Kristi Poerwandari
(Arsip Pribadi)

Kita sangat terkejut dengan terjadinya lagi teror bom bunuh diri baru-baru ini, apalagi karena pelaku adalah keluarga, termasuk ibu dengan anaknya yang remaja dan usia sekolah. Juga tentang dua remaja perempuan simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah yang ditangkap di depan Mako Brimob Kelapa Dua.

Tulisan Jessica Stern (2010), "Mind Over Martyr: How to Deradicalize Islamist Extremists", bicara tentang radikalisasi dan deradikalisasi di beberapa belahan dunia. Refleksinya banyak tentang yang dilakukan di Belanda dan perspektifnya dekat dengan negara-negara Barat. Walau demikian, tulisannya terasa sangat terbuka, seimbang, dan relevan untuk konteks Indonesia.

Stern mulai terlibat dalam program deradikalisasi pada tahun 2005, membantu Pemerintah Belanda mengembangkan konsep kewarganegaraan yang dapat sungguh mengintegrasikan penduduk asli dengan imigran Muslim dan anak-anak mereka. Ia melaksanakan program deradikalisasi di kamp di Irak yang menahan puluhan ribu orang. Ia mengunjungi Pusat Rehabilitasi untuk teroris di Riyadh, serta youth center yang dikoordinasi Polisi Metropolitan London, yang bekerja dengan komunitas Muslim mendukung tindakan kontra terorisme.

Tak paham agama

Di Eropa, survei tahun 2006 menunjukkan bahwa imigran lebih banyak menganggur atau mengisi pekerjaan yang tidak diinginkan dengan upah rendah. Stern mengingatkan yang telah banyak dibahas bahwa gerakan teroris sering muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan, dapat riil ataupun imajinatif.

Pengalaman di banyak negara menyimpulkan bahwa mereka yang mengklaim membawa nama agama sering ternyata tidak paham esensi agama. Pengelola program di Riyadh bercerita bahwa mayoritas peserta program punya sedikit saja pendidikan formal tentang agama, dengan pemahaman sangat terbatas tentang Islam. Yang diambil adalah cuplikan ayat secara selektif guna membenarkan kekerasan.

Sayangnya, yang demikianlah yang ngetren. Di Eropa, generasi kedua dan ketiga imigran Muslim memberontak pada ajaran Islam yang "lunak" yang dipraktikkan orangtua dan masjid-masjid di lingkungannya. Mereka dipengaruhi ajaran dalam situs-situs internet oleh individu-individu yang mengangkat dirinya sebagai imam. Ajaran itu menarik karena diklaim "lebih murni", tidak dikorupsi budaya Barat.

Misalnya, di Belanda ada sel teroris yang mengajarkan ideologi untuk menghukum Muslim yang murtad, diambil dari internet dan diajarkan oleh seorang pengedar narkoba yang kemudian jadi ulama.

Psikologi remaja

Mengapa orang jadi teroris sangat bervariasi seperti juga mengapa orang memilih profesi lainnya. Ideologi merupakan hal penting, tetapi jarang menjadi faktor penentu satu-satunya. Tambahan lagi, tampaknya remaja tertarik pada ajaran yang diklaim "murni"—sama seperti remaja lainnya—melalui koneksi sosial, musik, mode, gaya hidup. Beberapa remaja yang diwawancarai Stern di Belanda mengaku bahwa bicara tentang jihad itu keren. (Mungkin sama seperti kelompok anak muda lain merasa keren mendengarkan gangster rap atau menonton konser K-pop).

Remaja memerlukan afiliasi untuk memantapkan identitasnya. Beberapa kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda memulai dengan hip-hop "jihad rap" anti-Amerika dalam video untuk merekrut anak muda. Jika berkenalan dengan kelompok ekstrem, kelompok itu dapat menjadi acuan penting, bahkan mungkin kelompok afiliasi satu-satunya. Bergabung dan diterima dalam kelompok menjadi hal penting, baru belakangan remaja mengadopsi juga ideologi ekstremnya.

Aspek psikologis yang lebih subyektif-personal juga berperan. Mungkin ada pengalaman traumatis yang sangat mempermalukan diri, dan terlibat dalam terorisme dapat menjadi cara untuk menyelesaikannya. Kalaupun sebelum masuk dalam kelompok tidak ada trauma khusus, keterpaparan pada kekerasan yang terus diajarkan dalam kelompok akan mengubah keseluruhan pikiran dan penghayatan pribadi.

Intervensi

Berbagai kajian menjelaskan bahwa intervensi yang paling efektif untuk menangkal radikalisme adalah yang dilakukan sebelum individu bergabung dengan kelompok. Di Belanda, ada program untuk menangkal radikalisme dengan memfasilitasi remaja dari komunitas berisiko untuk dapat mengekspresikan secara terbuka berbagai kekecewaan dan perasaan terpinggirkan, yang kemudian disalurkan dalam aksi-aksi positif.

Di Saudi dilakukan pemantauan pada pemuka agama, guru sekolah, serta situs- situs di internet, misalnya yang merekrut orang muda ke luar negeri untuk tujuan yang diduga terkait terorisme. Saudi memberi dukungan pada LSM "Kampanye Sakinah" yang membantu remaja yang sebelumnya mengakses situs-situs ekstrem untuk dapat menjauh dari radikalisme.

Bagaimanapun, perlu sikap hati-hati. Stern mengingatkan, di Inggris, kelompok Muslim antifundamentalis yang memperoleh sokongan pemerintah berisiko dipersepsi bukan antikekerasan, tetapi anti-Islam. Ada pula organisasi yang memperoleh dana besar-besaran yang entah digunakan untuk apa dan tidak dipercaya lagi oleh mayoritas masyarakat Muslim.

Yang tampaknya sangat menarik bagi orang muda sekaligus berbahaya bagi kita semua adalah bagaimana teknologi menyebarluaskan interpretasi ajaran agama yang distortif dan destruktif, yang menyatakan membunuh orang lain itu adalah bentuk ibadah.

Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) sejak 2016 hingga 2018 telah melakukan pemeriksaan pada 146 tersangka teroris di Indonesia, dan mayoritas tidak menunjukkan gangguan jiwa berat. Cukup banyak yang di masa kecil mengalami peristiwa traumatik dan semua terobsesi oleh iming-iming surga. Apsifor juga mengamati adanya pengajian-pengajian eksklusif yang mengajak perempuan dan remaja untuk mendukung gerakan jihad.

Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah yang ditangkap di depan Mako Brimob Kelapa Dua mengenal ISIS melalui teknologi, percaya pada propagandanya, bahkan ingin ISIS ada di seluruh dunia (Tempo, 28 Mei 2018).