Seorang teman menasihati saya atas sebuah kejadian, padahal saya tak memintanya untuk menasihati. Nasihatnya muncul setelah terjadi suatu diskusi. Awalnya, ia meminta pendapat saya tentang sebuah kejadian, rupanya ia tak menyetujui cara pandang saya. Percakapan berhenti setelah sekian menit, dan sampai hari ini saya tak pernah lagi mendengar kabarnya.

Waras atau tidak waras?

Apa yang kira-kira terlintas di pikiran Anda seandainya itu terjadi pada Anda? Kalau saya berpikir ia kesal karena saya tidak menyetujui nasihatnya. Saya mengerti kalau kekesalan itu terjadi. Karena saya juga cenderung senang menasihati dan kemudian menjadi gondok setengah mati kalau yang dinasihati tak menyetujui.

Tetapi, akhirnya saya berpikir, ia "raib" karena membiarkan saya tidak menyetujui nasihatnya dan membiarkan saya menjalani apa yang saya pikir baik untuk saya. Perdebatan itu kemudian mengingatkan saya pada ungkapan "yang waras yang mengalah". Dan seperti biasa, ungkapan itu melahirkan sejuta pertanyaan.

Mengapa harus ada yang mengalah? Agar terlihat waras? Memangnya yang nggak mengalah nggak waras, hanya karena mereka mempertahankan pendapat? Dengan kepandaian otak saya yang ecek-ecek ini, saya kok merasa kata "mengalah" itu mengajarkan bahwa berdebat karena perbedaan pendapat sama dengan keharusan memenangi sebuah pertarungan.

Mungkinkah itu yang menyebabkan jika seseorang tak menyetujui nasihat atau pendapat yang diberikan, salah satunya jadi naik pitam, kemudian membodoh-bodohkan lawannya, dan bisa jadi berakhir dengan kekerasan fisik?

Kata waras itu membuat saya berpikir keras. Kalau seandainya asumsi saya benar, bahwa teman saya itu hilang entah ke mana karena mengalah, maka saya yang mendapat predikat orang yang tidak waras, bukan? Dan yang waras itu seolah-olah adalah pihak yang benar dalam sebuah perdebatan.

Kata mengalah dan waras itu seperti mencerminkan bahwa ia lebih superior dari yang tidak waras. Bukankah mengalah adalah sebuah aksi kalah yang dibuat-buat, dan orang yang mengalah tidak sama dengan orang yang memiliki kebesaran hati?

Kebesaran hati untuk melihat bahwa di dunia ini tak semua makhluk memiliki cara pandang yang sama terhadap sebuah kejadian, tanpa harus menyimpulkan di dalam hati bahwa lawannya goblok. Saya ini pernah mengalah, tetapi sejujurnya saya dongkolnya setengah mati. Jadi, apanya yang waras dengan mengalah sambil dongkol?

Berbagi

Ataukah dalam perdebatan yang tak mengalami kesepakatan, sejujurnya keduanya waras? Yang satu waras kemudian berhenti untuk mengerti bahwa debat ini tak bisa diteruskan, dengan menyadari bahwa manusia itu rambut bisa sama hitam, tetapi pendapat macam-macam, dan yang satu lagi waras, karena ia tak setuju dengan nasihat atau pendapat lawan bicaranya.

Sejak kejadian itu ada satu pelajaran yang saya dapatkan. Nasihat itu sebaiknya tak lagi perlu saya lakukan. Apalagi kalau tidak ditanya. Kalaupun nasihat itu akan dilakukan, yang memberi nasihat juga perlu persiapan mental kalau-kalau nasihatnya tidak disetujui. Tak perlu sampai harus menghilang dan menjadi kesal serta menganggap lawannya tidak waras.

Saya berpikir, ketika dua orang atau lebih sedang mendiskusikan sesuatu dan kemudian menimbulkan suatu perdebatan, sejatinya perdebatan itu bukan soal setuju atau tidak, menang atau kalah, tetapi sejatinya melatih seseorang menjadi bijak dan bukan melatih orang jadi beringasan.

Bijak, karena seperti saya tuliskan di atas, dunia ini diciptakan dengan perbedaan. Bahwa sehebat apa pun seseorang mengajar dan memberi tahu, ketololan dan kebodohan akan selalu berdampingan dengan kepandaian dan kebijaksanaan.

Sama seperti bagaimana kejahatan selalu ada di tengah yang tidak jahat. Sama seperti kemiskinan berdampingan dengan kemakmuran, dan sama seperti perselingkuhan di tengah janji sehidup semati sebuah pernikahan, bukan?

Tidakkah yang tidak waras itu sesungguhnya adalah mereka yang tidak menyadari bahwa di dunia ini memang ada perbedaan? Bukankah orang yang tidak waras adalah orang yang sudah tahu ada perbedaan dan tetap naik pitam karena perbedaan itu?

Mungkin seperti saya tuliskan di atas, saya tak mau lagi memberi nasihat karena saya cenderung kesal kalau nasihat saya tak diikuti. Saya akan lebih memilih untuk berbagi pengalaman kalau kebetulan pernah mengalami pengalaman yang sedang dibicarakan.

Menasihati itu, menurut pengalaman saya, seperti jalan satu arah dan cenderung membuat saya yang menasihati berada di posisi lebih tinggi dan ada kecenderungan menyelipkan aksi menyalahkan dan menggurui.