KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sejumlah robot karya siswa SMK Santo Mikael, Solo, ditampilkan dalam pameran pendidikan di SMP Pangudi Luhur, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (13/1). Pameran tersebut digelar dalam rangka peringatan ulang tahun ke-90 SMP tersebut. Berbagai sekolah mulai gencar berpromosi untuk menarik minat calon murid melalui ajang pameran pendidikan.

Agar mencapai kejayaan, satu bangsa harus punya berbagai sumber daya—alam, insani, iptek—dan kepemimpinan dengan kebijakan yang mumpuni.

Lebih-lebih ketika zaman mengalami berbagai disrupsi atau guncangan, kehadiran sumber daya unggul jadi syarat mutlak. Apa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini? Di luar pekerjaan rumah yang banyak belum terselesaikan, khususnya yang menyangkut kebutuhan dasar sekitar sandang, pangan, dan papan, kini kencang digaungkan Revolusi Industri 4.0.

Revolusi Industri 1.0 dikaitkan dengan lahirnya mesin, khususnya mesin uap. Revolusi 2.0 dikaitkan dengan penemuan listrik, dan Revolusi 3.0 dikaitkan dengan pengolahan informasi serta pemanfaatan komputer dan internet.

Revolusi 4.0 antara lain ditandai dengan meluasnya pemanfaatan kecerdasan buatan, robotika, cetak tiga dimensi, dan realitas virtual. Satu hal yang sering dikaitkan dengan menguatnya Revolusi Industri 4.0 adalah meningkatnya kompleksitas.

Permasalahan yang semakin kompleks ini membutuhkan insan cerdas untuk meresponsnya. Kita banyak mendengar wacana bonus demografi. Akan tetapi, oleh karena waktu belajar penduduk Indonesia rata-rata masih di bawah sembilan tahun, kualifikasi yang bisa diharapkan dari bonus demografi Indonesia tidak bisa terlampau tinggi.

Di antara keterbatasan akses pendidikan ini ada sejumlah anak muda siswa SMA, dan di antaranya sukses menempuh karier akademik ataupun pekerjaan, yang diketahui bertalenta istimewa. Oleh situasi, tidak sedikit yang berkarier di negara lain.

Pertama, ingin kita garis bawahi bahwa program seperti olimpiade sains kita apresiasi sebagai pemupuk minat terhadap sains, dan keliru jika dipersepsikan sebagai peta jalan untuk meraih Nobel. Namun, setidaknya dari para pemenangnya terlihat adanya minat dan kesungguhan untuk meraih prestasi.

Kita masygul mendengar penuturan bahwa sebagian dari siswa-siswa pintar ini memilih kesempatan di negara lain, seperti di Singapura, karena kesempatan yang ditawarkan lebih baik. Di luar negeri mereka diberi kesempatan kuliah di universitas unggul, bebas memilih bidang studi, dan dapat dukungan biaya.

Di dalam negeri, perguruan tinggi hanya menawarkan bebas tes masuk. Syarat lain yang ditetapkan adalah siswa harus memilih jurusan sama dengan yang ia pilih dalam olimpiade. Itulah ciri tipikal birokrasi kita: kaku dan setengah-setengah.

Jadi, tidak bisa disalahkan kalau sebagian memilih perguruan tinggi asing, apalagi sekelas Nanyang Technological University atau Massachusetts Institute of Technology. Boleh jadi yang kita alami adalah brain drain, tersedotnya talenta unggul. Sementara oleh kebijakan yang benar dan ketersediaan dana, di China malah terjadi brain gain, dengan otak-otak cemerlang yang sebelumnya mengabdi di korporasi Amerika atau Eropa berhasil dibujuk pulang ke tanah air untuk membangun negeri.