Sejarah mencatat, cara efektif menguasai dan akhirnya menghancurkan bangsa di Nusantara ini adalah dengan politik memecah belah, politik divide et impera. Sayangnya, kita seperti tak belajar dari fakta itu.
Salah satu bentuk upaya penuntasan ambisi pribadi dengan politik divide et impera adalah dengan menginjeksikan gagasan intoleransi dan radikalisme ke dalam dunia pendidikan. Syukurlah akhirnya Presiden Jokowi menyerukan agar dunia pendidikan dibersihkan dari paham radikalisme.
Sesungguhnya telah begitu banyak pihak menyerukan fakta dan data yang mengerikan tentang pembiakan paham intoleransi dan radikalisme dalam dunia pendidikan kita. Sebutlah hasil penelitian yang dilakukan jaringan Gusdurian dan berbagai lembaga tentang kajian Islam dan perdamaian.
Sayangnya, kita seperti tidak merasa terganggu, acuh tak acuh. Kita tidak merasa terancam dengan paparan data-fakta itu. Beberapa bahkan menolak fakta dan data itu dengan ragam rasionalisasinya.
Sikap apatis sampai penolakan serta ragam pembelaan atas fakta dan data tentang terpaparnya paham intoleransi dan radikalisme di dunia pendidikan kita, baik oleh institusi pendidikan maupun oleh para pejabat negeri ini, membuat pembiakan radikalisme di dunia pendidikan kian menggurita, sistemik, dan sistematis dalam senyap.
Pun ketika bocah-bocah ikut terlibat dalam aksi terorisme, rasanya tak juga membuat kita cemas dengan pembiakan intoleransi dan radikalisme di dunia pendidikan.
Kutuk "divide et impera"
Sikap acuh tak acuh, pembiaran, rasionalisasi, dan pembelaan atas data dan fakta terpaparnya dinamika pendidikan kita oleh paham intoleransi dan radikalisme seperti memperteguh kutukan divide et impera atas bangsa ini. Kutuk itu serasa kian kokoh ketika bocah-bocah dan para pelajar dilibatkan dalam berbagai aksi politis berbungkus isu agama, seruan adanya kelompok setan dan kelompok Tuhan, juga ujaran seruan para selebritas politik yang memancing warga untuk saling mencemooh, membenci, menghujat, memusuhi, sampai menolak lawan politiknya.
Ketika anak-anak dan kaum muda diinjeksi paham intoleransi dan radikalisme lewat lembaga pendidikan formal ataupun nonformal, maka benih laku divide et impera itu bakal hidup dan tumbuh berkelanjutan. Paham intoleransi dan radikalisme berujung pada penguatan kelompok sepaham dan penolakan sampai penghancuran kelompok lain yang tidak sepaham.
Kelompok yang tidak sepaham adalah mereka yang tidak sama suku, ras, atau agamanya. Namun, sesungguhnya akhirnya paham intoleransi dan radikalisme pada waktunya juga akan menghancurkan mereka yang seagama, tetapi tidak sepaham atau setarekat.
Injeksi paham intoleransi dan radikalisme dalam pendidikan kita adalah eksploitasi naluri purba bangsa ini untuk mempertahankan eksistensi kelompok sendiri. Caranya dengan menumbuhkan rasa terancam dan curiga pada kelompok lain. Begitulah yang kita alami hari-hari ini ketika benih divide et impera dibiakkan oleh bangsa Nusantara ini untuk akhirnya menghancurkan bangsanya sendiri.
Sungguh hanyalah mimpi untuk membuat negeri ini hanya dihuni kelompok sepaham. Keragaman adalah keniscayaan kehidupan. Anugerah akal budi dari Tuhan adalah salah satu faktor yang membuat mustahilnya upaya manusia untuk membuat kehidupan dengan paham tunggal.
Kisah dihancurkannya Menara Babel dalam Kitab Suci adalah ajaran suci bahwa manusia harus waspada pada hasrat purbanya untuk menciptakan kehidupan dengan paham tunggal, apalagi dengan menghancurkan liyan yang dimulai lewat menginjeksi paham intoleransi dan radikalisme di dunia pendidikan.
Semoga para guru, pengajar di pendidikan formal maupun nonformal, para pejabat negara dunia pendidikan—mulai dari sekolah sampai pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—sadar bahwa upaya membiakkan intoleransi dan radikalisme hanya akan menyengsarakan anak-cucu bangsa ini.
Barangkali usaha ini akan berhasil dinikmati kelompok tertentu untuk lima atau sepuluh tahun ke depan. Akan tetapi, yakinlah, selanjutnya anak-cucu kita akan terus saling bunuh dan saling menghancurkan sesamanya di negeri ini.
Akal dan nalar intoleransi-radikalisme akan selalu kreatif menemukan ketidaksepahaman dengan liyan yang mulanya sepaham, lalu menghancurkannya. Gairah saling menghancurkan kian menggelora ketika dipolitisasi seperti hari-hari ini, entah oleh bangsa sendiri maupun bangsa lain yang punya kepentingan atas negeri ini.
Kompas, 31 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar