REUTERS/KHALID AL-MOUSILY

Seorang anak Irak, Minggu (13/5/2018), berjalan di jalan kota Mosul, Irak, sambil membawa poster pemilu.

Irak akan kembali dipimpin orang Syiah. Namun, siapa pun pemenang pemilu Irak, ia harus memikirkan cara menghindarkan Irak menjadi ajang konflik AS dan Iran.

Hasil pemungutan suara sementara pemilu parlemen di Irak menunjukkan, tak satu pun dari 87 partai peserta pemilu yang dominan. Menurut rencana, hasil resmi pemilu yang digelar Sabtu lalu itu akan diumumkan hari Senin (14/5/2018) waktu setempat.

Tidak seperti pemilu 2014 dan 2010, peserta pemilu 2018 didominasi oleh koalisi Syiah, Sunni, dan Kurdi yang terfragmentasi. Yang jelas, di negara dengan 70 persen warga Syiah ini, pemilu ini akan dimenangi salah satu dari lima koalisi Syiah: Koalisi Nasr (Haider al-Abadi), Koalisi Fatah (Hadi al-Amiri), Koalisi Dawat al-Qanoon (Nouri al-Maliki), Koalisi Sairoon (Moqtada al-Sadr), dan Koalisi Hakim (Amr al-Hakim). Sementara kelompok Kurdi pecah menjadi empat, dan kelompok Sunni menjadi dua aliansi.

Lebih dari separuh suara sudah masuk dan dihitung. Untuk sementara, Koalisi Sairoon yang dipimpin Moqtada al-Sadr dan beraliansi dengan kelompok komunis meraih suara terbanyak. Reuters menulis, Partai Moqtada meraih 54 dari 329 kursi yang diperebutkan. Disusul oleh Hadi al-Amiri dengan 47 kursi dan Haider al-Abadi dengan 42 kursi.

Berbeda dengan Amiri yang dekat dengan Iran dan berjuang melawan diktator Saddam Hussein yang Sunni, Sadr sama sekali tidak dekat dengan Iran. Tahun lalu Sadr bertemu putra mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman. Bahkan, Sadr pernah meminta Presiden Suriah Bashar al-Assad yang didukung penuh Iran mengundurkan diri.

Meski pernah bertemu Pangeran Salman, tidak berarti Sadr dekat dengan AS. Tahun 2017, dia meminta Pemerintah Irak mengusir warga AS dari negaranya setelah Presiden AS Donald Trump melarang warga Irak masuk wilayah AS.

Keputusan Trump untuk mundur dari kesepakatan nuklir Iran dan keinginan kuat Iran untuk mengontrol Irak memunculkan kekhawatiran adanya gejolak baru pasca-pemilu 2018. Apalagi, tampaknya tak satu peserta pun akan meraih mayoritas tunggal sehingga harus berkoalisi untuk membentuk pemerintahan.

Pada pemilihan 2010, Iyad Allawi meraih kursi terbanyak di parlemen, tetapi Iran berhasil menggagalkan keinginannya menjadi perdana menteri. Nasib yang sama bisa menimpa Sadr. Apalagi, Iran secara terbuka pernah menyatakan tidak akan mengizinkan bloknya untuk memerintah.

"Kami tidak akan mengizinkan kaum liberal dan komunis memerintah di Irak," kata Ali Akbar Velayati, penasihat utama Pemimpin Tertinggi Republik Islam Ayatollah Ali Khamenei, Februari lalu.