Terbawa oleh kebiasaan—atau sebutlah tradisi—setiap menjelang bulan Ramadhan saya pulang kampung di Jawa Tengah untuk berziarah ke makam-makam leluhur. Tradisi ini disebut nyadran. Sambil bersih-bersih dan melakukan berbagai ritual, kami menikmati hawa kampung halaman yang cukup enak di ujung musim penghujan. Hujan mulai jarang dan panas belum terlalu. Sempat pula ketemu beberapa kerabat yang lama tak jumpa di makam.

Kebetulan salah satu makam leluhur kami terdapat di sebuah kampung di Klaten. Di Klaten acara nyadran selalu ramai. Di beberapa makam penduduk setempat selain bersih-bersih juga menyelenggarakan kenduri di kuburan.

Konon tradisi nyadran di Jawa berasal dari zaman Majapahit pada abad ke-14. Pada saat pemerintahan Hayam Wuruk, sang prabu memerintahkan patih Gajah Mada untuk menyelenggarakan upacara Srada untuk menghormati roh Rajapatni. Upacara penghormatan terhadap roh itu diuraikan cukup panjang lebar dalam Negarakretagama.

Kerajaan dihias dengan indah. Para pelukis menghias takhta yang akan diduduki raja dalam upacara. Baki makanan, bokor-bokoran, dan arca disiapkan. Hiasan dari janur melambai-lambai. Demikian kurang lebih kemeriahan upacara Srada dilukiskan Negarakretagama.

Karena telah menjadi kebiasaan, bagi saya pribadi rasanya kurang sreg kalau tidak ikut nyadran. Belakangan saya juga membatin, kegiatan ini saya perlukan untuk menyeimbangkan diri. Sebab, selain tubuh dan pikiran, pada manusia terdapat dimensi spirit atau roh.

Sejauh ini, selain rekayasa genetik bagi tubuh, pikiran manusia telah mengalami evolusi sangat jauh dikarenakan kemajuan teknologi informasi. Informasi yang melimpah dan tersedia seketika telah menjadikan semua orang sebagai ahli dan pakar dalam semua hal.

Setelah mencapai tingkat pakar dalam semua hal, tahu segala hal, orang tak butuh lagi informasi. Beruntung juga pensiun sebagai wartawan. Yang dibutuhkan orang adalah tulisan, ucapan, atau apa pun yang mengonfirmasi dan menjustifikasi apa yang telah diyakini. Keraguan atau skeptisme yang pada masa lalu diperlukan untuk menggulirkan pengetahuan dan proses kebudayaan tak diperlukan lagi. Itu kebutuhan masa lalu—sebuah masa yang sama sekali bukan "the good old days"—ketika kepakaran, spesialisasi dalam suatu bidang, otoritas dalam menentukan benar-salah, hanya dimiliki segelintir orang. Kini tak ada lagi yang lebih benar dibandingkan diri sendiri.

Maka diskusi pun tak diperlukan. Orang menyangkal apa saja yang tidak ingin mereka dengar. Semua pandai menghujat, bukan mendengarkan. Dalam ruangnya sendiri, orang asyik memainkan jari-jari pada peranti digital. Pikir belakangan, atau mungkin tak usah mikir sama sekali.

Komputer, internet, telepon pintar alias smartphone, telah mengondisikan otak dalam situasi programatik, bukan dalam pengembangan kemampuan kognitif. Kalau dalam kemampuan kognitif terdapat kemampuan analisis yang memengaruhi semua aspek pada manusia dalam mengambil keputusan, pada otak yang programatik isinya melulu benar-salah. Bersamaan hilangnya etika, ungkapan bagi seseorang yang dianggap salah bukan lagi "kamu salah" melainkan "kamu dungu". Ketidaksepakatan digantikan dengan ketidakhormatan. Mengoreksi tidak afdal tanpa disertai menyakiti.

Kebetulan, akhir bulan lalu saya diminta untuk memberikan kuliah mengenai dunia tulis-menulis di Undip, Semarang. Terbawa oleh suasana nyadran, ketika seorang mahasiswa bertanya mengenai irama dalam penulisan, begitu saja saya menunjuk pupuh, sebuah pengertian terkait irama dan melodi dalam sajak-sajak kuno Jawa.

Ada 11 suasana melodi, menggambarkan perjalanan roh dari kelahiran sampai kematian, dari Maskumambang sampai Pocung. Inilah kekayaan budaya kita yang tak ada dalam hermeneutika modern.