Akhirnya, setelah diseleksi, peserta tiap kegiatan berjumlah masing-masing 70 orang. Mereka berasal dari berbagai kalangan, seperti pelajar, mahasiswa, guru, wiraswasta, dan karyawan. Semuanya masyarakat awam, bukan dari kalangan arkeologi.

Dalam pembekalan materi, antusiasme masyarakat tampak sekali. Banyak tanya jawab antara peserta dan pemateri. Ketika melakukan kunjungan ke ruangan koleksi prasasti, juga banyak tanya jawab. Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) menyelenggarakan sinau aksara di Museum Nasional karena di sana banyak tersimpan koleksi prasasti.

Unik dan langka

Kegiatan sinau aksara bagi masyarakat Jakarta memang unik dan langka. Dalam hal ini peserta diajarkan menulis nama diri masing-masing menggunakan aksara Pallawa dan aksara Jawa kuno. Kedua aksara sudah berusia lebih dari 1.000 tahun dan kini tidak digunakan lagi.

Saat ini aksara kuno merupakan bagian dari mata kuliah yang diajarkan pada departemen arkeologi. Biasanya mahasiswa yang mengambil spesialisasi epigrafi (ilmu tentang prasasti atau batu bertulis) mempelajari aksara kuno. Ironisnya, sampai kini masih banyak prasasti belum terbaca atau perlu dibaca ulang.

Tulisan ini bukan bertopik aksara kuno, tetapi bagaimana peran publik—dalam  hal ini komunitas—untuk  membantu pemerintah di bidang pelestarian. Pertama, tentu saja kita harus melihat definisi komunitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, komunitas adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu; masyarakat; paguyuban.

Jelas, komunitas ada beragam jenis. Umumnya komunitas tetap mandiri, dalam arti mencari dana sendiri, meski ada yang menjadi mitra pemerintah. Biasanya mereka mengenakan biaya untuk kegiatan yang mereka lakukan. Sesuatu yang wajar karena kelangsungan hidup komunitas amat bergantung dana. Yang jelas, komunitas berbeda dengan event organizer (EO), khususnya yang terkait dengan kearkeologian. Komunitas "memberi hidup kepada arkeologi", sebaliknya EO "mencari hidup dari arkeologi".

Pelibatan publik

Arkeologi atau ilmu purbakala telah berjalan sangat panjang, dimulai sejak ribuan tahun lalu. Masa itu disebut prasejarah, yakni sebelum dikenalnya sumber tertulis. Di Indonesia, masa sejarah baru terjadi sekitar abad ke-4, setelah ditemukannya prasasti yupa di Kalimantan.

Karena berjalan amat panjang, maka benda-benda tinggalan nenek moyang kita pun amat beragam. Ambil contoh fosil manusia purba, kapak batu, candi, prasasti, keramik, arca, perhiasan, dan senjata. Yang masih berada di dalam tanah pun tentu masih amat banyak. Belum lagi yang berada di dalam perairan, seperti benda-benda kuno dari kapal karam.

Sering kali memang masih ditemukan benda kuno dari dalam tanah, seperti ketika masyarakat sedang menggali sumur, membuat fondasi rumah, membangun irigasi, dan sebagainya. Penemuan tak disengaja di seluruh Indonesia tak terhitung banyaknya. Benda kuno yang berada di atas tanah pun masih berceceran antara lain di pekarangan warga, di tengah sawah, dan di atas bukit.

Boleh dibilang kelestarian benda-benda purbakala amat rawan. Ini karena terletak di area terbuka yang sulit pengawasan. Yang berada di tempat strategis pun sering jadi sasaran pencurian. Sejak lama orang percaya yang namanya benda purbakala bernilai ekonomi tinggi, terutama setelah muncul banyak penadah, kolektor barang antik, dan pasar gelap.

Apresiasi

Harus diakui, di satu sisi banyak kepurbakalaan diburu orang karena nilai ekonominya. Di lain sisi, banyak kepurbakalaan justru terabaikan karena kekurangpedulian kita. Di sinilah pentingnya pelibatan publik. Publik yang telah memiliki apresiasi terhadap kepurbakalaan perlu didorong untuk terus melakukan kegiatan positif, seperti menjaga dan merawat berbagai kepurbakalaan. Di sejumlah wilayah Nusantara sudah banyak terbentuk komunitas peduli sejarah dan budaya.

Seperti sinau aksara, sebenarnya kegiatan itu telah dimulai tiga tahun lalu di Jawa Timur oleh sejumlah komunitas. Lalu berkembang ke daerah lain, termasuk Jakarta. Salah satu cara pelestarian, bisa saja melalui sinau aksara itu yang bertujuan melestarikan kebudayaan nenek moyang. Begitu juga blusukan. Sinau dan blusukan dilakukan oleh masyarakat non-arkeologi. Sudah saatnya pemerintah mendukung kegiatan positif itu.

Mengingat wilayah Nusantara sangat luas, tentu saja peran komunitas amat diharapkan. Apalagi jumlah arkeolog yang dimiliki pemerintah amat terbatas.

Untuk sementara, komunitaslah yang perlu diberi peran. Berbagai komunitas di Jawa sudah terbukti mampu melakukan inventarisasi dan dokumentasi terhadap kepurbakalaan yang belum sempat dijangkau oleh instansi-instansi arkeologi. Jika dibekali dengan pengetahuan yang cukup, ditambah pemahaman terhadap UU Cagar Budaya, tugas para arkeolog pasti akan semakin ringan. Masyarakat pun akan memberikan apresiasi terhadap kepurbakalaan, mengingat komunitas lebih dekat ke masyarakat awam.