Pada 1 Juni 1945, dalam mengawali uraiannya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan "bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham."
Lantas ia katakan, "Kita bersama- sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu 'Weltanschauung' yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus."
Kemudian, ia mengajukan lima prinsip yang menjadi titik "persetujuan" (titik temu, titik tumpu, titik tuju) segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut bernama Pancasila. Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari "persetujuan" dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Setiap kali kita kembali ke 1 Juni (Hari Lahir Pancasila), setiap kali itu pula diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama, di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan.
Prinsip persetujuan itu memang harus tetap mengacu pada Pancasila, tetapi kontekstualisasinya harus mempertimbangkan faktor ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan agar Pancasila bisa responsif dengan perkembangan zaman.
Dalam konteks Indonesia hari ini, bagaimana kita bisa mencari persetujuan bagi kemaslahatan umum di tengah kemunduran kecerdasan kehidupan bangsa. Persetujuan memerlukan kemampuan merumuskan substansi dan argumentasi.
Kita sekarang hidup di tengah buih keterapungan. Saat ucapan bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap. Kritik teringkus sebatas caci-maki tanpa solusi. Makna menguap dalam keriuhan viral maya. Di seantero negeri, kedalaman dihindari, kedangkalan dirayakan. Ke mana saja menghadap, sampah berserakan mengguritai wajah negeri. Segala yang inti sejati tertindih tersingkir di belam sunyi.
Persetujuan memerlukan rasa saling percaya, yang tumbuh dari keadaban publik. Adapun yang berkembang di sini adalah kesalingtidakpercayaan secara paripurna, baik dalam relasi antar-elite, antara elite dan rakyat, maupun antar-sesama rakyat. Semuanya itu terjadi karena menurunnya nalar etis dalam kehidupan politik.
Setelah 20 tahun demokrasi reformasi digulirkan, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Banjir uang ke dunia politik hari ini membawa polusi pada demokrasi dan kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan jadi nilai uang. Relasi publik menjadi hubungan konsumtif. Politik mengalami konsumerisasi dan privatisasi.
Pengibaran citra-diri menggantikan kualitas jati-diri.
Sihir moneter ini bahkan menembus jantung pertahanan sipil. Masyarakat madani sebagai reservoir nilai sipilitas dan kesukarelaan jebol ketika uang jadi penentu, bahkan dalam pemilihan pemimpin ormas keagamaan. Dalam kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang.
Kini, cuma sedikit yang masih tersisa. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan, hukum dan institusi lumpuh karena "diperjualbelikan"; keteladanan kemarau karena kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Persetujuan memerlukan kecerdasan empati, yakni kesanggupan tepa salira untuk bisa menempatkan diri dalam situasi orang lain. Namun, mana mungkin kepekaan bisa diasah jika proses pendidikan lebih mengutamakan kecerdasan dalam "kedirian yang bersifat privat" (private self), seperti penekanan pada pelajaran yang bersifat hard skill. Kecerdasan empati memerlukan perhatian pada kecerdasan dalam "kedirian yang bersifat publik" (public self) yang mengarah pada "kecerdasan kewargaan" (civic intelligence).
Pendidikan harus menumbuhkan kompetensi warga untuk mengemban tugas kewargaan (civic duty), memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukacita (civic joy).
Pengembangan "kecerdasan kewargaan" lebih fundamental bagi suatu bangsa yang majemuk. Dalam masyarakat plural, warga bisa hidup berdampingan, tetapi sulit menyatu ke dalam suatu entitas politik terkendala kemusykilan menentukan kehendak bersama dan kebajikan bersama. Dalam konteks itu, pengembangan jati diri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" ("diferensiasi") dari alam.
Lima jalur
Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Maka dari itu, pengembangan "kecerdasan kewargaan" berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, justru pada titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini.
Persetujuan butuh keyakinan bahwa dengan bersatu kita bisa meraih kemajuan dan persemakmuran bersama. Bangsa yang tak bisa menunjukkan prestasi dalam peradaban dan kemakmuran tidak memberi kebanggaan pada anak-anak bangsanya.
Bangsa yang tidak merasa bangga pada dirinya cenderung mengembangkan sikap nyinyir, saling menjatuhkan, dan saling tidak percaya pada apa pun dan siapa pun. Bangsa yang tidak mampu meningkatkan kemakmuran secara merata cenderung mengarah pada eksklusivisme primordial yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya mengusik rasa hirau kita, apa kebanggaan Indonesia di pentas dunia? Untuk itu, kita perlu "senjata" baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Ilmu dan teknologi, daya kreasi yang berbasis etos dan etis-estetis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk memenangi masa depan.
Persetujuan akan kemaslahatan bersama juga mengalami tantangan dari peruncingan konflik nilai yang ditimbulkan oleh pluralisasi ideologi sebagai imbas globalisasi. Selain menimbulkan gejala ketercerabutan (deprivasi) sosial, hidup dalam era globalisasi juga diwarnai kesenjangan kemakmuran antara "the winners" dan "the losers" bersamaan dengan gerak interpenetrasi berbagai ideologi-budaya yang menyebabkan terjadinya diferensiasi dan fragmentasi dalam pandangan dunia.
Bagi Indonesia, intensitas arus globalisasi yang berbarengan dengan demokratisasi era Reformasi juga ditandai oleh situasi paradoks: tatkala Pancasila "ditinggalkan", ideologi lain merebak di ruang publik.
Gelombang pasang militansi ideologi-ideologi divergen di tengah surutnya ideologi konvergen (Pancasila) meledakkan ekstremisme di ruang publik. Ditilik dari sudut ini, ekstremisme dan terorisme bangkit sebagai cerminan kelalaian dan kelemahan kita membumikan Pancasila sebagai ideologi kerja (working ideology).
Jika Pancasila dikehendaki kesaktiannya sebagai ideologi kerja, ada lima jalur yang harus ditempuh. Pertama, melakukan revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman terhadap Pancasila dengan melakukan penyegaran materi sosialisasi, pelurusan sejarah Pancasila, hingga penyegaran metode sosialisasi dan pedagogi Pancasila.
Kedua, mengembangkan kerukunan (inklusi sosial) di tengah masyarakat melalui penumbuhan budaya kewargaan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta penguatan dialog lintas agama, suku, ras, dan golongan.
Ketiga, mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perumusan sistem ekonomi dan pembangunan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta perajutan kemitraan ekonomi demi terbangunnya praktik ekonomi berkeadilan sosial.
Keempat, menguatkan internalisasi nilai-nilai Pancasila ke produk perundang-undangan, kebijakan publik serta lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan. Kelima, menumbuhkan, mempromosikan, dan mengapresiasi keteladanan agen-agen kenegaraan dan kemasyarakatan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Dari jalur pemahaman diharapkan bisa mengarah pada Indonesia cerdas kewargaan. Jalur kerukunan mengarah pada Indonesia bersatu. Jalur keadilan mengarah pada Indonesia berbagi sejahtera. Jalur pelembagaan mengarah pada Indonesia tertata-terlembaga. Jalur keteladanan mengarah pada Indonesia terpuji.
Pesan moral
Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini momen istimewa sebagai wahana refleksi diri karena persentuhannya dengan berbagai peristiwa keagamaan dan kebangsaan. Umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa, dan umat Buddha merayakan Trisuci Waisak. Rangkaian perayaan Hari Lahir Pancasila, yang dimulai 1 Juni hingga 18 Agustus 2018, juga bersentuhan dengan momen padat politik pilkada di sejumlah wilayah serta menjelang Pemilu 2019. Kita juga akan menyongsong Hari Kemerdekaan RI serta penyelenggaraan Asian Games.
Pesan moral dari semua peristiwa dan peringatan ini adalah seruan untuk menggelorakan semangat bersatu, berbagi, dan berprestasi. Bersatu artinya kita kembangkan kembali spirit Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa tak boleh jadi alasan untuk saling membenci, tetapi justru menjadi daya perekat bangsa. "Bersatu dalam keragaman dan beragam dalam persatuan".
Untuk itu, kita harus memperkuat kecerdasan kewargaan dengan mengasah nalar etis dan bela rasa dalam wujud "kebajikan kewargaan" (the virtue of civility), yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.
Berbagi artinya kita kembangkan etos kepedulian, welas asih. Satu sama lain menjadi saudara dari keluarga besar keindonesiaan. Berbagi sejatinya merupakan sari pati nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yakni gotong royong. Dalam berbagi ada semangat saling memberi dan menerima; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; menyelesaikan persoalan lewat musyawarah dan mufakat.
Di dalamnya tersimpan pula makna yang senantiasa harus kita aktifkan: menebarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa setiap warga negara dijamin hak hidup, hak milik, dan kehormatannya, dengan pelayanan publik yang setara.
Berprestasi merupakan wujud aktualisasi kebebasan positif, dalam rangka mengembangkan potensi insani dan potensi kolektif bangsa, dalam usaha mencapai cita-cita nasional. Berprestasi menjadi hal penting bagi semangat kita untuk terus memberikan karya dan pelayanan terbaik bagi masyarakat, bangsa, bahkan kemanusiaan secara global.
Di tengah kondisi bangsa yang sedang diuji letupan konflik akibat benturan kepentingan dan pemahaman; seruan bersatu, berbagi, dan berprestasi, menjadi ajakan yang tak hanya mendamaikan, tetapi juga mengajak kita keluar dari kemelut pertikaian menuju prestasi positif bagi kemajuan bangsa.
Atas dasar itu, tema peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini adalah "Kita Pancasila: Bersatu, Berbagi, dan Berprestasi". Melalui tema ini, kita diingatkan bahwa kesaktian Pancasila perlu perhatian simultan terhadap masalah persatuan dan keadilan. Kita tak bisa memperjuangkan persatuan dengan mengorbankan keadilan; sebaliknya, tak bisa memperjuangkan keadilan dengan mengorbankan persatuan. Keduanya ibarat sepasang sayap garuda yang harus bergerak secara serempak.
Pokok pikiran pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi menggariskan misi (fungsi) negara untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia".
Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti, tanpa prasyarat integrasi nasional, mengembangkan demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Saat yang sama, demokrasi yang tidak mendorong keadilan sosial malah memperluas kesenjangan sosial, bisa melahirkan frustrasi sosial yang bisa berbalik menikam demokrasi.
Hanya dengan menguatkan semangat bersatu dan berbagi kita bisa meraih prestasi kehidupan bangsa di berbagai bidang. Prestasi dalam mewujudkan cita-cita nasional menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Prestasi dalam kerangka persetujuan menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama. Ini impian kita bersama, sebagaimana diwakili tekad Bung Hatta, "Aku ingin membangun dunia di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya."
YUDI LATIF KEPALA BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA
Kompas, 31 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar