KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga memasang spanduk kecaman terhadap aksi bom oleh teroris di Jembatan Pasar Kembang, Surabaya, Selasa (15/5/2018). Pasca serangan bom oleh teroris di Surabaya, warga memasang banyak spanduk kecaman serta ajakan untuk melawan aski terorisme di sejumlah titik utama kota.

Serangan teroris yang terjadi di tiga gereja dan kantor polisi di Surabaya menguatkan desakan publik agar Indonesia memiliki undang-undang antiterorisme.

Presiden Joko Widodo pun mengamini desakan publik tersebut. Presiden mengatakan akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) jika pembahasan revisi UU Antiterorisme tidak kunjung selesai di DPR, Juni ini.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki UU Antiterorisme. Perppu No 1/2002 setelah disahkan menjadi undang-undang menjadi hukum positif pemberantasan tindak pidana terorisme. Perppu No 1/2002 sebagai respons darurat negara atas terjadinya pengeboman di Bali pada 2002. Enam belas tahun berlalu, Perppu No 1/2002 itu dinilai sudah tidak lagi mencukupi untuk mengantisipasi perkembangan terorisme.

Ledakan bom di Jalan Thamrin, Jakarta, Januari 2016, mendesakkan lagi pentingnya revisi UU Antiterorisme sesuai dengan skala ancaman terorisme. Pada Februari 2016, pemerintah mengajukan RUU Perubahan UU Antiterorisme. Namun, faktanya, lebih dari dua tahun, revisi itu belum juga selesai.

Setelah serangan bom bunuh diri di Surabaya, DPR dan pemerintah saling lempar tanggung jawab soal penyebab keterlambatan pengesahan UU Antiterorisme. Pemerintah mengatakan, pembahasan revisi UU Antiterorisme sudah lama diajukan. Namun, DPR berpendapat penundaan pengesahan karena perbedaan pandangan di tubuh pemerintah sendiri.

Desakan untuk mengesahkan UU Antiterorisme dilatarbelakangi penyanderaan polisi oleh napi terorisme di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob, dan serangan bom bunuh diri di Surabaya. Memang dibutuhkan kesigapan politik pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan UU Antiterorisme. Kita pun mengingatkan, kecepatan pembahasan diperlukan, tetapi kesaksamaan dan ketelitian juga harus jadi pertimbangan.

Perdebatan publik mengenai substansi UU Antiterorisme perlu dibuka. Isu pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, jangka waktu penahanan terduga teroris, serta keterlibatan masyarakat dalam proses deradikalisasi perlu didiskusikan secara terbuka. UU Antiterorisme harus juga mengatur aspek pencegahan aksi terorisme. Keamanan publik dan kebebasan sipil perlu diatur secara proporsional. Jangan sampai karena mengedepankan kebebasan sipil, keamanan masyarakat dikorbankan. Akuntabilitas untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dari aparat mungkin bisa jadi titik kompromi.

Perbedaan pendapat dalam perumusan pasal dalam revisi UU Antiterorisme adalah wajar dalam sistem demokrasi. Namun, kita berharap pembahasan soal itu tak berlarut-larut dan tidak harus menunggu serangan teroris terjadi lagi. Cepat selesaikan perbedaan pendapat secara demokratis, libatkan publik untuk memberikan masukan soal UU Antiterorisme itu.