Tulisan ini hendak memetakan kemungkinan terjadinya perubahan pola dalam pelibatan perempuan dan anak sebagai pelaku penyerangan oleh kelompok radikal, serta bagaimana perempuan dalam perannya sebagai ibu menjadi pelaku aktif gerakan radikal kekerasan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Members of the East Java Police's bomb squad stand guard during a raid at the house of a terror suspect in Urangagung village, Sidoarjo, East Java, on Monday (14/5/2018). Four people were arrest in the raid; two men and two women.

Sejak lima tahun terakhir, para pemerhati gerakan radikal,  baik di dunia internasional maupun di Indonesia, telah mengenali adanya pelibatan perempuan dewasa sebagai pelaku aksi kekerasan. Bacaan itu  telah membawa pada sejumlah hipotesis yang menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal disebabkan oleh relasi kuasa yang sangat timpang, yang menyebabkan mereka secara terpaksa ikut kehendak suaminya yang lebih dulu terpapar oleh radikalisme.

Pelaku aktif-langsung

Anggapan serupa bisa jadi benar. Namun, mengingat yang dipertaruhkan adalah nyawa dan bukan hanya satu tetapi empat,  hampir tidak mungkin  ketimpangan relasi kuasa melahirkan keyakinan untuk secara aktif "berjihad". Sebab ketimpangan relasi kuasa tak akan melahirkan penundukkan penuh tanpa ada isyarat perlawanan. Sebaliknya  proses ideologisasi akan mampu melahirkan peran keagenan perempuan dalam gerakan radikal.

Penelitian Rumah Kitab soal pendidikan karakter memperlihatkan peran dan pengaruh ibu dalam menetapkan sikap intoleransi kepada anak,  dengan alasan untuk  melidungi keyakinan anak  dari pengaruh keyakinan lain (2016). Studi Rumah Kitab lainnya menunjukkan, perempuan dalam kelompok radikal merupakan pelaku aktif yang menjadikan tubuh, kehidupannya  dan keluarganya sebagai pengejawantahan ideologi yang dianutnya, seperti penerapan syariah sesuai dengan yang dipahaminya (2014).

Bom ditemukan di rumah terduga teroris di Jalan Tambak Medokan Ayu, Surabaya, Selasa (15/5/2018)

Analisis lain dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam kelompok radikal  memiliki hasrat untuk ikut menegakkan hukum agama yang diyakininya. "Kalau saya diperbolehkan imam ke Suriah, biar saya saja yang berangkat, habis suami saya penakut" demikian seorang istri bercerita tentang betapa besarnya hasrat untuk ikut ke kancah perang untuk memerangi musuh-musuh agamanya. Di luar alasan itu, perempuan dalam kelompok radikal kekerasan juga menghendaki untuk direkognisi peran dalam kelompoknya.

Sebagian mereka sama sekali tak berminat menjalankan peran-peran penopang dalam ber-"jihad" kecil, sebagaimana dilakukan perempuan secara tradisional seperti beranak banyak, atau menyiapkan anak menjadi tentara Tuhan (jundullah), atau  sabar dan ikhlas sepanjang suami sedang berperang.

Namun, dalam perkembangannya, mereka  lebih berminat menjadi pelaku langsung aksi radikal atau jihad akbar. Fenomena itu tampaknya  menunjukkan telah terjadinya  proses maskulinisasi gerakan radikal kekerasan,  yang ditandai dengan terlibatnya perempuan sebagai pelaku tindakan kekerasan secara langsung. Di dunia internasional orang pun mengenali perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri, seperti yang dilakukan Hasna Aitboulahcen,  di Saint-Denis, Perancis, tahun 2015.

Pada mulanya perempuan memang diberi peran  untuk menjalankan peran-peran feminin tradisional yang mengadopsi pembagian kerja dalam keluarga; lelaki ke luar untuk ber-"jihad" istri menjadi pihak penopang dan mengurus anak-anak. Namun, dalam perkembangannya terjadi perubahan di internal mereka. Ini terutama karena  aparat keamanan di berbagai negara semakin ketat dalam melakukan pengawasan kepada lelaki yang dicurigai.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Ambulance memasuki lokasi ledakan bom di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Minggu (13/5/2018). ledakan berasal dari satu rumah di lantai 5 Blok B.

Situasi ini mendorong untuk  melibatkan kaum muda perempuan dalam aksi kekerasan. Dalam waktu yang bersamaan, adanya penghargaan dan pemujaan yang luar biasa terhadap mereka yang langsung bertempur  di kancah peperangan telah menarik minat dan hasrat, tak terkecuali perempuan.

Kajian Sidney Jones menunjukkan sejumlah perempuan muda di Indonesia yang terlibat dalam gerakan radikal yang tak lagi berminat sebagai pengumpul uang derma perjuangan (fa'i), atau menjalankan peran tradisional mereka seperti menjadi istri dan ibu meskipun mereka tetap berhasrat untuk diperistri para petinggi organisasi radikal di mana ia bernaung.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Workers clean up debris left after the bombing attack on Sunday (13/5/2018) at Saint Mary Immaculate (SMTB) Catholic Church of Surabaya on Jl. Ngagel Madya in Surabaya.

Perempuan muda yang terlibat dalam gerakan radikal itu secara aktif mengambil pola-pola maskulin dalam aksi "jihad", seperti ikut ke  kancah perang, atau mempelajari teknologi perakitan bom, atau menjadi pembawa bom bunuh diri. Corak maskulin dalam kelompok radikal kekerasan ini diimpikan oleh perempuan-perempuan muda  yang mendambakan untuk terlibat langsung dalam perang di Suriah.

Namun aksi radikal kekerasan yang dilakukan lelaki maupun perempuan tak lagi mudah mereka lakukan. Pengawasan pihak keamanan tak lagi terlalu bias gender dengan anggapan hanya lelaki yang bisa menjadi pembawa bom dan pelaku bom bunuh diri. Dalam kasus "bom panci" misalnya, kelompok radikal kekerasan gagal menjadikan Dian Novi sebagai pengantin melakukan bom bunuh diri.

Mengadopsi maskulinitas

Lalu bagaimana dengan perempuan yang telah berkeluarga? Hasrat untuk mengubah watak pengabdiannya menjadi pelaku aktif kekerasan radikal mendapat tantangan yang tidak kecil. Perhatian pihak keamanan boleh jadi tak sekadar kepada lelaki dan perempuan muda. Namun  langkah mereka terbatas.

Tantangan utamanya adalah adanya anak-anak. Karena itu mereka begitu bangga jika suaminya  dapat diyakinkan ikut "berangkat", atau  memiliki banyak anak lelaki yang diyakini kelak menjadi pelanjut perjuangan. Sebab, dalam tafsir mereka, hanya anak lelaki yang berjihad yang  dapat membawa ibunya masuk ke dalam surga.

Meskipun dengan langkah yang terbatas, bukan berarti perempuan yang telah berkeluarga tak memiliki peluang untuk melakukan upaya "jihad".  Anak dan suami bagi mereka merupakan ladang amal.  Sejumlah kasus dari  mereka yang  ber-'hijrah' ke Suriah benar-benar  mendapatkan penguatan dari istrinya yang menghendaki agar keluarganya selamat dengan memasuki negara yang dicita-citakan, yang akan melindungi dari kematian sia-sia.

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Melawan Teror – Aliansi Damai Malang menggelar doa bersama dan aksi keprihatinan menentang teror bom di SUrabay dan Sidoarjo. Aksi pada Senin (14/5) malam tersebut bertujuan mengajak semua orang sama-sama bersepakat menentang teror yang hanya akan merugikan masyarakat. Selain berdoa bersama, mereka juga membuat pernyataan.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
2018-05-14

Feminisasi gerakan radikal justru terjadi di sini. Ketika kaum lelaki dan atau kelompok perempuan yang mengambil peran aktif  dalam gerakan radikal dengan mengadopsi peran maskulin mengalami kegagalan, perempuan dalam perannya  sebagai ibu dengan karakter femininnya dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk melancarkan  aksinya.

Sang ibu niscaya telah terlebih dahulu memiliki ideologi radikal, baik diperoleh dari suaminya atau dari lingkungan kelompoknya atau proaktif mencarinya melalui media. Tanpa peran ibu yang memiliki ideologi kuat soal gerakan radikal kekerasan, hampir mustahil sebuah keluarga dapat teryakinkan untuk melakukan bom bunuh diri bersama.