Indonesia. Anehnya Indonesia. Sebuah kata, yang sebenarnya bukan milik kita pada mulanya, ternyata kini begitu berarti bagi kita—semua insan yang merasa dimiliki dan memiliki atau terpaut karena satu dan lain hal olehnya.

Ia menjadi bagian paling berarti dalam diri kita, jadi alasan pertama kita ada dan terus meng-"ada". Indonesia kini telah menjadi fondasi dan modus vital kita—secara individual hingga nasional—bereksistensi. Inilah kata paling sakti sesungguhnya, lebih dari nama atau kata lain yang pernah kita kenal dan pahami.

Apa yang lebih aneh adalah cara dan argumen kita yang berbeda-beda dalam membela, menjunjung, dan memaknai kata itu. Tidak aneh—tentu saja—apabila perbedaan itu kita terima sebagai kelumrahan, bahkan kekayaan yang memperluas dan memperdalam hikmah dan fungsi kata itu bagi kita, bagi hidup kita.

Namun, sekali lagi aneh, belakangan kita justru menggunakan perbedaan itu sebagai alasan membenarkan diri sendiri dan menempatkan pemaknaan lain sebagai "yang lain" (the other) dengan pemosisian yang berlawanan, sebagai oposisi, musuh, lawan, atau ancaman. Akibatnya, anak-anak dari induk atau ibu-identitas ini—mulai dari konstitusi, ideologi (Pancasila), republik, NKRI, dan seterusnya— pun kita beri makna dan tafsir sesuai dengan "kebenaran-sendiri" yang preferensial di atas. Lalu, perbedaan pun kita buat mengeras, hingga jadi kontroversi, konflik, bahkan "perang" untuk menaklukkan kebenaran lain: tak peduli kebenaran itu historis, ideologis, konstitusional, kultural, apalagi governmental.

Ketika banyak orang sepakat Pancasila mengalami semacam kebuntuan makna dan kemerosotan penyimpangan implementasi, sehingga ia membutuhkan semacam revitalisasi dengan membentuk sebuah badan negara untuk itu, sebagian kita bukannya memberi dukungan—kritik atau usulan, kita malah meributkan "gaji" dari pekerjanya. Hal yang selama ini justru menodai makna dan praksis dari ideologi itu. Lalu, sampai sejauh mana sesungguhnya kita memahami, memaknai, dan menjelmakan Pancasila dalam hidup sehari-hari kita? Apa sesungguhnya yang telah kita capai bersama Pancasila?

Dalam tiga perempat abad usia Pancasila, juga mufakat tentang Indonesia sebagai negara, sebagian dari kita barangkali beranggapan telah melakukan semua yang semestinya dilakukan bagi kata sakti itu. Kesejahteraan meningkat (setidaknya dalam beberapa ukuran makroekonomi), kesehatan juga kian baik, pendidikan meninggi, infrastruktur berkembang, kepustakaan berlimpah (dibantu oleh pelbagai platform digital), bahkan kini tergolong dalam 20 negara berpendapatan terbesar. Dalam 10-15 tahun kemudian, konon, kita bisa menjadi anggota "lima bangsa terbesar" di dunia. Wah!

Namun, jujurlah kita, mata-hati-pikiran dan rasa kita, bahwa semua itu tidak bisa menjelaskan atau menjadi dasar mengelak dari kenyataan korupsi kian mewabah hingga kelas bawah, kriminalitas hingga peredaran narkoba tidak cuma kian menggerogoti, tetapi telah menjadi tumor ganas kehidupan dan masa depan bangsa ini. Deviasi sosial hingga ke tingkat yang tak terperikan dan nihil preseden terjadi di seluruh bagian negeri ini. Belum terorisme, radikalisme dalam cara hidup, hingga cara berpolitik dan beragama. Jadi, apa sebenarnya yang telah kita perbuat selama ini? Apa yang telah kita capai sebagai satu bangsa, sebagai sebuah negeri?

Tujuh presiden telah berganti, lima di antaranya dengan cara "baru": dipilih secara langsung, sebagai buah dari penurunan presiden kedua yang caranya berbeda dengan yang lainnya dan kita sebut: "reformasi". Sebuah momen yang sama sekali tak sesuai makna dengan namanya, tetapi justru berarti perubahan radikal, bahkan revolusioner, dalam cara kita berkonstitusi, bernegara, bermasyarakat, hingga berindividuasi. Tentu saja banyak bagian kita mensyukuri, bahkan menyelebrasi, perubahan hampir seluruh modus kita hidup bersama karena reformasi.

Namun, siapa bisa dan berani mengelak kenyataan bahwa ternyata kata "sakti" yang sama itu melahirkan pelbagai dampak yang menggiriskan, bahkan menciptakan ancaman paling serius bagi tetap berlangsungnya eksistensi negara, bangsa, hingga budaya kita? Kita bukan hanya mengalami kekacauan mengenali orang lain, yang terdekat sekalipun, juga diri sendiri. Kita tak mengenal negara dan negeri sendiri. Apa sebenarnya yang telah diperbuat reformasi? Apa yang telah dicapai olehnya hingga Indonesia menjadi seperti ini?

Represi budaya sendiri

Ketika di era reformasi ada beberapa pihak yang memersonakan dirinya sebagai manusia yang saleh dan salehah beribadah, tetapi malah menggunakan agamanya sendiri untuk menyakiti hati, bahkan melukai fisik hingga membunuh secara keji pemeluk agama yang berbeda, saya mulai mempertanyakan kebenaran aktual tentang spirit dan spiritualitas yang katanya jadi esensi pertama adab bangsa ini. Bukan, tentu saja bukan agama yang jadi sebab dari itu semua, tetapi adab, peradaban sebagai manifestasi budaya dari bangsa ini yang menjadi muasalnya.

Semua agama—Islam, Katolik, Buddha, Hindu—tidak berbeda inti pelajarannya dalam soal memahami dan mengembangkan keilahian manusia. Kasih sayang atau cinta adalah modal purbanya. Namun, ketika inti tersebut dipraktikkan melalui tata cara hidup manusia yang diproduksi oleh kebudayaan setempat (lokal)-nya, agama seolah mengalami persoalan, dengan berbagai tingkat (vertikal) atau gradasi (horizontal)-nya. Membuat agama dipraktikkan berbeda di bagian barat, utara, atau tenggara dunia, baik dalam bentuk, sifat, maupun tujuan kebudayaannya.

Persoalan akan muncul ketika sebuah kebudayaan secara niscaya (inevitable) harus bersentuhan dan berbenturan dengan kebudayaan lain dalam pergaulan antar-ras, bangsa, dan negara. Seperti juga tak terbantahkan (undeniable), perbenturan itu kemudian bersifat kompetitif, dengan satu pihak berusaha unggul, menang, atau mendominasi pihak lain. Inilah sejarah peradaban manusia, yang melahirkan—antara lain—kolonialisme dan imperialisme, dalam bentuk, sifat, hingga kedalamannya yang berubah.

Maka, ketika sebagian dari kita—yang jadi "korban" dari hasil kelindan-budaya di atas—mengalami semacam gegar (shock) dalam cara dia mengomprehensi dunia dan memanifestasikan pemahaman itu dalam hidup sehari-hari, hal itu menjadi kelumrahan. Sebagian menganggap hal itu memang seharusnya terjadi. Di titik inilah perbenturan hingga konflik yang menajam-mengeras pun bergeser ke wilayah internal kita.

Titik tumpu masalah pun kini teridentifikasi: ketika sebuah acuan atau pedoman hidup, yang suci sekalipun, entah itu (isti)adat, hukum, ideologi, ilmu, atau agama, akan jadi problematik jika dia tidak mau menyesuaikan atau meng-osmosa dirinya dengan adab atau budaya setempat (lokal) di mana ia dijalankan. Kebudayaan yang sekian lama, hingga beberapa milenium, telah berhasil merawat dan mengembangkan bangsa yang memilikinya.

Sifat kelindan-budaya yang konfliktual dan bernafsu dominatif itu membuat sebagian masyarakat, juga bangsa, mengingkari atau mengkhianati kebudayaannya sendiri. Memilih budaya pemenang atau dominan untuk justru menaklukkan, menindih, hingga membunuh kebudayaan primordialnya. Pada saat itulah sebuah bangsa akan mengalami momen ketika kegagalan atau kehancurannya tinggal menunggu waktu.

Karena itu, becerminlah kita. Adakah semua acuan hidup kita sudah dilandasi oleh adab dan budaya yang telah membentuk, memelihara, dan mengembangkan kita sebagai manusia, sebagai bangsa selama ini? Tidakkah kita telah mengkhianatinya, atau menekan-pendam ke bawah sadar kita sendiri, untuk justru menghidupkan budaya lain yang bahkan destruktif? Periksalah keadaan atau kenyataan itu dalam cara kita hidup, bernegara, beragama, berideologi, dan sebagainya.

Kebajikan budaya

Semoga ini menjadi kemafhuman, bahkan mufakat kita bersama, kebudayaan adalah hal yang terlalu fundamental untuk kita nafikan. Kebudayaan juga yang mesti kita komprehensi atau pahami dengan sebaik mungkin, sebelum kita bergagah-gagah dengan kesukuan kita, agama kita, bahkan dengan Pancasila hingga Indonesia. Sebab, absennya kebudayaan, semua pokok itu akan kehilangan akar, lalu melayang seperti selendang yang diterbangkan angin tanpa paham di mana, kapan, dan pada apa ia akan diam terkait.

Kebudayaan, bagi bangsa bernama Indonesia ini, tidak lain adalah apa yang sudah dijalankan dan dikembangkan oleh seluruh bagian (geografis, historis, dan arkeologis) dari bangsa ini sendiri. Ia menyebar dari Sabang ke Merauke, dari Miangas hingga Rote. Semua etnik, sub-etnik, hingga puak yang selama ratusan hingga beberapa ribu tahun mengembangkan dan memufakatkan nilai-nilai luhur (kemanusiaan) membuat semua komunitas itu bertahan hingga detik ini. Sebuah kekuatan itu, mau dibilang primordial atau dilecehkan dengan pelbagai eufemisme atau sarkasme, adalah kenyataan aktual-faktual yang hidup dalam diri kita.

Itulah pula kekuatan yang dalam kelindan-budaya itu telah tertaklukkan, bahkan secara ironik-tragik ditaklukkan oleh pemiliknya sendiri. Lewat pelbagai bentuk budaya baru, juga institusi-institusi baru yang ajaibnya didukung bahkan diciptakan dan dibiayai oleh negara (duit kita): mulai dari pendidikan, lembaga-lembaga politik, lembaga-lembaga mediatik, hingga lembaga kemasyarakatan.

Begitu rapuhkah kebudayaan kita itu sehingga dengan mudah ia "kalah" atau tertaklukkan oleh budaya apa pun yang masuk ke dalam rumahnya? Untuk itu, belajarlah kita pada semua budaya yang ada di negeri ini, dari adat, istiadat, hingga produk-produk nilai dan ritusnya. Sekurangnya, belajarlah pada budaya adat dari mana kita berasal secara genetik-primordial. Maka, akan kita temukan mutiara kehidupan tak terhitung banyaknya. Mutiara yang merupakan kristal pemahaman dan penghayatan hidup di mana acuan-acuan terbaik untuk cara kita mengarungi hidup—di zaman yang berganti dan berpacu ini—terpendam di dalamnya.

Pahamkah kita apabila bangsa Minang mengatakan "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjuang"? Atau orang Buton menyatakan "bersatu tidak meluruh, terpisah tidak meregang" sebagai makna lain dari Bhinneka Tunggal Ika? Atau masyarakat Gorontalo dan Sumbawa menjalankan hidup di mana "adat bersandi syara, syara bersandi kitabullah", kesalehan vertikal (habluminallah) yang (senantiasa) berintegrasi dengan kesalehan horizontal (habluminannas). Atau rakyat Maluku yang lebih "akseptan" ketimbang "toleran" dalam menerima kehadiran yang lain (the other) dalam kehidupan subyektifnya. Lalu, pahamilah orang Bali yang "tat twam asi" (engkau adalah aku), yang mendapatkan bahagia dengan menciptakan bahagia bagi orang lain.

Itulah beberapa tetes air dari samudra kebijakan, juga pengetahuan orisinal, yang dimiliki kebudayaan kita. Samudra di mana semua produk kebudayaan bersampan dan berkapal besar di atasnya: bangsa, negara, ideologi, konstitusi, ilmu, hingga agama. Samudra dengan riak dan buih yang menelan semua kotoran daratan (peradaban) ke dalam perutnya yang tanpa kedalaman. Dia yang diam, teguh, dan tegar memberi kehidupan kepada semua makhluk walau seluruh makhluk mengotorinya.

Karena itulah, kebudayaan kita mengajarkan, pergaulan hingga ke pertemuan antarbudaya sangatlah bajik dan bijak jika berlangsung atas dasar keseimbangan, persamaan (equality), dan pemerataan (equity). Tanpa nafsu menguasai, apalagi menaklukkan untuk mendominasi, sebagaimana ia menjadi ciri atau salah satu watak budaya kontinental. Karena sifat dasarnya yang terbuka dan penuh menerima alias akseptan, kita seperti mudah bukan hanya dimasuki, tetapi juga dirasuki budaya lain: tertaklukkan dalam arti politis atau ekonomis.

Mari kita menangi kemurnian dan kemuliaan adab kita.