Mahkamah Konstitusi secara bulat mendengarkan suara publik. Hal itu terlihat saat MK memutuskan membatalkan dan menafsir ulang UU Nomor 2 Tahun 2018.
Undang-Undang No 2/2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 diundangkan pada 15 Maret 2018. Sejak dibahas di DPR, rancangan UU itu sudah menimbulkan pertanyaan dalam masyarakat karena pada awalnya revisi UU MD3 hanya dilakukan untuk memberikan kursi pimpinan kepada kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merupakan pemenang Pemilu 2014. Itulah kesepakatan dari partai politik di parlemen.
Dalam perkembangan, bukan hanya komposisi pimpinan DPR, DPD, dan MPR yang diubah oleh wakil rakyat dan pemerintah. Perubahan UU MD3 pun memberikan kewenangan berlebih kepada DPR. Majelis Kehormatan Dewan (MKD), misalnya, bisa melakukan tindakan hukum kepada mereka yang dinilai merendahkan martabat DPR atau anggota DPR. Parlemen juga bisa meminta aparat pemerintah memanggil paksa dan menyandera seseorang yang tak memenuhi panggilan DPR. DPR pun bisa memaksakan rekomendasinya dan memperkuat hak imunitasnya. Rakyat pun keberatan dengan langkah DPR yang didukung pemerintah ini.
Sesuai perubahan UUD 1945, Dewan tetap menjadi lembaga pembuat UU bersama dengan eksekutif. Namun, DPR tak bisa leluasa "memaksakan" UU yang dibuatnya karena rakyat memiliki hak untuk menguji materi di MK. Dan, terhadap UU No 2/2018, sejumlah kalangan mengajukan hak uji materi dengan berbagai pertimbangan. MK, Kamis (28/6/2018), pun memutuskan membatalkan Pasal 73 Ayat (3), (4), dan (6) serta Pasal 122 Huruf (l) UU MD3 yang baru, juga menafsirkan kembali Pasal 245 Ayat (1) (Kompas, 29/6).
MK menyatakan, DPR tidak berhak meminta aparat negara memanggil paksa, bahkan menyandera siapa pun yang tak hadir memenuhi panggilan DPR. DPR adalah lembaga legislatif, pembuat hukum. Bukan penegak hukum. DPR tidak boleh mengambil alih kekuasaan penegakan hukum. Putusan MK ini seperti mengembalikan DPR atau parlemen pada asal katanya, yakni le parle (bahasa Perancis), yang berarti 'bicara'. Tugas Dewan adalah bicara, memperjuangkan kepentingan rakyat, dan mengawasi eksekutif. UU yang dibuat pun seharusnya sesuai dengan aspirasi rakyat yang disuarakan oleh DPR sebagai wakil rakyat.
MK dalam putusannya juga mengembalikan kedudukan MKD sebagai alat kelengkapan DPR. Pemanggilan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana hanya memerlukan persetujuan tertulis presiden, tak perlu pertimbangan dari MKD, seperti yang diatur dalam Pasal 245 Ayat (1) UU No 2/2018. MKD pun tak bisa melakukan langkah hukum pada pihak lain, seperti yang diatur sebelumnya dalam Pasal 122 Huruf (l) UU MD3.
Sebenarnya dalam UU MD3 masih ada Pasal 74 terkait DPR yang bisa memaksakan rekomendasinya dilaksanakan pihak lain dan Pasal 204 yang memungkinkan panitia angket memanggil paksa serta menyandera pihak lain yang tak memenuhi panggilan. Namun, putusan MK, Kamis lalu, sudah melegakan. Substansi pasal lain tak jauh berbeda dengan yang sudah diuji MK.
Kompas, 30 Juni 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar