, serta penghargaan terhadap standar ilmiah. Semua ini dengan begitu cepat digantikan oleh arogansi, narsisisme dan kesembronoan.
Dengan mengetahui sedikit metode diet, orang bisa berceramah di media sosial seakan-akan dia adalah ahli gizi bersertifikat. Dengan menguasai 2-3 ayat kitab suci, orang berbusa-busa di media sosial bagaikan seorang pendakwah yang otoritatif. Dengan pemahaman yang umum saja tentang politik, orang sudah menganalisis politik panjang lebar di media sosial seolah- olah pakar politik jempolan.
Celakanya, media sosial memberi ruang untuk semua ini. Media sosial adalah arena di mana semua orang adalah subyek, sumber, atau pewarta. Tanpa bermaksud menafikan sisi-sisi positifnya, media sosial juga jadi ruang bagi mereka yang mengharapkan respons seketika dan gegap-gempita daripada proses diskusi yang rasional dan kritis.
Persoalan berikutnya bagi Nichols adalah jika di dunia maya semua orang merasa dirinya pakar, maka apa arti kepakaran? Jika di media sosial semua orang mendaku diri sebagai jurnalis, maka apa arti jurnalisme kemudian? Pada titik ini, yang terjadi tampaknya bukan hanya dekonstruksi, tetapi juga kecenderungan nihilisme. Yang berkembang belakangan bukan sekadar skeptisisme terhadap otoritas dan standar yang mencirikan sistem ilmu pengetahuan, agama, politik, dan lain-lain, juga pudarnya otoritas dan standar sebagai titik tolak untuk menilai.
Masyarakat kesulitan membedakan berita, informasi, spekulasi dan kabar bohong karena semua ini secara terus-menerus bercampur-baur dan bersliweran di ruang publik tanpa dapat dicegah. Pengertian ruang publik juga jadi sangat longgar karena baik media jurnalistik maupun media sosial, media kredibel maupun media abal-abal, sama-sama bebas memasok informasi dan mempengaruhi masyarakat.
Pemujaan diri sendiri
Dalam konteks yang sama, kesetaraan yang mencirikan demokrasi digital, menurut Nichols, juga sangat bermasalah. Kesetaraan itu bukanlah kesetaraan untuk berbicara dalam koridor kepantasan dan kelayakan publik, melainkan bahwa semua orang mesti diberi kesempatan untuk berbicara, apa pun yang dibicarakan atau apa pun dampaknya. Pendapat setiap orang mesti diberi tempat, tanpa peduli pendapat itu bertentangan dengan standar-standar ilmiah atau kepantasan publik.
Kesetaraan itu juga terjadi dalam keadaan di mana media sosial ternyata tak hanya jadi sarana untuk mengapresiasi orang lain, juga jadi sarana untuk memandang diri lebih tinggi daripada orang lain. Daya magnitude media sosial bukan hanya sebagai sarana berjejaring dan berdiskusi, juga sarana untuk memantik puja-puji dari orang lain melalui tingkah-polah pamer eksistensi diri yang sering kali kenes, genit dan berlebihan.
Menjadikan media sosial sebagai sarana perwujudan kesetaraan juga terbentur oleh persoalan bias konfirmasi. Pengguna media sosial tidak sungguh-sungguh membuka diri terhadap keberagaman informasi dan analisis. Sebaliknya, justru cenderung hanya mengambil informasi dan analisis yang mendukung pendapatnya sendiri. Proses konfirmasi terjadi, tetapi hanya dalam kerangka meneguhkan keyakinan diri atau kelompok. Pengayaan perspektif tidak terjadi, alih-alih yang terjadi adalah peneguhan fanatisme terhadap suatu keyakinan dan sikap apriori terhadap keyakinan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar