Siklus panen jadi bagian dari kelangsungan hidup petani. Jika gagal panen, para petani akan terimbas masalah tambahan. Utang akan menumpuk, beban hidup makin berat, dan kelangsungan kehidupan keluarganya pun akan terancam.

Siklus hidup semacam ini akan terus membayangi kualitas regenerasi keluarga petani. Kualitas hidup anak-anak mereka akan semakin terancam. Kesehatan anak-anak para petani sangat bergantung pada kantong orangtuanya. Semakin baik penghasilan akan semakin baik nutrisi yang didapatkan keluarga mereka. Namun, jika gagal panen yang terjadi, asupan nutrisi pun kian tak pasti.

Tak hanya sampai di situ, asupan nutrisi yang kurang berkualitas akan setali tiga uang dengan kualitas perkembangan intelektualitas anak petani. Anak-anak yang memiliki nutrisi baik cenderung mengalami perkembangan intelektual yang baik. Namun anak-anak yang kurang asupan nutrisi, perkembangan intelektualnya justru cenderung memburuk. Malas belajar, malas bersekolah, bahkan tak jarang memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena harus ikut memikul beban ekonomi keluarga.

Hal dilematis lainya, jika para petani berhasil melewati masa krisis dan mampu meningkatkan taraf hidupnya, lalu menghasilkan anak-anak yang berpendidikan modern di daerah perkotaan, ancaman selanjutnya datang dari sisi degenerasi. Petani justru kian kekurangan penerus. Anak-anak yang sempat dikirim ke kota untuk menimba ilmu justru enggan kembali ke desa dan enggan memajukan usaha pertanian orangtuanya. Untuk kalangan petani yang mengantongi lahan sedikit, pendidikan dianggap sebagai salah satu solusi untuk keluar dari jerat kemiskinan sektor pertanian. Anak-anak yang bersekolah diharapkan menjadi "seseorang" yang akan mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan sektor pertanian.

Dengan kondisi itu, praktis yang tersisa berjuang di sektor pertanian adalah yang memang terpaksa menjadi petani karena tak ada lagi yang bisa dilakukan di luar sektor ini. Pertanian menjadi sektor turun-temurun yang dilakukan karena keterpaksaan. Tak heran bila kualitas  komoditas pertanian hasil garapan petani dianggap di bawah standar. Petani sawit, misalnya, mereka cenderung mendapat harga jual yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan sawit hasil perkebunan milik korporasi.

Beruntung bagi petani padi. Komoditas padi sudah umum di mana-mana sehingga hampir semua petani paham bagaimana cara menghasilkan padi dan beras yang baik, sekalipun masih sering dilanda kejatuhan harga di saat panen. Sementara untuk petani hortikultura, misalnya, tak sedikit yang mengeluhkan soal kurangnya sentuhan teknologi, kurangnya sumber pembiayaan untuk berproduksi, dan lemahnya institusi sosial pendukung. Kualitas komoditas yang dihasilkan pun kurang mendapat jaminan mutu dan pemasaran komoditas pun tak terlembagakan dengan baik.

Alhasil, penguasaan tengkulak jauh lebih besar ketimbang penghasil komoditas hortikultura itu sendiri. Logika lainnya, tengkulak pula yang akhirnya paling banyak mendapat untung dari disparitas harga jual di level petani dan harga jual di level konsumen.

Pengerdilan

Jika kita lihat data yang ada, jumlah penduduk Indonesia menurut data dari Kementerian Dalam Negeri per 30 Juni 2016 mencapai 257.912.349 jiwa. Dengan jumlah sebesar itu, berarti jumlah mulut yang harus tercukupi memang sangat besar. Seharusnya ini menjadi peluang bagi petani dengan segala komoditas yang mereka hasilkan karena pasarnya sangat besar.

Namun, masalahnya, jumlah produsen pangan, yakni petani, ternyata terus menurun. Data dari BPS sampai Februari 2017 menunjukkan, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 39,68 juta orang atau 31,86 persen dari jumlah penduduk bekerja Indonesia. Celakanya, dari jumlah tersebut ternyata sebagian besar tercatat sudah berusia tua.

Itu berarti hanya ada 15,38 persen petani yang produktif untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan nasional. Persoalannya ternyata tak sampai di situ. Menurut catatan Kementerian Pertanian, terjadi penurunan lahan pertanian 100.000 hektar per tahun, dengan 80 persen terjadi di sentra produksi pangan. Di tengah jumlah petani dan lahan garapan yang menurun, tetapi Kementan justru mengklaim jumlah produksi pangan, terutama beras, terus meningkat bahkan surplus.

Anggap saja klaim Kementan benar bahwa stok sejatinya tak bermasalah, sekalipun ada cerita gagal panen di beberapa daerah. Yang justru menjadi pertanyaan, mengapa dengan klaim surplus pangan, harga di pasar masih tinggi bahkan cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan? Bahkan kenaikan harga beras sudah melambung hampir 10 persen sehingga kemudian pemerintah segera bertindak dengan kebijakan impor beras sebelum harga kian menggila.

Dari perbandingan data di atas, ada irisan bahwa penurunan dan penuaan pelaku pertanian berbanding lurus dengan pengurangan lahan pertanian dan pengeringan sumber daya petani. Sementara kita tidak bisa memungkiri bahwa perut yang harus diberi makan dari waktu ke waktu semakin bertambah, sementara sektor yang harus memenuhinya justru mengalami pengerdilan akut. Lahan berkurang, sumber daya pun demikian, dan harga-harga yang didapat oleh pelaku produksi pertanian pun terus terganggu oleh harga-harga komoditas yang sama yang didapat dari impor. Pertanyaan penutupnya, masih adakah yang memikirkan nasib petani dan masa depan sektor pertanian kita? Semoga masih ada. Semoga.