AP PHOTO/VINCENT THIAN

Pengendara sepeda motor melewati jalan yang berada di bawah bendera koalisi Front Nasional atau Barisan Nasional di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (10/4/2018). Pemilu Malaysia ditetapkan berlangsung pada 9 Mei mendatang. Kubu oposisi menilai tanggal pemberian suara yang ditetapkan jatuh pada tengah pekan itu merugikan penentang Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, politisi yang tergabung dalam koalisi Barisan Nasional.

Satu minggu lagi, rakyat Malaysia tiba di "persimpangan jalan". Mereka akan menentukan, tetap menaruh kepercayaan kepada kubu penguasa atau tidak.

Secara teoretis, di negara demokratis, pemilu yang dilakukan secara reguler merupakan sarana rakyat untuk mengevaluasi penguasa. Jika sebagian besar rakyat menginginkan penguasa tetap berada di pemerintahan, mereka akan mendulang banyak suara sehingga bisa kembali mengelola negara. Sebaliknya, jika sebagian besar rakyat tak puas, penguasa akan berganti. Tentu saja, syaratnya, pemilu dilakukan secara terbuka dan adil. Tidak ada "kecurangan" sistematis.

Dalam pemilu kali ini, situasi serupa dihadapi pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak. Bersama koalisi Barisan Nasional (BN), ia akan diuji, para pemilih masih menghendakinya untuk memimpin atau tidak.

Lawan utama Najib adalah Mahathir Mohamad, yang dulu menjadi mentornya dan merupakan PM lebih dari 20 tahun. Tampil sebagai wakil dari Langkawi dan berusia lebih dari 90 tahun, Mahathir diperkirakan masih berpengaruh kuat di kalangan Melayu. Kehadirannya diprediksi dapat menarik sebagian warga Melayu dari semula mendukung BN beralih mendukung koalisi oposisi tempat Mahathir bernaung, Pakatan Harapan.

Mulai Sabtu (28/4/2018), Komisi Pemilihan Umum Malaysia resmi mengumumkan pencalonan para kandidat wakil rakyat. Tepat pada saat itu pula, masa kampanye dimulai. Mahathir dan Najib bersama para calon anggota legislatif lainnya dari kubu masing-masing bersaing merebut hati 14,9 juta pemilih.

Isu terkait proyek yang didanai China di sejumlah tempat di Malaysia menjadi senjata yang dipakai kubu Mahathir dan oposisi. Kebijakan Najib yang dinilai membuka pintu cukup lebar bagi investasi Beijing pada jangka panjang dinilai akan merugikan Malaysia. Belum lagi isu penerapan pajak oleh pemerintah yang dinilai memberatkan beban warga.

Sebaliknya, Najib menyampaikan sejumlah rencana jika kubunya memenangi pemilu dan ia menjadi perdana menteri lagi. Bertepatan dengan Hari Buruh, kemarin, Najib di hadapan ribuan orang menyatakan akan menaikkan upah minimum pekerja Malaysia. Sejumlah fasilitas tambahan juga dijanjikannya.

Dalam wawancara dengan Bloomberg, Najib mengklaim ekonomi Malaysia membaik. Tingkat pengangguran pada Februari ialah 3,3 persen, terendah sejak 2015, dan pendapatan warga juga naik. Produk domestik bruto tumbuh 5,9 persen tahun lalu, tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Menurut dia, pemerintahannya telah menumbuhkan ekonomi dan memastikan disiplin fiskal, selain mengurangi ketergantungan terhadap minyak.

Namun, pemilu kali ini tampaknya merupakan yang terberat. Pada lima tahun silam, untuk pertama kalinya, kubu penguasa mengantongi popular vote lebih kecil ketimbang oposisi, meski tetap meraih kursi mayoritas di parlemen.

Pada 9 Mei mendatang, akan terlihat, di tengah perubahan daerah pemilihan yang dilakukan pemerintah, akankah rakyat kali ini "menghukum" Najib atau kembali memberinya mandat


Kompas, 2 Mei 2018