Dengan merujuk pada kategori Saiful Mujani (2007), pengertian partai Islam dalam tulisan ini dibagi menjadi dua.

Pertama, partai yang berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas) keislaman, seperti PKB dan PAN. Kedua, partai yang menjadikan Islam sebagai ideologi dalam perjuangan politik, seperti PKS, PPP, dan PBB. Namun, sangat disayangkan, sejauh ini partai-partai Islam belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.

Ironisnya, ada kecenderungan perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu sepanjang era reformasi terus tergerus. Pertanyaannya, mengapa partai-partai Islam tidak kunjung membesar? Padahal, sering dikatakan bahwa mayoritas warga bangsa ini beragama Islam. Setidaknya ada lima faktor yang dapat menjelaskan pertanyaan tersebut.

Pertama, umat Islam yang diperebutkan suaranya oleh partai-partai Islam adalah mereka yang tergabung dalam berbagai ormas. Polarisasi umat Islam dalam berbagai ormas secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya penyebaran suara sehingga tidak dapat dimobilisasi untuk memilih partai Islam tertentu. Selalu ada alasan yang bersifat emosional dan ideologis sehingga suara umat tidak dapat disatukan.

Kedua, perjalanan sejarah umat Islam Indonesia telah diwarnai munculnya kecenderungan militerisasi. Dampaknya, umat Islam mengalami trauma politik tatkala berhadapan dengan kekuasaan dan kekuatan militer. Fenomena itu dapat diamati pada awal Orde Baru hingga pertengahan 1980-an.

Pada masa itu banyak elite Muslim menjadi korban politik kekuasaan melalui isu "Komando Jihad". Kondisi tersebut mengakibatkan lahirnya kelompok masyarakat kosmopolit di kalangan umat Islam.

Umat Islam tidak lagi menempatkan politik dan kekuasaan sebagai satu-satunya orientasi perjuangan. Sebagian elite Muslim mulai menempuh perjuangan melalui jalur kultural dengan mengembangkan institusi pendidikan, ekonomi-bisnis, dan berbagai jenis pelayanan sosial.

Perjuangan melalui jalur kultural kini telah menunjukkan hasil menggembirakan. Pilihan berjuang melalui jalur kultural telah menghadirkan blessing in disguise (rahmat tersembunyi). Hal itu karena tidak semua potensi umat termobilisasi untuk kepentingan politik.

Defisit politisi berkarakter

Ketiga, disebabkan tema- tema yang diwacanakan elite partai Islam tidak bersentuhan langsung dengan persoalan riil rakyat. Tema seperti pemberlakuan syariat Islam, khilafah, dan pembentukan negara Islam, terasa sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Tema ini hanya melahirkan romantisme sejarah dan tidak menjawab persoalan umat. Padahal, problem yang dihadapi masyarakat saat ini lebih banyak berkaitan dengan persoalan yang membutuhkan solusi praktis dan pragmatis.

Keempat, selalu ada gejala kanibalisme antarpartai Islam. Hal itu terjadi karena umumnya partai Islam memperebutkan konstituen yang hampir sama. Dampaknya, terjadi "saling membunuh" antarpartai Islam. Jika satu partai Islam mengalami peningkatan jumlah suara, maka hal itu pasti mengurangi perolehan suara partai Islam lainnya.

Kelima, berkaitan dengan performansi elite partai Islam yang tidak menunjukkan karakter sebagai politisi Muslim sejati.

Sebagian elite partai Islam bahkan menampilkan diri sebagai "politisi busuk" karena terlibat kasus suap, korupsi, dan perempuan. Karena faktor itulah Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengkritik elite partai Islam seraya menyatakan "Islam Yes, Partai Islam No." Kritik Cak Nur didasarkan pada perilaku elite partai Islam yang tidak menunjukkan diri sebagai politisi berkarakter.

Politisi berkarakter adalah mereka yang menunjukkan satunya kata dengan perbuatan. Dengan pengertian ini, rasanya sulit menemukan politisi Muslim berkarakter, seperti M Natsir (Masyumi). Sekadar gambaran, Natsir pernah secara tegas menolak untuk bergabung dalam kabinet pemerintahan Mr Ali Sastroamijoyo (PNI) pada masa demokrasi liberal karena merasa ada perbedaan fundamental dengan kebijakan pemerintah.

Marilah kita bandingkan keteguhan Natsir dengan sikap politik yang ditunjukkan elite partai Islam saat ini. Mereka yang pada saat kampanye berjanji untuk memperjuangkan sesuatu yang dipandang ideal ternyata tunduk pada proses tawar-menawar politik dan kekuasaan. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari kebingungan elite partai Islam dalam menentukan sikap politiknya terhadap pemerintah.

Mereka terkadang tampak ingin memposisikan diri sebagai oposisi kritis. Sementara pada saat bersamaan mereka juga berkeinginan menjadi bagian dari kekuasaan. Sikap mendua ini menunjukkan buruknya performansi elite partai Islam. Dengan bersikap seperti itu berarti mereka telah kehilangan idealisme dalam berpolitik. Idealisme dalam berpolitik telah luntur dan digantikan dengan kepentingan pragmatis jangka pendek.

Peluang partai Islam

Pertanyaannya, masih adakah peluang bagi partai-partai Islam untuk memperluas basis konstituennya sehingga menjadi partai besar? Jawabnya tentu berpulang pada elite partai, legislator, dan eksekutif, yang berasal dari partai-partai Islam. Mampukah mereka memperbaiki citranya dari politisi yang hanya berorientasi pada politik dan kekuasaan menjadi politisi berkarakter?

Harus ditekankan bahwa untuk menjadi partai besar, elite partai Islam harus mengubah tema yang selama ini diwacanakan. Tema mengenai simbol-simbol keagamaan sudah saatnya diganti karena dapat memunculkan resistensi kelompok lain. Elite partai Islam harus terlibat dalam proses pembumian ajaran Islam yang moderat dan pluralis sesuai dengan realitas kemajemukan bangsa.

Yang tidak kalah penting adalah elite partai Islam harus terlibat aktif mewacanakan persoalan sosial, ekonomi, dan melakukan program riil yang dapat memberikan manfaat bagi umat.

Peneguhan nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara, seperti ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga harus dilakukan elite partai Islam. Pancasila dan NKRI harus diterima sebagai konsensus bersama sebagaimana komitmen para pendiri bangsa. Jika beberapa langkah strategis itu dilakukan, rasanya peluang partai Islam untuk mendulang suara dalam Pemilihan Umum 2019 terbuka lebar.