Sesudah menggenjot infrastruktur, pemerintah akan menggalakkan investasi sumber daya manusia (SDM). Arahan Presiden Jokowi di berbagai kesempatan itu sangat tepat. Indonesia perlu segera melakukan lompatan SDM. Kini saatnya mewujudkan niat mulia ini. Warga perlu mendapatkan pendidikan yang langsung membekali diri dengan keterampilan dan kesiapan kerja. Karena itu sangat penting menggenjot pendidikan vokasi dan pemagangan, bukan semata pendidikan akademik.
Pentingnya investasi untuk angkatan kerja sudah lama disuarakan ekonom. Bahkan ekonom Inggris, Arthur Cecile Pigou, menempatkan angkatan kerja sebagai human capital setara modal lain. Pigou pula yang pertama memperkenalkan istilah human capital untuk angkatan kerja. Pada zaman modern, ekonom Gary Becker, pemenang Nobel, telah berjasa menempatkan peran penting tenaga kerja manusia dalam analisis dan kebijakan ekonomi.
World Economic Forum (WEF) telah membuat laporan tahunan tentang pentingnya modal manusia melalui Human Capital Report. United Nations Development Programme (UNDP) dalam Human Development Report juga telah lama menyediakan ukuran kemajuan ekonomi, yaitu aspek kemajuan manusia, selain pertumbuhan ekonomi.
Sudah saatnya Indonesia menempatkan peranan angkatan kerja dan tenaga kerja setara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Sudah waktunya kita melihat angkatan kerja dengan kaca mata human resource development sebagai motor penggerak ekonomi. Dan sudah waktunya upaya upskilling dan reskilling menjadi strategi dan metode memastikan daya saing ekonomi. Hanya dengan cara itu Indonesia akan pasti mencapai negara maju pada masa kini dan masa depan.
Kementerian Ketenagakerjaan telah melansir dan mendorong dua kebijakan baru, yaitu dana pengembangan keterampilan (Skill Development Fund/SDF) dan Unemployment Benefits (UB) atau tunjangan pengangguran. Keduanya merupakan bentuk kebijakan ketenagakerjaan aktif (active labour market) dan hadirnya peran negara. Keduanya memastikan semua warga memperoleh kesempatan kedua untuk maju bekerja dan memiliki pendapatan yang kian meningkat.
SDF instrumen pendanaan jangka menengah. Sumber dana dari kombinasi iuran pajak/APBN dan iuran industri. Dana itu akan dikelola lembaga profesional semacam Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Tentu dengan target penyaluran yang luas. Dengan SDF, insentif dan manfaat disediakan bagi semua termasuk industri, lembaga pendidikan swasta, dan perguruan tinggi. SDF akan memacu dan memicu skala dan volume pelatihan kerja dan pemagangan, baik dalam hal jumlah maupun mutu pelatihan.
SDF telah digunakan negara maju dan berkembang. Baru-baru ini Inggris kembali memberlakukan kebijakan yang pernah dihapuskan yaitu "iuran industri untuk pelatihan kerja" (The Apprenticeship Levy). Tujuannya memperluas basis pembiayaan pelatihan kerja dan pemagangan.
Singapura memiliki lembaga pendanaan pelatihan kerja (SDF). Demikian juga Malaysia (Human Resource Development Fund). Korea Selatan pernah memiliki Vocational Training Promotion Fund yang kini tugasnya disatukan dalam Employment Insurance. Bahkan sejumlah negara bagian di AS seperti Texas dan Michigan juga menjalankan SDF.
Dalam sejarahnya, Brasil yang memulai SDF, dari tahun 1942. Lembaga bernama SENAI dibentuk, sepenuhnya didanai iuran industri. Besarnya iuran satu persen dari jumlah gaji yang dikeluarkan perusahaan. Setelah berjalan 20 tahun lebih, kini SENAI mampu menyelenggarakan pelatihan kerja dalam jumlah raksasa sesuai jumlah penduduk dan angkatan kerjanya: dua juta per tahun. Ini dimungkinkan berkat bekerjanya 500 penyedia latihan kerja/BLK, baik di dalam industri maupun di luar industri/sekolah.
Mengapa lompatan?
Indonesia harus melompat dalam hal SDM. Jika tidak, ada risiko pertumbuhan ekonomi mandek dan ketimpangan ekonomi kian meluas. Dalam keadaan itu, perbaikan nasib warga negara dan angkatan kerja akan berjalan di tempat.
Lompatan SDM sangat mendesak dan diperlukan untuk mengatasi tiga masalah utama. Pertama, rata-rata angkatan kerja Indonesia berketerampilan rendah (low skill). Sekitar 60 persen angkatan kerja tamatan sekolah menegah ke bawah. Dengan profil semacam ini, Indonesia pasti akan kurang mampu bersaing.
Kedua, lapangan kerja yang ada yang tumbuh selama empat tahun terakhir, tak berhasil disi oleh jenis keahlian yang cocok (skill mismatch). Ketiga, lapangan kerja yang ada tidak berhasil dipenuhi oleh jumlah tenaga terampil yang memadai (skill shortages)
Laporan Mckinsey Global Institute (MGI) mencatat, Indonesia perlu tambahan 58 juta pekerja terampil dalam kurun waktu 15 tahun hingga 2030. Artinya perlu tambahan sedikitnya dua juta pekerja terampil. Padahal, kapasitas terpasang angkatan kerja terampil berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan kerja pemerintah dan swasta (akademi, politeknik, BLK-SMK-politeknik) hanya 500 ribu per tahun. Itu pun dengan kualitas yang tak merata.
Tak heran lulusan SMK lebih banyak menganggur ketimbang lulusan lain. Tak heran siswa di BLK-BLK pemerintah 70 persen diisi lulusan SMK (investasi ganda). Tak heran bila ketimpangan pasar kerja merupakan sumber utama ketimpangan pendapatan, menurut kajian Bank Dunia (Indonesia's Rising Divide, 2016).
Banyak perusahaan kesulitan mencari tenaga kerja yang pas. Tak hanya sulit mendapatkan tenaga kerja level tinggi-manajerial, tetapi juga entry level. Berbagai kajian menyebut empat kendala umum yang dihadapi pekerja Indonesia menurut kacamata pemberi kerja: bahasa Inggris, komputer, kepemimpinan, dan soft skill (kedisiplinan, tepat waktu, kerja sama tim).
Pemerintah Indonesia memang telah melakukan kebijakan yang tepat dengan mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan dan SDM. Namun efisiensi alokasinya masih menjadi masalah.
Maka, Indonesia wajib mengerahkan semua daya upaya serta potensinya untuk mengatasi masalah ini dan melakukan lompatan kebijakan dan program mengangkat keterampilan dan kualitas angkatan kerjanya. Jika gagal, Indonesia akan: (a) terjebak ke dalam "jebakan negara menengah". Artinya, terus-menerus berada di level negara berpendapatan menengah-rendah dalam jangka panjang seperti kasus Argentina (pendapatan per kapita di bawah 5.000 dollar AS).
Kemudian, (b) tingkat ketimpangan pasar kerja tetap tinggi, di mana kesenjangan antara yangberketerampilan tinggi dan rendah kian meluas. Demikian juga kesenjangan antara yang bekerja dan tak bekerja, di mana lapisan low skill akan berjumlah banyak dan tentu berdampak pada sosial politik dan kohesi sosial. Lalu, (c) Indonesia akan gagal mencapai target Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Nomor 10: mencapai pertumbuhan pendapatan lapisan 40 persen terbawah naik lebih tinggi ketimbang 20 persen lapisan tertinggi/kaya.
Solusi
Menurut pengalaman berbagai negara, termasuk negara-negara Skandinavia ketika masih negara pinggiran, dan kisah sukses Macan Asia (Korea, Taiwan, dan Jepang), tiga solusi dapat ditempuh dalam 5-10 tahun ke depan. Pertama, memperluas volume dan kualitas pelatihan vokasi dan pemagangan kerja.
Karena pelatihan vokasi akan mendekatkan keterampilan dan kompetensi tenaga kerja kepada dunia kerja dan permintaan pasar kerja. Pelatihan vokasi juga akan memenuhi lapisan middle skill yang kini sangat kurang.
Kedua, membuka peran aktif industri-perusahaan sebagai sektor unggulan dalam upskilling dan reskilling angkatan kerja. Karena peranan industri akan memastikan bahwa pendidikan dan pelatihan kerja akan relevan dan cocok dengan kebutuhan industri dan ekonomi terkini, baik volume, jumlah, maupun mutu keterampilan. Ketiga, memulai pendanaan jangka menengah berkelanjutan untuk pelatihan vokasi dan pemagangan kerja dalam bentuk SDF melalui iuran bersama antara dana pajak/APBN dan iuran industri yang dipungut dari persentase kecil total gaji (wage bill).
Kompas, 17 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar