REUTERS/MOHAMAD TOROKMAN

Seorang demonstran Palestina memegang pengumban dalam unjuk rasa yang menandai peringatan 70 tahun Nakba, Selasa (15/5/2018), di dekat Beit El, sebuah permukiman Yahudi, tak jauh dari Ramallah di Tepi Barat. Sehari sebelumnya, setidaknya 60 warga Gaza tewas oleh penembak jitu Israel dalam unjuk rasa itu.

Rakyat Palestina dua kali mendapat pukulan sangat keras yang begitu menyakitkan dari Israel bertepatan dengan peringatan 70 tahun tragedi Nakba 1948.

Pukulan pertama adalah pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, 14 Mei. AS menjadi negara pertama dari sebanyak 86 negara yang memiliki perwakilan diplomatik di Israel yang memindahkan kantor perwakilannya ke Jerusalem.

AS tidak hanya memindahkan kantor kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem, tetapi juga sejak akhir tahun lalu, setelah Donald Trump menjadi presiden negara adikuasa itu mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan ini sejalan dengan klaim secara sepihak oleh Israel pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibu kota Israel.

Sehari setelah perayaan pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, terjadi bentrokan antara tentara Israel dan rakyat Palestina di Gaza yang menggelar peringatan 70 tahun Nakba, malapetaka. Ini mengacu pada pengusiran secara sistematis orang-orang Palestina dari kampung halamannya yang direbut dan diduduki Israel pada 1948.

Bahkan, ada yang menyebut Nakba sebagai pembersihan etnik Palestina dan penghancuran hampir total masyarakat Palestina. Tak kurang dari 750.000 orang Palestina dipaksa keluar dari kampung halamannya dan menjadi pengungsi, antara lain di Lebanon dan Jordania, serta banyak juga yang ke Gaza.

Aksi damai—yang menurut pihak keamanan Israel dilakukan oleh sekitar 40.000 orang—di sepanjang perbatasan Gaza-Israel itu berubah menjadi tragedi. Pasukan Israel berlaku brutal terhadap mereka, para penembak jitu menembaki mereka. Alhasil, tak kurang dari 61 orang, termasuk bayi, tewas dan sekurang-kurangnya 2.400 orang lainnya terluka.

Tak pelak lagi, dua peristiwa pada pertengahan bulan Mei ini, di Palestina akan menjadi batu sandungan yang sangat serius bagi proses perundingan perdamaian yang selama ini macet. Sebab, Jerusalem bisa dikatakan adalah jantung konflik Israel-Palestina yang selama ini diklaim oleh kedua belah pihak sebagai ibu kota negaranya. Hingga kini, masalah status Jerusalem itu belum selesai dirundingkan.

Selain itu, tragedi di Gaza juga bisa meningkatkan suhu ketegangan di kawasan. Bukan mustahil bahwa gelombang protes terhadap pemindahaan kedutaan dan aksi brutal tentara Israel terhadap rakyat Palestina akan terjadi di mana-mana. Solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina yang memperjuangkan kemerdekaannya akan semakin kuat.