AFP PHOTO / NOE PEREZ

Polisi membawa korban luka-luka akibat letusan Gunung Fuego, Minggu (3/6/2018).

Sebagai negara dengan banyak gunung berapi, kita terbiasa dengan letusan gunung. Namun, tatkala ada gunung berapi meletus, tetap sedihlah hati kita.

Kesedihan ini yang kita rasakan saat membaca berita meletusnya Gunung Fuego di Guatemala, Amerika Tengah. Gunung setinggi 3.763 meter ini meletus Minggu (3/6/2018) pagi, melontarkan materi piroklastik. Lebih dari 1,7 juta orang terkena dampaknya. Setidaknya 3.000 orang dievakuasi. Namun, upaya penyelamatan terhambat karena Selasa lalu aktivitas gunung ini meningkat lagi.

Presiden Guatemala Jimmy Morales memutuskan tiga hari berkabung nasional dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres juga menyampaikan kesedihannya. PBB siap membantu upaya penyelamatan.

Kita bersimpati kepada rakyat Guatemala yang dilanda bencana. Tim penyelamat tentu berusaha semaksimal mungkin, tetapi materi piroklastik, serupa wedhus gembel pada letusan Gunung Merapi, meluncur ganas dengan kecepatan hingga 700 kilometer per jam. Materi dari perut gunung ini adalah campuran dari gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan yang akan menggilas apa saja yang dialirinya di lereng gunung.

Selain prihatin, kita, saat ada letusan gunung seperti Gunung Fuego, ada baiknya ikut menyimak. Mungkin setelah berkali-kali dilanda letusan gunung berapi, Indonesia memiliki pengetahuan lebih banyak. Pengetahuan vulkanologi ini, selain kita dokumentasikan dengan baik, juga bisa menjadi referensi bagi bangsa lain yang juga menghadapi ancaman letusan gunung berapi.

Baik jika Indonesia secara berkala menyelenggarakan seminar internasional untuk memutakhirkan informasi tentang kegunungapian bagi bangsa lain yang juga dihuni gunung berapi, khususnya bangsa-bangsa yang tinggal di busur Cincin Api.

Tidak kalah penting dari vulkanologi, mengenai karakteristik gunung dan pola letusannya, adalah pengalaman upaya penyelamatan serta evakuasi korban. Bisa saja ada tradisi atau kearifan lokal yang membuat masyarakat masih banyak tinggal mendiami lereng gunung berapi. Ada kedekatan antara warga dan gunung api yang sulit dijelaskan secara rasional, tetapi di sisi lain tetap perlu menyadarkan warga tentang bahaya gunung berapi.

Dibandingkan dengan gempa bumi, letusan gunung berapi lebih bisa diantisipasi sehingga upaya penyelamatan dini mungkin dilakukan. Terpasangnya alat ukur dan deteksi dini aktivitas gunung berapi wajib dipastikan dan keandalan peralatan itu setiap kali perlu diuji.

Dengan 139 gunung berapi, bagi Indonesia ada berkah menjadi negara dengan jumlah gunung berapi terbanyak ketiga setelah Amerika Serikat (173) dan Rusia yang memiliki 166 gunung berapi (Telegraph.co.uk) karena bisa menjadi laboratorium dunia mengenai vulkanologi. Namun, hal ini juga perlu diimbangi dengan kesiapan menghadapi bencana.