Gerakan Literasi
Setelah membaca "Perpustakaan Sekolah Belum Optimal" yang tersua di Kompas edisi 14 Mei 2018, saya ingin menceritakan pengalaman saya pada masa sekolah.
Hampir 80 tahun yang silam, saya sebagai siswa kelas lima sekolah dasar di Sompok, Semarang, tidak ada perpustakaan sekolah. Namun, pada saat kenaikan ke kelas enam, saya sudah membaca sekitar 30 buku. Ini karena jasa ibu guru.
Jumlah murid kelas lima saat itu sekitar 30 orang. Ibu guru menyediakan 30 buku bacaan yang bernomor 1 sampai dengan 30. Setiap hari Senin kami digilir meminjam buku bacaan berdasarkan nomor urut presensi. Dengan demikian, setiap minggu/pekan kami ganti judul buku. Kebiasaan ini membuat saya gemar membaca meski tidak ada perpustakaan sekolah.
Titi Supratignyo
Pondok Kacang Barat, Pondok Aren,
Tangerang Selatan, Banten
"Kompas Anak", Apa Kabar?
Sudah lebih dari dua tahun "Kompas Anak", sebuah rubrik di harian Kompas yang sangat disukai pembaca anak-anak, dihentikan penerbitannya. Tidak sedikit pembaca anak dan juga orangtua yang merasa kehilangan dengan tidak munculnya lagi rubrik spesial untuk anak-anak tersebut.
Saya masih ingat Redaksi dalam pengantar atas dihentikannya "Kompas Anak" mengatakan bahwa penghentian itu hanya sementara dan suatu kali lain "Kompas Anak" akan muncul kembali dengan format baru. Namun, hingga lebih dari dua tahun kemudian, "Kompas Anak" versi baru ternyata belum muncul jua.
Saya perkirakan, ketika rubrik itu masih terbit, sekian ratus ribu anak-anak yang orangtuanya berlangganan Kompas setiap Minggu pagi menanti dengan gembira munculnya "Kompas Anak" sebagai bacaan segar di hari Minggu.
Rubrik anak merupakan bacaan sehat yang melengkapi bacaan keluarga bagi keluarga yang berlangganan Kompas. Lebih-lebih bagi keluarga yang tak sempat lagi atau mampu berlangganan majalah anak-anak, kecuali surat kabar yang setiap hari setia mengunjungi para pelanggannya.
Saya pernah mendengar bahwa di beberapa sekolah di Jawa Timur, isi "Kompas Anak" dikliping dan difotokopi lalu dibagi-bagikan kepada murid agar semua murid sempat membaca isi "Kompas Anak", terutama yang berupa cerita anak atau dongeng yang menarik.
Memang diakui bahwa Kompas Gramedia juga menerbitkan majalah anak-anak Bobo setiap minggu. Namun, saya pernah survei secara amatiran bahwa sepanjang yang saya ketahui hanya keluarga golongan menengah atas yang berlangganan Bobo untuk anak-anaknya.
Bacaan anak-anak seperti yang dilansir dalam Kompas, 13 Mei 2018, memegang peranan penting dalam membiasakan anak-anak membaca sejak kecil. Setelah beranjak dewasa, mereka akan selalu lengket dengan bacaan. Pengalaman empiris saya, ketika masih sekolah pada 1950-an, setiap bulan saya dibelikan orangtua saya majalah anak-anak Si Kuncung yang pernah legendaris dulu.
Si Kuncung tidak terbit lagi pada tahun 1980-an. Karena harganya murah, majalah itu menjangkau baik kalangan keluarga menengah bawah maupun (apalagi) atas. Sejak saat itu anak-anak yang suka membaca, tetapi orangtuanya tidak mampu berlangganan majalah anak-anak mengandalkan pada rubrik anak-anak di koran yang menerbitkannya.
Atas dasar itu semua, saya mengusulkan agar "Kompas Anak" diterbitkan lagi setiap Minggu seperti dulu. Tiap seminggu Kompas terbit dengan 7 x 32 (= 224) halaman atau lebih. Apakah di antara 224 halaman itu tidak bisa didedikasikan mininal dua halaman untuk pembaca anak-anak berupa lembaran "Kompas Anak"? Atau bisa saja Redaksi bikin tabloid khusus "Kompas Anak" setiap minggu. Mengenai format tentu merupakan wewenang Redaksi.
Demikian harapan kami dan semoga ini juga mewakili segenap keluarga besar pembaca Kompas yang juga menginginkan terbit kembalinya "Kompas Anak".
Pramudito
Pembaca Kompas sejak 1965,
Jl Kecipir 103, Perum Depok Utara, Depok, Jawa Barat
Catatan Redaksi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar