Tulisan ini hendak memetakan kemungkinan terjadinya perubahan pola dalam pelibatan perempuan dan anak sebagai pelaku penyerangan oleh kelompok radikal, serta bagaimana perempuan dalam perannya sebagai ibu menjadi pelaku aktif gerakan radikal kekerasan.
Sejak lima tahun terakhir, para pemerhati gerakan radikal, baik di dunia internasional maupun di Indonesia, telah mengenali adanya pelibatan perempuan dewasa sebagai pelaku aksi kekerasan. Bacaan itu telah membawa pada sejumlah hipotesis yang menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal disebabkan oleh relasi kuasa yang sangat timpang, yang menyebabkan mereka secara terpaksa ikut kehendak suaminya yang lebih dulu terpapar oleh radikalisme.
Pelaku aktif-langsung
Anggapan serupa bisa jadi benar. Namun, mengingat yang dipertaruhkan adalah nyawa dan bukan hanya satu tetapi empat, hampir tidak mungkin ketimpangan relasi kuasa melahirkan keyakinan untuk secara aktif "berjihad". Sebab ketimpangan relasi kuasa tak akan melahirkan penundukkan penuh tanpa ada isyarat perlawanan. Sebaliknya proses ideologisasi akan mampu melahirkan peran keagenan perempuan dalam gerakan radikal.
Penelitian Rumah Kitab soal pendidikan karakter memperlihatkan peran dan pengaruh ibu dalam menetapkan sikap intoleransi kepada anak, dengan alasan untuk melidungi keyakinan anak dari pengaruh keyakinan lain (2016). Studi Rumah Kitab lainnya menunjukkan, perempuan dalam kelompok radikal merupakan pelaku aktif yang menjadikan tubuh, kehidupannya dan keluarganya sebagai pengejawantahan ideologi yang dianutnya, seperti penerapan syariah sesuai dengan yang dipahaminya (2014).
Analisis lain dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam kelompok radikal memiliki hasrat untuk ikut menegakkan hukum agama yang diyakininya. "Kalau saya diperbolehkan imam ke Suriah, biar saya saja yang berangkat, habis suami saya penakut" demikian seorang istri bercerita tentang betapa besarnya hasrat untuk ikut ke kancah perang untuk memerangi musuh-musuh agamanya. Di luar alasan itu, perempuan dalam kelompok radikal kekerasan juga menghendaki untuk direkognisi peran dalam kelompoknya.
Sebagian mereka sama sekali tak berminat menjalankan peran-peran penopang dalam ber-"jihad" kecil, sebagaimana dilakukan perempuan secara tradisional seperti beranak banyak, atau menyiapkan anak menjadi tentara Tuhan (jundullah), atau sabar dan ikhlas sepanjang suami sedang berperang.
Namun, dalam perkembangannya, mereka lebih berminat menjadi pelaku langsung aksi radikal atau jihad akbar. Fenomena itu tampaknya menunjukkan telah terjadinya proses maskulinisasi gerakan radikal kekerasan, yang ditandai dengan terlibatnya perempuan sebagai pelaku tindakan kekerasan secara langsung. Di dunia internasional orang pun mengenali perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri, seperti yang dilakukan Hasna Aitboulahcen, di Saint-Denis, Perancis, tahun 2015.
Pada mulanya perempuan memang diberi peran untuk menjalankan peran-peran feminin tradisional yang mengadopsi pembagian kerja dalam keluarga; lelaki ke luar untuk ber-"jihad" istri menjadi pihak penopang dan mengurus anak-anak. Namun, dalam perkembangannya terjadi perubahan di internal mereka. Ini terutama karena aparat keamanan di berbagai negara semakin ketat dalam melakukan pengawasan kepada lelaki yang dicurigai.
Situasi ini mendorong untuk melibatkan kaum muda perempuan dalam aksi kekerasan. Dalam waktu yang bersamaan, adanya penghargaan dan pemujaan yang luar biasa terhadap mereka yang langsung bertempur di kancah peperangan telah menarik minat dan hasrat, tak terkecuali perempuan.
Kajian Sidney Jones menunjukkan sejumlah perempuan muda di Indonesia yang terlibat dalam gerakan radikal yang tak lagi berminat sebagai pengumpul uang derma perjuangan (fa'i), atau menjalankan peran tradisional mereka seperti menjadi istri dan ibu meskipun mereka tetap berhasrat untuk diperistri para petinggi organisasi radikal di mana ia bernaung.
Perempuan muda yang terlibat dalam gerakan radikal itu secara aktif mengambil pola-pola maskulin dalam aksi "jihad", seperti ikut ke kancah perang, atau mempelajari teknologi perakitan bom, atau menjadi pembawa bom bunuh diri. Corak maskulin dalam kelompok radikal kekerasan ini diimpikan oleh perempuan-perempuan muda yang mendambakan untuk terlibat langsung dalam perang di Suriah.
Namun aksi radikal kekerasan yang dilakukan lelaki maupun perempuan tak lagi mudah mereka lakukan. Pengawasan pihak keamanan tak lagi terlalu bias gender dengan anggapan hanya lelaki yang bisa menjadi pembawa bom dan pelaku bom bunuh diri. Dalam kasus "bom panci" misalnya, kelompok radikal kekerasan gagal menjadikan Dian Novi sebagai pengantin melakukan bom bunuh diri.
Mengadopsi maskulinitas
Lalu bagaimana dengan perempuan yang telah berkeluarga? Hasrat untuk mengubah watak pengabdiannya menjadi pelaku aktif kekerasan radikal mendapat tantangan yang tidak kecil. Perhatian pihak keamanan boleh jadi tak sekadar kepada lelaki dan perempuan muda. Namun langkah mereka terbatas.
Tantangan utamanya adalah adanya anak-anak. Karena itu mereka begitu bangga jika suaminya dapat diyakinkan ikut "berangkat", atau memiliki banyak anak lelaki yang diyakini kelak menjadi pelanjut perjuangan. Sebab, dalam tafsir mereka, hanya anak lelaki yang berjihad yang dapat membawa ibunya masuk ke dalam surga.
Meskipun dengan langkah yang terbatas, bukan berarti perempuan yang telah berkeluarga tak memiliki peluang untuk melakukan upaya "jihad". Anak dan suami bagi mereka merupakan ladang amal. Sejumlah kasus dari mereka yang ber-'hijrah' ke Suriah benar-benar mendapatkan penguatan dari istrinya yang menghendaki agar keluarganya selamat dengan memasuki negara yang dicita-citakan, yang akan melindungi dari kematian sia-sia.
Feminisasi gerakan radikal justru terjadi di sini. Ketika kaum lelaki dan atau kelompok perempuan yang mengambil peran aktif dalam gerakan radikal dengan mengadopsi peran maskulin mengalami kegagalan, perempuan dalam perannya sebagai ibu dengan karakter femininnya dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk melancarkan aksinya.
Sang ibu niscaya telah terlebih dahulu memiliki ideologi radikal, baik diperoleh dari suaminya atau dari lingkungan kelompoknya atau proaktif mencarinya melalui media. Tanpa peran ibu yang memiliki ideologi kuat soal gerakan radikal kekerasan, hampir mustahil sebuah keluarga dapat teryakinkan untuk melakukan bom bunuh diri bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar