Semua orang yang berpikiran waras akan menyesalkan aksi teror di Surabaya hari Minggu dan Senin lalu. Kita menyesal karena ketika beribadah, belasan orang harus terluka bahkan kehilangan nyawa. Terlebih karena anak-anak turut menjadi korban.
Beberapa hal penting dalam aksi teror ini patut menjadi perhatian kaum intelektual, termasuk institusi pendidikan. Pertama, dilibatkannya anak-anak. Undang-undang membuat batasan usia dewasa mulai 17 tahun, karena keyakinan bahwa saat itulah seseorang dapat berpikir logis dan bertanggung jawab menentukan pilihan.
Dalam aksi teror yang kita bahas kali ini, telah terjadi penyelewengan kekuasaan orang dewasa—dalam hal ini orangtua—terhadap masa depan dan hak hidup anak-anak tersebut.
Kedua, tempat ibadah sebagai lokasi teror. Seseorang yang beribadah dalam agama mana pun pastilah sedang berupaya berbuat baik: menjalankan perintah Sang Pencipta untuk memelihara alam semesta. Alangkah tidak layaknya merampas hak seseorang untuk berbuat baik, apalagi ini terjadi di negeri yang mengakui keberadaan Sang Pencipta Langit dan Bumi.
Ketiga, pelaku teror yang berusia belia. Masa muda adalah masa yang relatif bebas dari berbagai kepentingan, kecuali belajar, bermain, dan bergembira. Jalan pikiran dan jalur yang dipilih para teroris ini berbalik dari kodratnya sebagai orang muda. Mereka memilih mengakhiri hidup sebelum masanya. Ada yang salah dalam pemahaman mereka mengenai hidup dan kehidupan.
Oleh karena itu, penting bagi para pendidik untuk menyadari fenomena ini. Jangan terkejut apabila kondisi berlanjut, bisa jadi bayi yang menjadi perisai teroris dewasa, sebagaimana halnya dilakukan para "pengemis" di ibu kota Jakarta beberapa waktu lalu.
Para pemikir dan orang bijak di negara ini perlu mencari upaya pencegahan dan perbaikan. Semua lembaga pendidikan, kemasyarakatan, dan keagamaan perlu meneliti keseharian komunitasnya sendiri. Tampaknya, telah terjadi fanatisme terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kemanusiaan.
Mari gunakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara.
HS Dillon
Alumnus FP USU; Pegiat Antikorupsi dan HAM
Tanggapan Allianz
Sehubungan dengan keluhan Bapak Arvi Jatmiko melalui Surat Pembaca di Kompas (Rabu, 9/5/2018) berjudul "Tarik Dana Dipersulit", kami sampaikan bahwa permasalahan telah kami selesaikan dengan baik.
Surat Bapak Arvi ditujukan kepada PT Asuransi Allianz Life Indonesia, perusahaan penyedia asuransi jiwa dan kesehatan, bukan PT Asuransi Allianz Utama Indonesia.
Ketidaknyamanan yang terjadi sudah kami jelaskan dan diterima Bapak Arvi. Penarikan dana sebagian juga sudah masuk rekening bank Bapak Arvi.
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami dan berterima kasih atas kesediaan Bapak Arvi untuk menerima penjelasan kami.
Adrian DW
Head of Corporate Communications, Allianz Indonesia
Buka Helm
Baru kali ini sebagai pengemudi Go-Jek, saya mengetahui peraturan masuk perumahan yang aneh dan lucu.
Minggu, 13 Mei 2018, saya mendapat order Go-Food dengan tujuan The Avani, BSD City. Ketika melapor petugas keamanan, saya diminta menyerahkan KTP, ini wajar. Tetapi yang tidak habis pikir, saya disuruh mencopot helm dan meninggalkannya di pos.
Apa yang ditakuti dari pengemudi Go-Jek? Saya mengenakan atribut lengkap dan dibekali aplikasi order yang jelas. Sebagai mitra Go-Jek, saya juga wajib menyerahkan SKCK dari kepolisian, KTP, SIM, dan STNK saat bergabung.
Untuk ibu yang mengorder via Go-Food, saya minta maaf, akhirnya hanya bisa menitipkan pesanan di pos keamanan.
Widiatmoko
Pagedangan, Tangerang
Kompas, 18 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar