KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Penumpang Kereta api Tawang Jaya Premium jurusan Semarang-Jakarta tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa (19/6/2018). Arus pemudik kembali ke Jakarta terus mengalir lewat stasiun ini.

Kegembiraan pemudik menuju kampung halaman, boleh jadi membuat pemerintah kota cemas pada saat arus balik mudik. Pasalnya,  arus balik mudik kerap disertai tambahan anggota yang ingin mengadu nasib di kota.

Penduduk perkotaan kini semakin padat. Pada 1971, misalnya, penduduk kota di Tanah Air baru mencapai 17,29 persen, lalu meningkat menjadi 49,79 persen pada 2010. Diperkirakan pada 2035,  penduduk kota akan menjadi 66,6 persen (BPS, Bappenas, Proyeksi Penduduk 2010-2035). Secara faktual, urbanisasi di Tanah Air  mengikuti fenomena universal yang terus mengalami peningkatan. Secara global, pada 1900 penduduk kota baru mencapai 15 persen, dan  meningkat cepat sejak 1950, lalu  60 tahun kemudian setengah penduduk Bumi tinggal di perkotaan (Bank Dunia, 2009).

Kekhawatiran pemerintah kota dalam menghadapi cepatnya pertambahan penduduk akibat pendatang ialah dalam soal penyediaan kebutuhan penduduk, seperti lapangan kerja, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, pertambahan penduduk kota dicemaskan berpotensi memicu aneka persoalan sosial, terutama ketertiban dan keamanan.

Namun, dari aspek ekonomi, urbanisasi dapat menciptakan jendela peluang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan penduduk. Laporan Bank Dunia (2009) menyebutkan hampir seluruh negara yang mengalami pencapaian status pendapatan kelas menengah umumnya disertai peningkatan urbanisasi hingga ke level 50 persen. Sementara untuk menuju negara pendapatan tinggi level urbanisasinya sekitar 70-80 persen.

Kontribusi produktivitas

Salah satu faktor pengungkit (leverage) meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan penduduk perkotaan akibat urbanisasi  ialah pada peningkatan produktivitas. Hal itu dimungkinkan karena efisiensi dari kelengkapan infrastruktur dan aplikasi teknologi  di perkotaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan di perdesaan.

Diperkirakan, rata-rata produktivitas pekerja di perkotaan 3-5 kali lebih besar dibandingkan dengan produktivitas pekerja di perdesaan, atau di sektor tradisional (Bank Dunia, 2009).

Meski kesempatan bekerja dan berusaha di perdesaan cukup besar, tetapi peluang untuk meningkatkan produktivitas terbatas. Lahan pertanian kian menyempit akibat konversi lahan sehingga penggunaan teknologi kurang efisien.

Selain itu, petani kerap mengalami tekanan hidup, terutama akibat fenomena kurang menguntungkan pada saat musim tanam dan panen.  Kerap terjadi, pada saat musim tanam harga input pertanian meningkat, bahkan kadang mengalami kelangkaan, sementara pada saat panen harga produk pertanian turun.

Adapun indikasi cukup banyaknya kesempatan kerja di perdesaan, antara lain, tecermin dari  rendahnya angka pengangguran di perdesaan dibandingkan dengan angka pengangguran di perkotaan.  Hasil Sakernas Agustus 2017, misalnya, menunjukkan angka pengangguran di perdesaan sebesar 4,01  persen, sedangkan angka pengangguran di perkotaan 6,79 persen.

Namun, celakanya, rendahnya angka pengangguran di perdesaan tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraannya, tecermin dari angka kemiskinan di perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka kemiskinan di perkotaan. Hasil Susenas September 2017, misalnya,  menunjukkan angka kemiskinan di perdesaan sebesar 13,47  persen, sedangkan angka kemiskinan di perkotaan 7,26 persen.

Karena itu, urbanisasi ditengarai bukan akibat  kelangkaan kesempatan kerja di perdesaan, tetapi terutama diakibatkan kecilnya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan.  Meski disadari untuk meraih kesempatan berusaha dan bekerja di perkotaan bukan perkara mudah, tetapi tingkat kegagalan untuk  meraih kesempatan untuk hidup lebih baik di perkotaan ditengarai rendah, terbukti dari tidak adanya gelombang penduduk kota pindah ke perdesaan, atau ruralisasi.

Kontribusi pemerintah

Celakanya, kesulitan hidup di perdesaan tampaknya belum menjadi perhatian cukup serius dari pemerintah, antara lain, terekam dari target pembangunan yang belum dipilah menurut  perdesaan dan perkotaan, melainkan masih berupa angka total.  Target  penurunan angka kemiskinan pada 2018, misalnya, masih berupa angka total, yakni penurunan angka kemiskinan  menjadi satu digit (single digit), atau sebesar 9,5 persen.

Padahal, jika dipilah menurut perdesaan dan perkotaan, pencapaian angka kemiskinan satu digit itu diperoleh daerah perkotaan sejak September 2010 dengan angka kemiskinan sebesar 9,87 persen, dan keadaannya terus menurun hingga mencapai 7,26 persen pada September 2017.

Sebaliknya, angka kemiskinan di perdesaan hingga September 2017 masih bertahan dua digit (13,47 persen).

Maka, masih kurangnya perhatian pemerintah ditambah kecilnya peluang peningkatan kesejahteraan penduduk di perdesaan, diperkirakan akan kian meningkatkan urbanisasi hingga pada tingkat yang tidak terkontrol.  Padahal, jendela peluang pengembangan ekonomi perkotaan akan optimal jika tingkat urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol.

Peluang

Kembali ke soal kekhawatiran pemerintah kota atas fenomena urbanisasi, justru sepatutnya tidak perlu terjadi, seperti yang diungkap oleh Mohan dan Das Gupta.

Pemerintah kota hanya perlu mengubah tantangan urbanisasi menjadi peluang untuk kemajuan daerahnya, antara lain, dengan berinvestasi terhadap para pendatang dalam kegiatan ekonomi dan menopang kebutuhan hidup pendatang.

Dalam konteks ini, Rosenthal dan Strange (2004) mengungkapkan bahwa investasi untuk memperbesar skala kegiatan ekonomi  sebesar 3-8 persen di perkotaan berpotensi meningkatkan produktivitas 0,3-0,8 persen.  Bahkan di Bangladesh, pertumbuhan penduduk sangat  tinggi  mencapai 6 persen per tahun akibat urbanisasi, dapat menurunkan angka kemiskinan di negara itu sebesar 14 persen pada 1990-an (Bank Dunia, 2007).