Pengaruh digital terhadap keputusan dan proses politik telah banyak dibahas.
Dampak hoaks terhadap hasil pemilihan presiden di AS hingga kini masih jadi isu. The Economist pada edisi September 2016 ("Art of the Lie") menulis dampak penggunaan internet oleh para politisi di banyak negara sebagai metode baru memelintir kebenaran. Di Indonesia, media digital digunakan untuk perang pengaruh melalui produksi, promosi hingga pemelintiran informasi.
Besarnya faktor informasi digital mengharuskan kita meninjau kembali banyak preposisi tentang demokrasi dan demokratisasi.
Pikiran tentang demokrasi mengasumsikan bentuk kelembagaan negara yang menjamin prinsip kebebasan bersuara. Agar prinsip ini berjalan sesuai tujuan, dibutuhkan institusi dan organisasi yang membangun kapasitas warga negara, seperti lembaga pendidikan, organisasi sosial, dan organisasi ekonomi. Intinya, demokrasi membutuhkan organisasi dan institusi untuk mencapai kemakmuran.
Sementara demokratisasi adalah proses panjang meningkatkan kapasitas warga negara, organisasi sosial, dan lembaga publik untuk mengolah kepentingan warga negara guna mencapai kemakmuran. Hal ini adalah tentang kemampuan organisasi/ lembaga mengolah sumber daya dan interaksi hingga menghasilkan kemakmuran. Jadi, salah kalau demokratisasi hanya soal kemampuan rakyat "bersuara" dan mengajukan kepentingannya. Demokratisasi adalah peningkatan kemampuan deliberasi (pertimbangan) dengan kapasitas melakukan tuntutan akuntabilitas praktis pada segala macam organisasi.
Namun, dari manakah masyarakat awam mendapat pengetahuan untuk berinteraksi sebagai warga negara yang baik? Mereka tentu tidak dapat diharapkan secara mendalam mengetahui latar belakang suatu kebijakan. Di sinilah demokrasi membutuhkan berbagai bentuk lembaga yang kredibel, seperti perguruan tinggi, lembaga riset, bahkan lembaga pers. Untuk mendapat status kredibel itu, mereka dilengkapi dengan prinsip kerja, etika profesi, dan standar kompetensi.
Apa yang berubah?
Perkembangan digital memasuki berbagai aspek kehidupan individu berjalan sangat cepat.
Digital teknologi tidak hanya mengubah makna waktu dalam menjangkau (outreach), tetapi juga membuka peluang apa yang bisa dijangkau. Koordinasi menjadi bukan hanya sangat luas, juga jadi jauh lebih beragam.
Digitalisasi adalah hubungan berdasarkan standar. Standar digital semakin canggih (mampu mengonstruksikan banyak variabel), seperti teknologi informasi dalam kota cerdas (smart city). Perspektif baru hanya mendapat tempat jika mampu menguasai komunikasi digital. Makna kepercayaan pada organisasi diberikan berdasarkan sistem. Misalnya, taksi berbasis aplikasi, fintek, dan peringkat hotel. Ini akan berarti bahwa perbaikan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam proses transaksi akan fokus pada bahasa sistem digital.
Perspektif hubungan manusia juga berubah. Jika di waktu lalu manusia bergantung pada interaksi individual dalam menjangkau tujuan, saat ini sistem informasi membuat individu mampu membuat keputusan sendiri. Individu semakin terpapar pada banyak hal dan semakin sedikit waktu untuk berinteraksi secara hangat dengan orang lain. Orang semakin menghargai respons dari dunia digital, meski umurnya pendek dan tidak mendalam.
Sosialisasi nilai menjadi terbuka pada banyak kemungkinan. Orang tidak terhambat lagi pada bentuk, perspektif, yang sebelumnya diberikan oleh beberapa lembaga yang absah dan kredibel. Penilaian akan kredensial ditentukan dengan cepat berdasarkan informasi yang disediakan sistem digital.
Perubahan yang lebih langsung berkaitan dengan kehidupan politik adalah perubahan dalam keterlibatan masyarakat. Ide tentang kebaikan publik, kepemilikan dan keterlibatan, identitas, serta rasa hormat berubah karena interaksi makin difasilitasi teknologi informasi. Partisipasi tatap muka dalam organisasi digantikan pelaporan dan percakapan melalui digital.
Akibat pada "demokrasi"
Digital membuat orang di seluruh dunia mendapat kesempatan mengekspresikan diri dan membuat bermacam-macam koneksi. Namun, akankah ini menghasilkan suatu kekuatan perbaikan dalam masyarakat?
Tulisan Thomas M Nichols (2017) tentang masyarakat Amerika menunjukkan bahwa digital membuat banyak masyarakat Amerika sangat percaya diri dalam menilai sesuatu. Sikap ini diikuti semacam penolakan atas otoritas lembaga yang secara konvensional menghasilkan pengetahuan. Pada saat pemilihan presiden yang lalu, para pembuat hoaks mendapat keuntungan sangat besar dengan sikap seperti ini. Hasilnya adalah kemenangan Trump yang kemudian dipandang sering membuat kebijakan yang membingungkan dan kredibilitasnya rendah.
Eropa secara umum lebih matang dalam menghadapi hoaks. Keterikatan mereka pada institusi konvensional dengan standar yang jelas menyelamatkan dari kekacauan pikiran publik. Menurut Angela Smith dari University of London, lebih dari 60 persen berita daring terkoneksi dengan kantor-kantor berita konvensional.
Adalah fenomena menarik bahwa tugas "kebaikan publik" menjadi banyak dipimpin oleh negara. Negaralah yang menciptakan sistem informasi untuk keterbukaan publik, menegakkan hukum atas hoaks, mendirikan unit clearing house, dan sebagainya. Namun, tentu saja sistem keterbukaan informasi tidak sama dengan deliberasi publik untuk ikut memperbaiki penyelenggaraan negara. Pelajaran tentang ini dapat dilihat pada pengalaman beberapa perusahan teknologi informasi raksasa, seperti IBM dan Yahoo yang menciptakan kembali ruang interaksi face to face untuk menghasilkan kebersamaan yang konstruktif. Kebaikan publik harus dikonstruksikan terus-menerus untuk menghadapi persoalan baru.
Realitas digital tidak bisa dibalikkan lagi. Apa yang harus dilakukan untuk membuatnya tidak melumpuhkan "arena publik" yang sehat?
Belajar dari sejarah panjang, hanya melalui perbaikan institusi dan organisasilah kecenderungan paradoks "terkonekasi, tetapi tersegmentasi" dapat diatasi. Setiap organisasi dan lembaga meneguhkan kembali misi sosialnya serta memperbaiki sistem pengelolaan informasi. Organisasi dari lembaga yang secara konvensional sumber informasi/pengetahuan yang absah juga harus melakukan sesuatu untuk tidak dikalahkan oleh anarki informasi.
Lembaga pers harus menerapkan standar baru, sistem kredibilitas baru, dan pola komunikasi yang berbeda dengan publik. Perguruan tinggi meningkatkan kompetensi dan relevansinya dalam memecahkan persoalan masyarakat. Ini harus mendapat dukungan dan kerja sama yang erat dengan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar