Masalah kebudayaan kita yang terutama pada hari ini adalah kita tidak merasa bermasalah dengan realitas kebudayaan yang sedang meliputi hidup kita. Sekaligus ini mengandaikan pula lemahnya kesadaran dan minat untuk memperhatikan soal-soal kebudayaan.
Dalam konteks formal, ini bisa terlihat dari cara negara memahami makna kebudayaan. Berbagai kebijakan bidang kebudayaan yang diselenggarakan pemerintah melalui program-program resminya sejauh ini tidak cukup responsif pada dinamika masyarakat kontemporer yang menghendaki adanya strategi dan visi baru untuk meningkatkan kualitas kehidupan budaya.
Akibatnya, program-program itu cenderung artifisial dan berjarak dari dinamika sosial yang sejauh ini memang kurang menyadari perlunya memfokuskan dari pada pembangunan kebudayaan yang transformatif, visioner, serta peka pada keanekaragaman.
Pemerintah sejauh ini cenderung menempatkan kebudayaan sebagai rangkaian produk artefaktual, abai pada proses yang menjadi syarat terciptanya produk-produk itu. Itulah sebabnya, program-program pemerintah itu lebih banyak mengarah pada selebrasi atas kebudayaan warisan.
Padahal, yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan basis-basis daya cipta dan sumber daya budaya (pembangunan manusia) dalam keanekaragaman budaya yang ada. Hal itu demi mendorong terciptanya produk-produk budaya yang bermutu dan kebijakan yang mampu membawa masyarakat melewati proses transformasi global yang luar biasa dan penuh krisis pada hari ini.
Pada sisi lain, para pelaku kebudayaan nonpemerintah, yang tampaknya lebih gesit dalam merespons peluang-peluang yang muncul dari ranah kebudayaan, telah mendorong kebudayaan ke arah komodifikasi yang bersifat populer dan artifisial.
Situasi seperti ini jelas menghendaki suatu dialog yang intens. Dialog yang melibatkan semua unsur, lantaran proses kebudayaan merupakan proses multidimensi yang melibatkan seluruh hal: baik kebijakan formal, modal, kepercayaan, ide, informasi, maupun masyarakat selaku pelaku budaya untuk menemukan solusi dari masalah-masalah kebudayaan itu.
Dialog globalisasi
Konteks globalisasi tentu sangat berpengaruh dalam cara kita memahami kebudayaan pada hari ini. Dinamika ekonomi, politik, dan utamanya teknologi informasi abad ke-21 telah menyebabkan tegangan yang kompleks, bahkan konflik dalam kebudayaan, baik dalam skala personal, lokal, nasional, maupun internasional. Namun, pada satu sisi yang lain, globalisasi juga memperkaya konten budaya yang memungkinkan masyarakat global saling berinteraksi satu sama lain dalam memberdayakan serta mengelola potensi-potensi tak terduga yang muncul di sekitar kehidupan mereka. Ini menghendaki suatu wawasan investasi yang luas, kebijakan formal yang tepat dan visi yang transformatif.
Dengan kata lain, meningkatkan kesadaran atas peluang-peluang yang muncul dalam proses globalisasi itu pada hakikatnya lebih bijaksana daripada menciptakan penangkal-penangkal yang kaku. Yang kadang kala justru memperlihatkan ketidakmampuan suatu masyarakat dalam negosiasi dinamika.
Hal ini perlu kita ketengahkan, karena sepanjang dua dasawarsa ini, di sejumlah wilayah di negara kita, kita melihat globalisasi telah direspons secara kaku melalui berbagai peraturan yang berpihak pada identitas tempatan, antara lain melalui sejumlah peraturan daerah (perda) tingkat provinsi dan kabupaten. Beberapa di antara perda itu malah sudah dibatalkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan semangat demokrasi. Sebuah fenomena yang lazim dikenal sebagai politik identitas, cenderung eksklusif.
Bukannya kita menganggap hal seperti itu tidak layak. Namun, politik identitas pada dasarnya dapat mereduksi kebutuhan-kebutuhan serta hak yang lebih luas dalam berkebudayaan. Tak jarang pula kita menemu-
kan respons semacam itu muncul sebagai bagian dari fobia global yang tertular ke banyak tempat melalui keterbukaan informasi.
Di sisi lain, kita juga menyadari betapa globalisasi telah menimbulkan ancaman bagi kelangsungan kearifan serta nilai-nilai budaya yang ada. Yang menantang kita untuk menemukan strategi yang tepat, produktif, inovatif, dan dengan demikian visioner bagi kelangsungan budaya itu. Dalam kerangka ini, solusi UNESCO tentang "dialog dan keanekaragaman" pada deklarasi 2001 patut diimplementasikan melalui serangkaian dialog yang intens antara semua unsur dan pelaku-pelaku kebudayaan itu, baik dalam skala lokal, nasional, maupun global.
Budaya dan pariwisata
Industri budaya (media dan ekonomi kreatif) dan pariwisata telah berjalin berkelindan sebagai wahana ekonomi masyarakat modern yang paling penting di abad ini. Kontribusinya mencapai 10 persen dari produk domestik bruto dunia (data UNWTO, 2016) dan merupakan satu dari 11 sektor penyerap lapangan kerja terbesar.
Di Indonesia, perkembangannya pun cukup signifikan. Meskipun masih di bawah capaian Thailand, pada 2017 saja sektor pariwisata ditengarai menyumbang devisa 1,9 persen dari produk domestik bruto (PDB) walau kontribusinya terhadap lapangan kerja langsung baru 1,6 persen. Peningkatan yang cukup signifikan ini membuka peluang untuk menjadikan sektor ini sebagai sektor unggulan yang akan mendongkrak ekonomi Indonesia.
Kaitannya dengan perkembangan kebudayaan sangat erat. Pariwisata dan industri budaya berpotensi mendorong perbauran budaya lebih cepat dari ranah lain. Karena itu, berisiko pula menciptakan ketegangan kultural dan bahkan benturan yang hebat antara beragam budaya.
Di sisi lain, eksploitasi budaya yang berlebihan demi kepentingan wisata, tak dapat tidak, mesti disikapi terus-menerus dengan cara merangsang basis-basis daya cipta dan sumber daya budaya itu. Pada titik inilah, pariwisata di Indonesia kerap dikecam.
Intinya, kritik itu menginginkan adanya keseimbangan antara pembangunan pariwisata dan pembangunan kebudayaan. Orientasi komersial pada pariwisata itu, dengan demikian, mestilah berkontribusi secara positif pada pengembangan investasi kebudayaan.
RIKI DHAMPARAN PUTRA Penyair, esais, dan pencinta budaya kelahiran Sumatera Barat, kini menetap di Jakarta
Kompas, 12 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar