KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sempat menembus level 6.000, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,83% atau 48,89 poin pada level 5.956,83 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (11/5/2018). IHSG berhasil mempertahankan penguatan setelah pada perdagangan Rabu (9/5) ditutup pada level 5.907,94.

Berada dalam tekanan secara terus-menerus dan anjlok tajam beberapa pekan terakhir, banyak pihak yakin indeks saham dan rupiah akan bisa kembali menguat.

Masa-masa berat yang dihadapi perekonomian diperkirakan memang belum akan segera lewat. Faktor eksternal, yakni sentimen global, terutama terkait rencana bank sentral AS (Federal Reserve), untuk menaikkan suku bunga masih akan bertahan beberapa bulan ke depan.

Sentimen negatif ini terus menekan nilai tukar rupiah yang pekan ini sudah menembus level psikologis Rp 14.000 per dollar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia anjlok hingga 5.774,7 akibat aksi jual masif investor.

Kita tidak boleh membiarkan pelemahan rupiah dan IHSG terus berlanjut dan membahayakan fundamen ekonomi, daya beli, dan kelangsungan sektor dunia usaha. Upaya intervensi telah dilakukan BI, tetapi rupiah bergeming. Desakan kepada pemerintah untuk intervensi lewat buyback saham/surat utang negara pun muncul, dalam rangka membendung laju pelemahan rupiah dan IHSG yang dianggap sudah terlalu eksesif.

Sejak akhir Januari, arus modal keluar dari pasar saham dan pasar obligasi mencapai Rp 61 triliun lebih. Namun, langkah intervensi di pasar tak mungkin dilakukan terus-menerus, tanpa dibarengi langkah-langkah lebih agresif perbaikan fundamental ekonomi, guna mengembalikan kepercayaan investor di pasar. Tanpa itu, upaya menarik kembali investor tak akan efektif.

Kekhawatiran terhadap fundamen ekonomi menjadi faktor penting yang ikut menyumbang pelemahan rupiah dan indeks. Meskipun secara umum makroekonomi cukup baik—tecermin dari inflasi yang rendah, neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang positif, serta fiskal yang prudent, dengan defisit APBN terkendali di angka 2,19 persen dari PDB—realisasi pertumbuhan PDB triwulan I-2018 yang di bawah ekspektasi membuat investor meragukan fundamen ekonomi.

Upaya menarik kembali investor tak mungkin berhasil tanpa upaya lebih serius mengembalikan kepercayaan. Salah satunya, dengan menjaga kebijakan tetap kredibel, di tengah ketidakpastian global. Mengelola tekanan naiknya harga minyak mentah yang bisa berdampak pada APBN, kebijakan suku bunga yang prudent sehingga tak jadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi atau sektor riil, dan melanjutkan reformasi struktural. Koordinasi sisi fiskal, moneter, dan sektor riil menjadi penting di sini.

Gelombang pembalikan modal asing dari emerging markets ke negara maju diperkirakan akan mereda dalam beberapa bulan ke depan dan sebagian akan kembali berbalik ke emerging markets. Penyebabnya adalah kejenuhan di pasar negara-negara maju itu sendiri, adanya kebutuhan untuk diversifikasi, selain juga investasi di emerging markets masih sangat menjanjikan.

Kita harus memastikan Indonesia sudah siap saat itu terjadi. Dari sisi potensi, Indonesia dengan skala ekonomi yang besar, pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dan kelas menengah yang terus bertumbuh, masih menjadi magnet bagi investor.