AFP PHOTO/KOREA SUMMIT PRESS POOL/KOREA SUMMIT PRESS POOL

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (kiri) berjalan bersama Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (kanan) setelah pertemuan di Batas Demarkasi Militer yang membelah kedua negara di Panmunjom, Jumat (27/4/2018).

Pertemuan puncak Korea Selatan-Korea Utara baru berlangsung 27 April 2018. Namun, upaya perdamaian telah menghadapi ancaman serius.

Pada Rabu kemarin, Pyongyang mengumumkan pembatalan pertemuan pejabat tinggi Korut-Korsel, hanya beberapa jam sebelum acara itu digelar. Pembatalan dikaitkan dengan latihan militer Korsel-Amerika Serikat yang mulai berlangsung pada 14 Mei silam. Bagi Pemerintah Korut, latihan militer Korsel dengan AS merupakan ancaman terhadap negara tersebut.

Pembicaraan pejabat tinggi Korsel-Korut pada Rabu adalah bagian dari tindak lanjut pertemuan puncak Presiden Korsel Moon Jae-in dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un. Dalam pertemuan 27 April silam, keduanya sepakat melakukan pembahasan lanjutan untuk menyusun rencana konkret menuju perdamaian permanen serta persiapan "denuklirisasi".

Pada Rabu, Pyongyang juga mengeluarkan isyarat bahwa negara ini tidak ragu membatalkan pertemuan bersejarah Kim Jong Un dengan Presiden AS Donald Trump, yang dijadwalkan digelar bulan depan. Korut beralasan, dalam pertemuan Kim Jong Un-Trump mendatang, ada indikasi AS akan memaksa Korut untuk menyerahkan senjata nuklirnya sebagai imbalan atas paket bantuan ekonomi yang bakal diberikan oleh AS.

"Ancaman" Korut untuk membatalkan pertemuan Kim Jong Un-Trump diduga sebagai respons atas pernyataan penasihat Presiden Trump, John Bolton, akhir pekan silam. Ia menyebutkan, pola Libya bisa diterapkan dalam penyelesaian nuklir Korut.

Pada awal 2000-an, Libya bersedia mengakhiri program nuklir sebagai imbalan terhadap pencabutan sanksi. Namun, keadaan negara itu tak membaik. Libya dilanda perang saudara dan Pemimpin Libya Moammar Khadafy tewas pada 2011 akibat diserang kelompok lawan. Korut "marah" dengan opini Bolton. Pyongyang melihat secara faktual pencapaian program nuklir mereka sekarang jauh lebih maju ketimbang saat Libya bersedia menerima kesepakatan pencabutan sanksi pada awal 2000-an. Dengan kata lain, Pyongyang merasa posisi tawar mereka lebih tinggi karena Korut sudah menjadi negara pemilik senjata nuklir dalam arti sesungguhnya, bukan baru memulai program senjata nuklir. Korut menolak didikte seperti Libya dulu.

Apa yang dilakukan Korut pada Rabu kemarin mengingatkan betapa sulit menciptakan perdamaian permanen di Semenanjung Korea dan mewujudkan denuklirisasi. AS telah berupaya membuat latihan perang mereka dengan Korsel tidak menjadi pemberitaan besar. Namun, Korut tak peduli dan tetap merasa sangat terganggu dengan itu. Sikap Bolton yang begitu saja menyamakan Korut dengan Libya juga membuat Pyongyang sangat berang.