Realita ini, tidak bisa lepas dari proses panjang sejak era Orde Baru, di mana sejumlah pengusaha dibesarkan dengan berbagai kemudahan, fasilitas dan proteksi dari negara. Dalam waktu cepat, sebagai tulang punggung perekonomian nasional, mereka tumbuh menjadi konglomerat.

 Kooptasi kekuatan kapital.

Di era Reformasi keadaan jadi terbalik- balik: sebagian kaum pemegang kapital justru yang mendikte penguasa. Bagaimana tidak, kalau untuk jadi bupati dan gubernur dibutuhkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah, sementara untuk jadi presiden perlu beberapa triliun rupiah. Langsung atau melalui "tangan-tangan"- nya, mereka mendapatkan dana politik dari para pemegang kapital. Dengan skala yang berbeda, ini juga dikerjakan para calon anggota DPR/DPRD dan juga DPD.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Data pelaku usaha pergulaan ditampilkan saat Tim 10 Dewan Perwakilan Daerah mengelar rapat dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/9/2016). 

Wajar saja, setelah meraih kekuasaan, mereka hendak berbalas kebaikan, setidaknya dalam bentuk perlindungan dan juga kebijakan birokrasi. Sebagian dari mereka kemudian mengambil jalan pintas, dengan korupsi. Di sana lah praktik mafia dan korupsi begitu terstruktur, sistemik dan masif (TSM) di semua lini kehidupan.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Sejumlah massa yang tergabung dalam Elemen Gerakan Ganyang Mafia Hukum berunjuk rasa di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (12/10/2015). Mereka menolak Draff Revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang pemberangusan kewenangan KPK.

Dampak yang tidak bisa dihindari, di jajaran birokrasi, cara yang paling mudah untuk naik pangkat dan jabatan adalah dengan bergabung bersama pemegang kapital yang telah mengeluarkan dana politik untuk rezim berkuasa. Dan apalagi dari sisi materi pun otomatis akan "diopeni" sehingga bisa hidup berkecukupan.

Dan dalam praktiknya mereka niscaya melibatkan bawahannya, dan ketika sang senior pensiun, mereka kemudian duduk dalam berbagai jabatan dalam perusahaan yang selama ini membesarkan dirinya. Sudah barang tentu jalinan mereka dengan yunior penerusnya yang menggantikannya— termasuk untuk kepentingan "majikannya" —terus berlanjut.

Bila dulu di era Orde Baru penggusuran lahan diatasnamakan kepentingan pembangunan nasional, di era Reformasi cara yang sama diatasnamakan sebagai penertiban. Begitu pula untuk program APBN, kalau dulu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dilakukan dengan terkendali dan "resmi" diatur dengan birokrasi, maka di era Reformasi yang terjadi justru praktik korupsi "berjamaah".

KOMPAS/LASTI KURNIA

Koalisi Anti Mafia Narkoba yang terdiri dari sejumlah aktivis dan tokoh HAM memegang tulisan Saya Percaya KontraS sebagai wujud dukungan terhadap Koordinator Kontras Haris Azhar (atas tengah) dalam pernyataan bersama di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (4/8/2016).

Dulu, melalui Departemen Kehakiman, lembaga peradilan dan para  hakimnya yang berstatus PNS dikendalikan oleh pemerintah. Kini , persoalan "Hukum Wani Piro", kriminalisasi dan jual beli perkara bukan rahasia umum lagi. Dan hasil kejahatan pun, melalui proses pengadilan, bisa disulap menjadi sah menurut hukum, sepanjang "harga" atau tarif bagi hasilnya sesuai.

Tanpa bermaksud buruk sangka, dapat dipastikan hampir semua hakim, tak terkecuali hakim agungnya memainkan kata-kata sebagai komoditas putusan pengadilan. Sampai-sampai putusan kasasi dan/ atau peninjauan kembali pun tak bisa dieksekusi. Kalau toh ada hakim yang masih punya hati nurani, niscaya mereka adalah "pencilan" (pengecualian) dan itupun dalam jumlah yang sangat kecil.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti (kiri) saat memimpin Satgasus Polda Metro Jaya menggeledah gudang sekaligus pabrik garam terkait dugaan penyelewengan pendistribusian garam impor di PT Unichemcandi Indonesia di Kecamatan Candi, Sidoarjo, Rabu (26/8/2015). Penggeledahan sebagai bagian dari penyelesaian masalah mafia garam.

Pendek kata, proses peradaban kita yang tergelar lebih dari 50 tahun belakangan ini, persis seperti yang digambarkan dalam Al Quran dan juga kitab-kitab suci agama lain, di mana Firaun (para petinggi negeri) adalah penyembah berhala (materi, uang, jabatan dan sejenisnya). Makin besar berhala yang disembahnya, makin besar derajat mereka.

Dengan mudah kita bisa menghitung berapa gaji mereka, namun dalam realitanya mereka—khususnya para petingginya, tanpa warisan dan berbisnis apa pun—bisa punya kekayaan berlimpah. Aset itu kemudian mereka di-"putih"-kan dengan diatasnamakan rezeki dari Tuhan Yang Maha Pemurah, memperbanyak ritual keagamaan, mendirikan rumah ibadah dan bolak-balik pergi ke Tanah Suci.

Bongkar jaringan

Semua pemerintahan di era Reformasi punya komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku presiden dengan lantangnya mendeklarasikan dirinya akan memimpin sendiri perang melawan korupsi. Dalam praktiknya mereka gagal total, bahkan justru di era SBY terjadi mega korupsi seperti pada kasus Pertamina, Bank Century, KTP elektronik dan sederet mega korupsi lainnya.

Presiden Jokowi dengan gagasan besarnya dalam memperbaiki moral birokrasi yang begitu buruk melalui program revolusi mental, reformasi birokrasi, reformasi hukum dan e-goverment, dipastikan juga akan mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya. Kecuali jika dalam waktu dekat di sisa waktu pemerintahannya melakukan upaya terukur melalui program aksi yang berani dan keluar dari cara-cara konvensional (out of the box).

Warga melintas di samping tulisan kritikan terhadap penuntasan kasus skandal bank century di Jalan Diponegoro, Jakarta, Minggu (17/7/2011). Penyelesaian kasus skandal Bank Century yang diduga telah merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun tersebut hingga kini masih belum tuntas.

Adalah mustahil dari moral birokrasi yang begitu bobrok akan menjadi baik, hanya karena ada program Revolusi Mental dan Reformasi Birokrasi yang mereka gulirkan sendiri. Bukankah ibarat sapu,  bagaimana mungkin sapu yang begitu kotor penuh lumpur comberan, hendak dipakai untuk membersihkan lantai?

Padahal dengan mudahnya, melalui kewenangan yang sah dan mandat dari rakyat, Presiden Jokowi dapat menunjuk beberapa orang dari begitu banyak orang kuat di negeri ini yang sanggup membersihkan "sapu" tanpa harus melanggar aturan yang ada, tak perlu bikin gaduh, dan tidak perang dengan siapapun.

Hal yang demikian itu, sama sekali bukanlah pekerjaan yang berat-berat amat, karena birokrasi pada hakikatnya mesin yang digerakkan dengan prosedur, yang di dalamnya ada kode etik, disiplin, dan mereka adalah orang-orang tersumpah atas nama Tuhan-nya, sehingga sangat mudah untuk dibawa kembali ke "fitrah"-nya.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq memasuki ruang persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu (27/11/2013).

Dan, sudah barang tentu, upaya menjebol realitas ini harus diikuti perubahan prosedur yang memaksa setiap orang menjadi jujur yaitu dengan menerapkan manajemen yang transparan dengan berbasiskan teknologi informasi (TI).

Karena tanpa perubahan prosedur, kelak pasca pemerintahan Presiden Jokowi akan kembali ke kondisi seperti yang ada sekarang. Dan, tanpa upaya menjebol realitas terlebih dahulu, maka upaya apa pun—termasuk pembangunan e-goverment—juga akan sia-sia. Sebab, yang terjadi justru TI- nya yang disiasati untuk mendukung praktik korupsi, sehingga hanya 'seolah-olah' transparan, tanpa memangkas prosedur birokrasi yang berbelit.

Upaya itu akan menjadi sangat efektif, manakala Presiden membuat gerakan nasional yang mewajibkan segenap aparatur negara setiap pagi mengawali pekerjaan masing-masing dengan bertanya kepada dirinya sendiri di depan cermin yang ada di kantor masing-masing, tentang asal usul kekayaannya, seraya bertanya apa imbalan yang diberikan kepada rakyat yang telah menghidupi diri dan keluarganya dengan pajak mereka dan pungutan lainnya.

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Warga Gang Lekong berunjukrasa di depan Balaikota DKI Jakarta pada Rabu (6/6) pagi. Mereka berorasi sambil membawa poster-poster mengenai ancaman mafia tanah dan meminta perlindungan hukum dari gusuran.

Upaya lainnya yang perlu dilakukan adalah bagaimana kekuatan rakyat terorganisasi yang dimotori para relawan bisa memonitor program-program pro rakyat, mengatasi semua paham, golongan dan bahkan agama. Sebagai "pemenang" relawan pendukung Presiden Jokowi tidak layak sibuk "menari pada irama kendang lawan" dengan terus mengotakkan diri sebagai pendukung Jokowi, bak pemilu belum selesai. Dan apalagi sibuk merespons berita hoaks, membuat kaos dan lagu tandingan yang terus menyuarakan "2019 Ganti Presiden", padahal banyak program pemerintah yang harus dikawal.

Dengan demikian, apa-apa yang dulu pernah dijanjikan dalam kampanye 2014 segera terwujud, setidaknya segera dimulai untuk diwujudkan, agar kelak dalam Pemilu 2019 Jokowi tidak perlu kampanye, apalagi kembali menjual program dan janji politik yang sama seperti saat Pemilu 2014. Dan cara tersebut niscaya kontra produktif, karena yang diperlukan rakyat saat ini bukan janji, tapi bukti dari janji Presiden di Pemilu 2014, sebagaimana makna ajaran leluhur kita "Sabda Pandito Ratu Tan Ora Kena Owah".