Donny Gahral Adian

Intoleransi adalah hulu terorisme. Jarak antara mereka bisa dibilang hanya setarikan napas. Namun, kita sering menganggap enteng intoleransi. Intoleransi kita anggap habitus segelintir orang. Jika kemudian sikap itu menjadi masif, itu hanya karena momentum dan euforia spasio-temporal belaka

Sementara, kita tersengat begitu menyaksikan dinamika di media sosial. Banyak grup WhatsApp pecah berantakan karena perbedaan pandangan dan keyakinan. Perpecahan dan konflik memang  hakikat politik.

Namun, politik merupakan konflik yang terkelola dengan baik dan terjadwal. Sementara, perpecahan akibat intoleransi bisa menjadi liar dan mengarah pada segregasi yang membahayakan hidup bersama.

KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Ssiwa-siswi Sekolah Citra Alam menggambarkan dan menuliskan pendapatnya terkait kondisi kekerasan dan intoleransi pada sebuah spanduk dalam acara "Deklarasi Sekolah Gempita" di Sekolah Citra Alam, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin (12/3/2018).

Intoleransi

Intoleransi memang tidak bisa serta merta agresif dan merusak. Dia adalah sikap yang bersembunyi dalam keseharian manusia yang banal. Mulai dari penolakan untuk mengucapkan selamat hari raya terhadap mereka yang tak seiman. Protes terhadap terpilihnya ketua RT yang berbeda keyakinan. Keluar dari group WhatsApp hanya karena salah satu anggota posting artikel tentang pluralisme. Dan masih banyak yang lainnya.

Perpecahan akibat intoleransi bisa menjadi liar dan mengarah pada segregasi yang membahayakan hidup bersama.

Kita hidup di kerimbunan intoleransi tanpa sadar daya rusaknya. Paling banter kita menggerutu dan memberi sederet label konyol pada kaum intoleran. Intoleransi dihadapi dengan canda dan satir. Atau, kita membombardirnya dengan sederet argumentasi rasional.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Din Syamsudin berfoto dengan para tokoh lintas agama usai dialog di kantor CDCC, Menteng, Jakarta, Kamis (4/8/2016).

Padahal intoleransi adalah ideologi yang menggalang afeksi kolektif bukan kognisi. Ini letak persoalan sesungguhnya. Kita sedang menghadapi ideologi afektif yang tidak mempan argumentasi rasional. Intoleransi menggalang dan memobilisasi emosi komunal. Artinya, dia semakin kokoh saat dilukai, dicemooh dan diremehkan.

Jargon-jargon kemajemukan mungkin tercerna masyarakat akal sehat namun daya mobilisasi afektifnya tidak sekuat jargon intoleran. Saya teringat saat Hittler berkampanye anti semitisme. Secara teatrikal dia berpidato di depan gudang milik Yahudi. Hittler berkata lantang, "Siapa selama ini yang mengisap kekayaan bangsa Jerman?".

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO

Ratusan warga Purwokerto menggelar aksi damai 1.000 lilin untuk menyuarakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menolak intoleransi yang merongrong Pancasila, Sabtu (13/5/2018) di Alun-Alun Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.

Dia tidak perlu menjelaskan panjang lebar soal dominasi Yahudi dalam perekonomian Jerman. Dia cukup menyentuh emosi khalayak yang sedang galau dan butuh biang keladi. Cukup itu saja. Namun, mobilisasi yang terjadi kemudian di luar bayangan mereka yang mengatakan, "Ah, propaganda murahan seperti itu tidak akan mempan"

Intoleransi adalah sikap yang memisahkan kami dan mereka. Kami adalah korban dan mereka adalah biang keladi yang membuat hidup kami berkesusahan. Intoleransi menjadi masif dan solid karena bersembunyi di balik argumen ketidakadilan. Di sini berbagai kekuatan konservatif menemukan titik temunya.

Trump misalnya menolak imigran bukan semata karena perkara ekonomi tetapi juga politik identitas. Bukan cuma keamanan nasional, melainkan juga "kepribadian Amerika" berada dalam bahaya apabila imigran dari Timur Tengah berhamburan masuk. Kita menyaksikan betapa intoleransi memenangkan pemilihan umum di Amerika Serikat. Perasaan tidak aman dikapitalisasi secara elektoral. Kebencian terbukti memiliki dampak elektoral yang dahsyat.

Di kita pun tidak jauh berbeda. Masyarakat yang merasa ekonomi lesu adalah mangsa bagi ideologi afektif intoleransi. Berawal dari sikap anti komunisme yang secara serampangan disamakan dengan ateisme. Kehadiran tenaga kerja asing dari China pun dipersepsi sebagai intrusi komunisme ke jantung Pertiwi. Itu kemudian dibalut dengan argumen ketidakadilan.

Di kita pun tidak jauh berbeda. Masyarakat yang merasa ekonomi lesu adalah mangsa bagi ideologi afektif intoleransi.

Saat pekerja lokal sulit mendapatkan pekerjaan, kita malah membuka keran bagi tenaga kerja dari China. Mobilisasi afeksi semacam ini terjadi di semua ruang sosial. Tanpa sadar, kita diajari membenci dan kebencian adalah keniscayaan sejarah untuk menyelamatkan republik dari malapetaka.

 Potensi malapetaka

Intoleransi seperti dikatakan tadi hanya setarikan napas dari terorisme. Terorisme memang bentuk paling brutal karena memuat kekerasan. Namun, intoleransi bisa dengan mudah bertransformasi menjadi terorisme lunak. Terorisme lunak adalah saat intoleransi tidak disimpan dalam hati melainkan diumbar secara agresif di ruang publik.

Agresi publik itu semakin menguat saat politik mesianisme turun tangan. Keselamatan ada di tangan mereka yang membela keyakinan, identitas dan primordialisme. Para intoleran pun berubah menjadi pejuang keselamatan. Militansi ditempa dan mobilisasi terus berjalan secara masif.

KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA

Ratusan warga Balikpapan menggelar aksi spontan penolakan terhadap radikalisme dan terorisme di Lapangan Merdeka, Selasa (15/5/2018).

Terorisme lunak lebih berbahaya ketimbang yang keras. Mengapa? Terorisme keras mengundang antipati publik. Semua mengutuk. Jalan kekerasan tidak akan menciptakan emosi kolektif. Sementara, terorisme lunak justru memobilisasi emosi kolektif dengan argumentasi ketidakadilan dan kemurnian keyakinan.

Dua bentuk terorisme ini tidak bisa berjalan beriringan. Politik tidak akan memakai terorisme keras. Sebab, itu hanya akan berdampak buruk bagi elektoralitas. Politik membutuhkan simpati. Maka, seperti kita saksikan, berbondong tokoh-tokoh fundamentalis pun turut mengutuk terorisme keras.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Sejumlah siswa sekolah di Kabupaten Badung, Bali, membubuhkan tanda tangan sebagai komitmen anti radikalisme dan terorisme di atas kain putih sepanjang 20 meter. Aksi ini merupakan rangkaian peringatan tujuh tahun peledakan bom Bali 1 Oktober 2005, di Nyoman Cafe, Jimbaran.

Namun, apakah terorisme lunak tidak berbahaya? Justru saya melihat daya rusak terorisme lunak jauh lebih kuat tinimbang yang keras.

Saat politik memanipulasi emosi publik dengan jargon "serba anti", maka kita bisa menghadapi dua masalah yang cukup fatal. Pertama, politik teror mendapatkan tempat di hati publik dan mengambil alih negara. Jika itu terjadi maka negara akan diselenggarakan berdasarkan politik identitas yang segregatif.

FIS (Front Islamique du Salut) atau Front Keselamatan Islam merupakan partai politik di Aljazair yang didirikan pada tahun 1989.

FIS berkampanye dengan jargon "serba anti"  dan mendapatkan simpati. Pada tahun 1991, FIS yang diakui berideologi kanan ini, ikut pemilihan umum.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Suasana upacara persemayaman Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji Siswanto di rumah kedua orangtuanya, Desa Penggarutan, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten, Brebes Jawa Tengah, Kamis (10/5/2018). Iptu Yudi merupakan salah satu anggota Polri korban aksi penyerangan narapidana terorisme di Rumah tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/5/2018).

Hasilnya, putaran pertama (20 Juni 1991) FIS meraup 54 persen suara dan mendapat 188 kursi (81 persen) di parlemen. Meski akhirnya hasil pemilu dibatalkan penguasa militer, namun itu menunjukkan betapa terorisme lunak mampu menggalang suara dan memenangkan pemilihan umum.

Kedua, di tangan terorisme lunak segregasi sosial  dapat bertransformasi menjadi segregasi politik dan berakhir di segregasi nasional. Eskalasi ini tentu tidak terjadi dalam waktu singkat. Namun, kehadirannya bisa berupa unanticipated shock.

Saat kita tidak mencermati betul evolusi segregasi di ruang publik, maka kita tahu-tahu sudah berada dalam intensitas segregasi yang membahayakan. Perang saudara di Suriah, misalnya. Intoleransi berwujud terorisme lunak sudah mengoyak tubuh sosial masyarakat Suriah sejak lama.

Namun, tidak ada yang menyangka tubuh sosial itu secara tiba-tiba terbelah dua dan berperang. Intoleransi adalah bahaya laten yang bisa sewaktu-waktu meledak. Apabila tidak ditangani sejak subuh, maka malapetaka pasti datang di penghujung hari. Semoga intuisi saya salah. Namun, jika benar harga yang harus dibayar teramat mahal.

Donny Gahral AdianDosen Filsafat Universitas Indonesia


Kompas, 2 Juni 2018