Pernahkah kita berkonflik atau berbeda pendapat secara keras, umumnya dengan orang dekat, sampai dada berdebar? Ia atau kita saling memaki, mengucapkan kata-kata tidak pantas, berteriak, hingga melakukan agresi fisik? Kapan terakhir kali kita merasa sangat marah, sampai-sampai (hampir) tak mampu mengendalikan diri? Apa pencetusnya dan apa yang kita lakukan?
Pernahkah kita berkonflik atau berbeda pendapat secara keras, umumnya dengan orang dekat, sampai dada berdebar? Ia atau kita saling memaki, mengucapkan kata-kata tidak pantas, berteriak, hingga melakukan agresi fisik? Kapan terakhir kali kita merasa sangat marah, sampai-sampai (hampir) tak mampu mengendalikan diri? Apa pencetusnya dan apa yang kita lakukan?
Mungkin banyak kita pernah mengalaminya, dalam hubungan dengan orang yang paling kita cintai sekalipun. Hal ini tidak jarang meninggalkan dampak yang akan terus disesali sepanjang hidup. Ketidakmampuan mengendalikan diri mungkin berakibat putusnya hubungan persahabatan, pecahnya keluarga, perceraian, luka batin pada anak yang sangat disayangi, dan permusuhan panjang.
Eskalasi emosi
Sebenarnya tipis batas pemisah cerita di atas dengan kasus-kasus kekerasan yang berakibat sangat fatal sampai diberitakan di media. Belum lama ini cekcok antara LR (perempuan, 41) dan ST (25) terjadi di rumah LR. Mereka akan menikah dalam waktu dekat. Keduanya baru saja membuat foto pra-pernikahan yang sangat romantis dan indah. LR marah kepada pacarnya karena tidak menutup pintu pagar dengan benar sehingga membuat LR dimarahi ayahnya. Cekcok merembet ke soal-soal lain dan LR mengungkit-ungkit biaya pernikahan yang ditanggung oleh LR. Pertengkaran memuncak, LR mengambil pisau dapur, yang kemudian direbut ST dan digunakan oleh ST untuk menusuk LR hingga tewas ("Rumah Abu-abu Itu Jadi Saksi Bisu", Kompas, 7 Mei 2018).
Persoalan kecil ataupun besar dapat menjadi pemicu pertengkaran. Dari setiap pihak sering ada alasan yang lebih mendasar, misalnya mengenai tuntutan peran jender yang gagal dipenuhi (istri atau suami menyalahkan pihak lain yang dianggap tidak menjalankan perannya dengan baik). Tidak jarang pula, karakteristik pribadi berperan. Salah satu pihak, misalnya, dalam waktu lama bersikap egois atau curang, tidak menghormati dan memanfaatkan pihak lain, lalu pihak lain tidak mampu bersabar lagi dan mengeluarkan kata-kata keras atau kasar.
Karena keterbatasan ruang, tulisan ini tidak membahas siapa salah siapa benar, ataupun prinsip-prinsip kesetaraan, saling menghargai, saling memberi, dan saling menolong yang seyogianya perlu ada dalam setiap hubungan. Yang akan difokuskan adalah bagaimana kita tidak terpancing untuk masuk dalam eskalasi emosi yang dapat berdampak fatal, bahkan jika kita ada pada posisi yang lebih benar, pihak lain kita anggap di posisi yang salah (misalnya pihak lain menuduh tanpa alasan, menghina keluarga kita, menyebarluaskan berita bohong, atau mengambil uang tanpa izin).
Mengendalikan diri
Kita perlu mengenal gaya berkonflik dari orang yang kita hadapi. Apakah orang itu mudah terpicu untuk agresif secara verbal (menghina, memaki) dan secara fisik (melempar, memukul)? Apabila demikian, akan konyol jika kita tidak berusaha mengendalikan diri. Bahkan, jika orang yang kita hadapi sangat pasif, sabar, dan mengalah, ada saat-saat ia dapat terpancing emosi ketika kita atau orang yang dihadapinya berkata kasar, menghina, dan merendahkan. Jika sampai demikian, bukan tidak mungkin ia akan melakukan agresi fisik yang berakibat fatal.
Pada akhirnya, kita tidak dapat mengendalikan orang lain. Yang dapat kita lakukan adalah mengendalikan perilaku kita sendiri. Karena itu, sangat perlu juga untuk mengenal perasaan dan kecenderungan diri sendiri.
Salah satu yang dilatih untuk mengelola amarah adalah kesediaan dan kemampuan untuk mengambil time out. Kita harus keluar dan meninggalkan arena pertengkaran ketika menyadari emosi sangat meninggi. Siapa yang harus mengambil time out? Siapa pun yang terlibat dalam konflik dengan kemarahan yang terus meningkat, yang membuat pihak-pihak tidak dapat berpikir dan bertindak jernih.
Mengapa? Karena kita perlu menghentikan peningkatan kemarahan sebelum lepas kendali. Agar kita dapat berpikir jernih dan mengambil tindakan yang tepat dalam menangani konflik. Kapan harus mengambil time out? Secepatnya, begitu kita mengenali kemarahan (diri sendiri atau orang lain) makin meningkat dan dapat berdampak fatal jika tak terkendali.
Ke mana kita pergi? Meninggalkan tempat di mana konflik terjadi, menuju situasi yang dapat membuat batin lebih tenang. Sebaiknya kita tidak menyetir mobil, minum alkohol, menggunakan obat, atau berkumpul dengan orang lain yang akan membuat emosi kita makin panas.
Adakalanya orang yang berkonflik dengan kita memaksa kita tetap tinggal, melecehkan, atau menganggap kita kalah karena tidak mau berdebat dan malahan meninggalkan ruangan. Tentang itu, kita perlu bersikap tenang dan tidak terjebak sikapnya yang melecehkan. Siapa pun berhak mengambil time out jika merasa memerlukannya. Itu bukan tanda kekalahan, tetapi tanda kematangan.
Time out bukan sikap diam seribu bahasa atau perilaku mendiamkan orang lain untuk menghukum, melainkan upaya menenangkan diri dan meminimalkan terjadinya tindakan yang akan disesali. Time out perlu mencukupi waktunya agar kita dapat menenangkan diri secara fisik dan emosi. Idealnya, jika konflik terjadi dengan orang dekat, kita perlu memberi tahu orang tersebut bahwa kita mengambil time out, tetapi akan kembali untuk menyelesaikan persoalan.
Bagaimana mengenali kapan emosi makin memuncak dan dapat lepas kendali? Dengan mempelajari pengalaman berkonflik selama ini. Kita dapat membuat catatan mengenai emosi marah yang pernah dirasakan, sasaran emosi marah kita, peristiwa pemicu atau kejadian yang membuat marah, serta mengingat kembali tanda-tanda awal kemarahan yang mulai memuncak. Apakah dada terasa panas bergolak? Suara meninggi? Tangan mengepal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar