TOTO SIHONO

                                         

Tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di Danau Toba, Senin (18/6/2018), menghasilkan tragedi memilukan karena dari sekitar 200 korban, hanya 18 orang yang selamat (Kompas, 21/6/2018). Ternyata pasca-tsunami 2004 di Aceh, upaya pencegahan bahaya (disaster prevention) dan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) masih tetap retorika.

Misteri dan tragedi menyertai Danau Toba sejak dulu, berkelindan dengan mitos dan legenda.  Legenda Danau Toba bermula dari kisah seorang laki-laki bernama Toba, yang menikah dengan jelmaan seekor ikan mas. Toba yang murka kepada anaknya, Samosir, sampai berucap bahwa ia adalah anak seekor ikan. Samosir pun sakit hati dan melapor kepada ibunya. Sedih karena Toba, suaminya, telah mengingkari janji pranikah untuk tak pernah mengungkapkan identitasnya, sang istri kembali menjadi ikan dan banjir besar pun terjadi. Danau Toba pun terbentuk.

Mitos tercipta karena manusia tak mampu menjelaskan realitas secara rasional. Mircea Eliade(1968) menggambarkan kuasa di luar diri manusia sebagai tremendum et fascinosum (menakutkan dan menakjubkan) serta manusia harus taat dan hormat. Mitos Danau Toba adalah salah satu contohnya dan apa saja yang terjadi di danau besar itu—khususnya tragedi besar—akan dikaitkan dengan kuasa mistis itu. Segera setelah KM Sinar Bangun tenggelam dan menewaskan banyak penumpangnya, muncullah kisah tertangkapnya ikan mas besar di hari sebelumnya, yang menurut keyakinan orang-orang setempat seharusnya dilepas kembali ke dalam danau.

Kendati irasional, mitos berfungsi menyampaikan ajaran sehat yang berlaku umum, seperti perlunya  menjaga kesetiaan pada janji dan kesepakatan bersama, rasa hormat kepada orang lain, alam semesta, serta kepada Sang Pencipta. Ketika KM Sinar Bangun tenggelam, orang lantas mengungkit berbagai perilaku yang kurang pas: massa yang tak memiliki sense of crisis, pengusaha yang mengutamakan keuntungan, otoritas pelabuhan yang lalai, dan tiadanya sistem penanggulangan bencana. Danau Toba yang begitu luas dan ramai pengunjung terpapar begitu saja, bak sebuah lahan peternakan penuh domba tanpa gembala serta dikelilingi oleh predator ganas.

Sejak masa penjajahan, masyarakat di sekitar Danau Toba telah mengecap pendidikan. Namun, sepertinya karakter masyarakat masih sarat dengan primordialisme. Pemerintah telah berupaya mentransformasikan perilaku yang lebih mencerahkan dengan mengintroduksi ide pengembangan wisata lewat konsep Badan Otorita Danau Toba
(BODT) dan Geopark Kaldera Toba, tetapi masih terganjal patok-patok primordialisme tadi.

Konsep perubahan yang sesungguhnya merupakan hukum alam masih terus digugat dan dipertanyakan. Padahal, kita semua tahu bahwa orang dan masyarakat yang tidak berubah dengan mengubah pola pikirnya akan tergilas oleh perubahan itu sendiri. Akibatnya, Danau Toba menjadi keajaiban murni nature serta tragedinya adalah belum menjadi karya intelektual dan
keterampilan kultural yang menguntungkan manusia sekitarnya.

Mungkin salah satu cara cerdas mengubah kondisi ini adalah merancang pembangunan berbasis "kerja". Pada zaman big data saat ini, orang punya akses ke segala sumber data, termasuk data pembangunan. Kepemimpinan nasional saat ini yang tak lagi retorik seperti sebelumnya telah melakukan pembangunan berbasis ganda ini (big data dan "kerja besar") serta rakyat sudah dapat melihat, menikmati, merasakan dan bersyukur, seperti pada saat masyarakat Sumut menikmati jalan tol Medan-Tebing Tinggi. Sebaliknya, di sekitar  Danau Toba masyarakat masih sibuk mengomel atas dermaga-dermaga yang tak layak, kapal-kapal tua serta berbagai infrastruktur dan sarana yang minim, juga pelayanan umum yang buruk.

Tentunya tidak hanya pemerintah yang harus mengubah diri demi mengakhiri tragedi ini. Sudah saatnya masyarakat di sekitar Danau Toba mengubah cara pikir yang bertentangan dengan perubahan. Pemerintah lokal sebaiknya bergegas menciptakan pembangunan berbasis ganda ini karena masyarakat sudah cerdas menganalisis, mengakses, meminta bukti, dan juga menikmati apa yang dipentaskan dalam panggung pembangunan.

Masyarakat akan lebih terbuka pada ide pembaruan dan pembangunan jika di Danau Toba berseliweran kapal-kapal yang lebih baik, feri penyeberangan yang cukup, dermaga-dermaga yang kokoh, rasa aman dan pelayanan yang prima, serta para pejabat yang setia melayani. Proyek raksasa BODT dan Geopark Kaldera Toba perlu diset lebih down to earth—menyentuh rasa, hati, dan pikiran masyarakat sekitar. Prevensi dan upaya pengurangan risiko bencana sudah perlu diselaraskan dengan proyek pembangunan infrastruktur. Sebab, jika pembangunan tak menciptakan rasa syukur dan aman, BODT dan Geopark Kaldera Toba akan jadi tragedi baru Danau Toba. Danau Toba hendaknya tidak lagi hanya keajaiban alam yang indah, tetapi juga menjadi keajaiban kultural, hasil olah pikir serta tangan masyarakat dan pemerintah.