TOTO SIHONO

                    

Sindrom "anak durhaka" menurut Budi Widianarko, Kompas (14/5/2018) dalam "Euforia Perguruan Tinggi Disruptif" menyadarkan kita insan pengelola perguruan tinggi: mau apa dan ke mana PT kita dalam menghadapi Revolusi 4.0.

Kampus yang seolah tersandera oleh paradigma baru tidak mampu keluar sebagai sebuah institusi penyegar dan penawar dari kegundahan bangsa ini. Kepanikan dan kegundahan yang kita maksud terlihat dari beberapa lontaran ide Presiden Joko Widodo dalam berbagai peristiwa. Revolusi Industri (RI) 4.0 mau tidak mau harus diadaptasikan. Namun, dalam tata kelola kampus itu akan menjadi sebuah upaya besar untuk memodernisasi kampus, tidak lantas menjadikan kampus kita usang dan tertinggal.

Tengok saja sejak euforia link and macth, muncul yang namanya Kurikulum Berbasis Kompetensi, kurikulum dengan softskill, kampus iman dan takwa, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kampus inovasi. Kemunculan slogan baru ini menyebabkan kampus di Indonesia terkaget-kaget. Kenapa? Tak lain karena dalam setiap euforia perubahan tersebut, kampus dihadapkan pada metodologi yang tidak fleksibel. Belum selesai kampus beradaptasi dengan satu paradigma, muncul gagasan baru yang seolah-olah menjadikan kampus terus tertinggal.

Dalam era RI 4.0 ini kemudian muncul berbagai tawaran dari produk-produk RI 4.0, seperti peringkat dunia QS atau WQS, WUR, atau THES. Semua ini sudah jelas merupakan produk dari RI 4.0 yang dijual ke perguruan tinggi (PT).

Mengutip pendapat Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria, bahwa kita tidak perlu peringkat, tetapi fakta setiap hari kita dituntut untuk melihat peringkat. Dengan jualan baru dari RI 4.0 ini kemudian kampus-kampus berusaha memenuhi berbagai kriteria yang ditawarkan.

Selain itu, muncul berbagai indikator yang disebut tolok ukur kemajuan kampus, yaitu produk pengindeksan, seperti Scopus, Google Scholar, Thomson Index, dan Copernicus serta Sinta dari dalam negeri. Produk ini kemudian memberikan penilaian yang lebih bersifat personal kepada seluruh dosen dan tenaga pendidikan serta peneliti untuk berada dalam alur RI 4.0. Dua rel ganda yang mengepung PT, yang kalau tidak diikuti seolah-olah akan menyebabkan terjadinya gangguan atau disrupted, bahkan bisa menjadi tsunami kegagalan universitas untuk maju.

Di mana kampus kita

Serangan gelombang RI 4.0 semakin dalam merasuki kampus. Secara institusi banyak kampus belum mampu beradaptasi dalam mengakomodasi perubahan ini. Bahkan yang terus beradaptasi adalah masyarakat kampus secara individu, yang terus adaptif dengan berbagai produk baru dari RI 4.0. Sebut saja Whatsapp, Line, Application Store, dan lainnya yang kemudian menjadi indikator modernisasi penghuni kampus dalam menyampaikan informasi.

Para penghuni kampus sibuk dengan berbagai produk tersebut dan kemudian terlambat memikirkan kampus secara institusi. Berdasarkan catatan saat ini, waktu yang dihabiskan oleh lebih dari 90 persen masyarakat kampus adalah untuk memainkan Whatsapp, Line, Instagram, serta aplikasi-aplikasi berbasis Android lainnya. Selebihnya adalah mengupas ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi bidangnya dalam kampus tersebut.

Kecenderungan ini bisa menyebabkan institusi kita gagal menjadikan kampus kita sebagai sebuah gerbong besar perubahan bangsa. Seperti anai-anai yang keluar sarang karena sudah merasa bersayap dari sebelumnya sebagai rayap, ia bermimpi akan mampu terbang ke bulan dengan sayap yang dimiliki.

Anai-anai lupa membedakan mana yang bulan dan mana yang lampu. Anai-anai lupa bahwa kalau mau terbang ke bulan perlu sayap yang lebih besar, perlu energi yang lebih banyak, serta waktu yang lebih lama.  Akhirnya ia pun kembali jatuh ke bawah karena tidak tahu mana bulan yang sebenarnya.

Analogi ini menjadi gambaran bagi PT kita untuk bersaing dengan PT asing lainnya. Produk RI 4.0 hadir di kampus, tetapi kampus tidak memiliki fasilitas dan infrastruktur yang memadai untuk berkompetisi. Akibatnya, warga kampus akan kelelahan sendiri karena begitu samarnya tujuan yang ingin dicapai dan tidak sejalannya antara kebijakan negara dan produk PT.

Karena itu, penulis berpandangan bahwa kita harus mendorong kampus menjadi kampus yang berjalan sesuai dengan tujuan bangsa dan masa depan negara. Tujuan bangsa yang direncanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), harus diterjemahkan kampus agar pemerintah dan kampus saling mendukung. Energi yang diserahkan ke kampus menjadi nutrisi pemantik semangat untuk melahirkan karya besar buat bangsa. Bangsa akan sangat merasakan keberadaan PT, dari sekadar beradaptasi terhadap RI 4.0 seperti saat ini.

Slogan kemajuan

Untuk itu, satu hal yang kita tidak boleh lupa adalah merumuskan slogan bersama kemajuan PT nasional.  Dengan posisi sebagai negara yang menuju negara maju, inovasi kampus harus didorong menjadi ukuran kemajuan PT Indonesia dan kemajuan bangsa. Kampus-kampus perlu didorong untuk melahirkan inovasi yang kompetitif dan berdaya saing serta menjawab kebutuhan bangsa untuk maju dan memenuhi rencana jangka panjang pembangunan nasional.

Untuk itu, inovasi kampus harus disambut pemerintah sebagai program-program nasional. Jangan lagi kita membiarkan program-program kita berjalan tanpa sentuhan inovasi. Tidak cukup hanya gagasan dan ide, tetapi harus dengan inovasi dan teknologi tepat guna.  Kemajuan negara-negara pengimpor produk RI 4.0 adalah negara yang terus bersaing dalam menciptakan lapangan pekerjaan dari inovasi melalui teknologi informasi.

Karena itu, Indonesia dengan kekhasan bangsa Indonesia harus mampu melahirkan inovasi dan teknologi yang menunjang pembangunan. Kita tidak perlu menunggu negara asing mengimpor inovasi ke negara kita. Karakter daratan kita, laut, gunung, udara, dan masyarakat hanya dikenal dengan baik oleh kampus-kampus kita.

Untuk itu, sudah menjadi keharusan kampus kita agar didorong menjadi kampus inovatif. Negara tinggal memfasilitasi inovasi-inovasi yang muncul menjadi produk bangsa untuk menumbuhkan lapangan-lapangan kerja baru.

Slogan kampus inovatif harus diperkuat dan didukung penuh. Energi diperbesar untuk menjadikan kampus-kampus kompetitif dengan inovasi. Kita tidak perlu mengeluarkan uang lebih besar hanya untuk membeli status kampus berpredikat dunia dari indeks-indeks yang dikeluarkan mesin teknologi informasi dalam RI 4.0.

Menjadi kebanggaan bagi kita ketika Universitas Indonesia (UI) mengeluarkan sebuah indeks Green Campus Metric. UI dengan visi yang luar biasa mendorong kampus-kampus dunia untuk lebih memperhatikan persoalan efek glassfibre reinforced concrete (GRC) dengan menyelamatkan kehidupan melalui pemanfaatan kampus menjadi kampus hijau dan ruang publik bagi masyarakat.

Dengan demikian, kita mampu menjaga lingkungan lebih baik lagi dengan tetap beradaptasi pada keberadaan RI 4.0. Ke depan kita harus mendorong produk-produk Indonesia berbasis TI menjadi jualan dunia, yaitu tropical research matrixtropical country index, maupun biodiversity index, dan seterusnya.

Terobosan ini perlu dibuat untuk mengarusutamakan peran PT menjadi kampus dunia yang kemudian didatangi orang asing. Dengan ide-ide yang brilian, kita tidak perlu lagi mengeluarkan biaya besar untuk mendatangkan orang asing untuk riset. Keberadaan aplikasi dengan slogan innovatif, tropik, dan keanekaragaman hayati akan menjadi magnet bagi pengetahuan dunia.

Dengan sendirinya Indonesia akan memiliki banyak kesempatan menjadi yang terbaik dalam perguruan tinggi dunia, dan kebutuhan negara dapat terpenuhi. Euforia PT disruptif harus diterjemahkan secara hati-hati sesuai dengan kondisi bangsa saat ini dan tidak mengabaikan pergerakan RI 4.0 agar kampus kita tidak selalu usang dari kemajuan.