Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 30 Mei 2018

Perpres Tenaga Kerja Asing//Bukittinggi: Jangan Sekadar Indah (Surat Pembaca Kompas)


Perpres Tenaga Kerja Asing

Membaca Kompas, Sabtu 6 Mei 2018 halaman 6, "Perpres Tenaga Kerja Asing Lebih Ketat" yang ditulis Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, saya menjadi sangat paham meski belum membaca langsung perpres itu, apalagi membandingkan dengan perpres sebelumnya.

Saya dan barangkali sebagian warga termasuk yang terprovokasi dengan maraknya demonstrasi para pekerja (buruh), serta propaganda mengenai Perpres Tenaga Kerja Asing: seolah-olah Perpres Tenaga Kerja Asing itu sangat menyengsarakan tenaga kerja Indonesia.

Jika memang benar seperti apa yang dijelaskan Dian Kartikasari, pertanyaan yang muncul: apakah pemahaman Perpres Tenaga Kerja Asing seperti penjelasan itu sudah dipahami dengan baik dan benar oleh seluruh warga Indonesia? Apakah para pengurus organisasi serikat pekerja yang ada di Indonesia telah punya pengetahuan dan pemahaman serupa mengenai Perpres Tenaga Kerja Asing?

Saya sangat tertarik dengan penegasan pada akhir tulisannya "Yang jelas, buruh yang berseteru untuk cabut Perpres No 20/2018 tidak akan mengalami kerugian jika perpres benar-benar dicabut. Namun, yang pasti, kerugian akan dialami oleh ribuan orang muda Indonesia dan pemda". Lantas, siapakah yang wajib menjelaskan kepada elemen masyarakat dan para pengurus organisasi pekerja mengenai keuntungan dan kelebihan Perpres Tenaga Kerja Asing yang baru ini?

Jangan sampai pemahaman yang keliru mengenai Perpres Tenaga Kerja Asing ini dijadikan komoditas untuk menarik simpati pendukung dalam mencari kekuasaan.

Sri HandokoTugurejo,
Semarang

Bukittinggi: Jangan Sekadar Indah

Bukittinggi yang relatif kecil dengan beragam tujuan wisata berdekatan sudah sejak lama dikenal. Dalam hampir satu dekade terakhir, yang hendak berkunjung di kota itu akan kesulitan jika tak jauh-jauh hari pesan hotel. Apalagi pada akhir pekan. Mulai Jumat sore mobil pribadi berpelat BM, BK, dan BH (Riau, Medan, dan Jambi) mayoritas menguasai jalan.

Sebagai putra daerah yang mengadu untung puluhan tahun di Jakarta, saya pada April lalu diajak teman komunitas renang lansia untuk menikmati Laut Mendeh, Painan, 52 km dari Padang. Seharian Sabtu di laut/pulau, teman-teman berumur di atas 60 tahun yang sudah berkunjung ke seantero bumi ini sangat menikmati wisata di Mandeh berikut fasilitas hotel, kebersihan, layanan kapal, harga makanan yang sangat pantas, dan profesionalnya awak kapal.

Dalam kelelahan maksimal, sambil menikmati perjalanan dari Mandeh ke Bukittinggi melewati Padan, kami yang sedang diguyur hujan 3 km menjelang Bukittingi berjumpa dengan sampah plastik dari got yang mampat di pinggir jalan. Kami terkesima karena kota yang konon indah, sewaktu hujan sedang itu melebihi petaka rob di Jakarta Utara. Ada apa dengan budaya gotong royong masyarakat di sini dan untuk apa uang APBD/Nagari?

Kesan tak nyaman berlanjut ketika Senin berikutnya kami mengunjungi Ngarai Sianok, Gua Jepang, Janjang 1000, dan Great Wall. Kami pilih Senin untuk menghindari terlalu ramainya pengunjung pada Minggu. Saya yang pernah tinggal di sekitarnya pada 1960-an melihat perubahan keempat tempat itu tak berarti. Ngarai yang indah tetap saja indah tanpa pemanfaatan apa pun, seperti kereta gantung. Gua Jepang yang pernah sedikit dipoles dengan petunjuk jalan keluar, petunjuk jalur evakuasi, dan musala sekarang raib.

Wisatawan yang seharusnya tak memerlukan pemandu dengan tak adanya petunjuk keluar jadi khawatir tersesat. Janjang 1000 dan Great Wall yang merupakan pengembangan jalan setapak warga menuju ngarai juga minim petunjuk. Tempat itu pada malam dikotori kotoran burung/monyet. Indah saja ternyata tidak cukup.

Nasrul Idris
Pondokgede, Bekasi,

Jawa Barat

Kompas, 30 Mei 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger