Bambang PS Brodjonegoro

Ketika Trump mengumumkan penerapan tarif impor untuk panel surya dan mesin cuci hingga 50 persen pada Januari 2018, yang kemudian dilanjutkan dengan pengumuman kenaikan tarif untuk barang-barang impor aluminium menjadi 10 persen dan baja menjadi 25 persen pada awal Maret 2018, negara-negara di dunia langsung memberikan reaksi keras.

Keputusan Trump ini dilandasi adanya dugaan dumping produk mesin cuci asal Korea Selatan dan laporan dari Departemen Perdagangan AS bulan Februari 2018 yang menyatakan, impor baja dan aluminium selama ini telah memperlemah ekonomi internal AS dan mengancam keamanan nasional. Pengumuman kenaikan tarif ini mendapat kecaman dari negara-negara mitra dagang AS yang selama ini menjadi pemasok utama pasar AS untuk produk-produk tersebut.

Kepala Perdagangan Uni Eropa (UE) mengancam akan mempertimbangkan pajak sebesar 25 persen pada produk-produk impor klasik asal AS, seperti jeans Levi's, produk tekstil, motor Harley-Davidson, dan wiski Bourbon.

REUTERS/ LEAH MILLIS

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunjukkan pernyataan pengenaan tarif untuk baja dan aluminium impor. Ia menandatangani pernyataan itu, Kamis (8/3/2018),  di Gedung Putih, Washington DC. Inilah salah satu momen awal dari perang dagang dunia.

Atas ancaman itu, Trump kemudian menyatakan akan memperluas tarif ke mobil pabrikan asal UE. Korea Selatan mengatakan akan mengajukan gugatan kepada WTO atas ketidakadilan perdagangan ini. Sementara Brasil akan mengambil "semua langkah yang diperlukan" untuk melindungi kepentingannya setelah pengenaan tarif baja dan aluminium.

Langkah Trump ternyata tak berhenti sampai di situ. Pada 22 Maret Trump mengumumkan pengenaan tarif tambahan pada impor dari China senilai 50 miliar dollar AS dan rencana pembatasan investasi pada industri teknologi oleh China.

Pengumuman ini mendorong China bereaksi dengan mengenakan tarif retaliasi (pembalasan) pada April 2018 untuk 128 produk impor asal AS, yang dibagi menjadi dua kelompok besar: (i) kelompok 1 yang dikenakan kenaikan tarif 10 persen, untuk produk buah-buahan segar dan kering, minuman anggur, etanol modifikasi, ginseng Amerika, dan pipa baja; (ii) kelompok 2 yang dikenai kenaikan tarif 25 persen untuk produk babi dan produk turunannya, serta produk aluminium daur ulang.

Bahkan, China merencanakan tambahan 106 produk untuk dikenai kenaikan tarif 25 persen sebagai balasan atas rencana Trump menerapkan tarif pada produk pesawat, robotik, IT, dan  mesin dari China.

AFP PHOTO

Foto file yang diambil pada 18 Januari 2018 ini menunjukkan seorang pekerja China memotong baja di Qingdao di Provinsi Shandong, timur China. Meskipun ada tentangan sengit dari dalam Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump pada 1 Maret 2018 mengumumkan akan mengenakan tarif untuk impor baja dan aluminium, yang berpotensi memicu terjadinya perang dagang dengan produsen besar dan juga China.

Fenomena ini yang disebut dengan perang dagang. Dalam teori ekonomi, kenaikan tarif akan memberikan kerugian terhadap ekonomi negara yang bersangkutan, karena hanya akan menguntungkan sebagian kelompok agen ekonomi dan merugikan sebagian besar industri dan konsumen pada umumnya.

Hal ini karena kurva penawaran dan permintaan akan bergeser dari posisi naturalnya sehingga menghasilkan kerugian yang akan ditanggung secara bersama-sama oleh ekonomi negara tersebut, dalam istilah ekonomi disebutdead weight losses. Perang dagang inilah yang ditakutkan para ekonom dunia karena akan memperbesar kerugian yang akan ditanggung seluruh negara di dunia.

Menghitung dampak

Seiring adanya fenomena awal dari perang dagang ini, Bappenas telah menghitung perkiraan dampak dari perang dagang terhadap beberapa perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan model kesetimbangan umum, perang dagang yang ditimbulkan AS dan dibalas oleh China ternyata akan menyebabkan pelambatan ekonomi AS, China, dan Korea Selatan.

Dampak terbesar akan dirasakan oleh ekonomi AS sendiri karena kenaikan tarif baja dan aluminium  akan memberikan tekanan biaya terhadap industri pengguna baja dan aluminium, yang selama ini mengandalkan dari pasokan impor. Francois and Baughman (2018) memperkirakan sekitar 146.000 lapangan kerja akan hilang akibat penerapan tarif, terutama baja dan aluminium.

Sementara, hasil simulasi Bappenas memperkirakan negara ASEAN yang akan terimbas dampak negatif adalah Thailand dan Malaysia. Bagi Indonesia, perang dagang ini tak akan memberikan dampak negatif dalam jangka pendek karena Indonesia bukan pemasok barang-barang yang dikenai tarif oleh AS.

Thailand memperoleh dampak negatif karena menjadi salah satu dari 10 pemasok terbesar baja ke pasar AS, dengan pangsa pasar 2,1 persen. Selanjutnya, yang perlu menjadi catatan adalah perang dagang akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian dunia, akibat menurunnya arus perdagangan antarnegara dan kontraksinya beberapa sektor industri yang dikenai tarif oleh Trump.

AFP/GETTY IMAGES/DREW ANGERER

Pialang dan profesional keuangan bekerja sebelum lonceng penutupan di lantai New York Stock Exchange, Senin (25/6/2018), di New York, Amerika Serikat. Dow turun lebih dari 300 poin untuk hari itu karena pasar terus menguat menyikapi kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap China. Di sejumlah wilayah, situasi perang dagang menyebabkan pasar saham melemah.

Secara bersamaan, Oxford Economics dalam publikasinya pada Mei 2018 menyatakan ekonomi AS dan China akan mengalami kerugian akibat perang dagang di 2018 dan 2019. Ekonomi kedua negara besar itu diperkirakan melambat di 2018 dan 2019, dengan dampak negatif yang akan kian besar di 2019.

Perang dagang diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2-0,5 basis poin dari skenario dasar. Dalam Global Risk Survey (2018) yang dilakukan Oxford Economics, faktor risiko global terbesar pada kuartal II-2018 berdasarkan persepsi responden adalah perang dagang AS-China.

Sebenarnya kekhawatiran dunia terhadap perang dagang sempat mereda, ketika pada minggu ketiga Mei 2018, negosiator perdagangan kedua negara besar ini bersepakat mengambil jalan tengah dengan menunda penerapan tarif. China menyanggupi untuk menambah impor barang-barang asal AS senilai 200 miliar dollar AS sehingga defisit perdagangan AS terhadap China dapat mereda.

Dalam ilmu ekonomi dikenal teori permainan atau yang biasa disebut game theory, yaitu pengambilan keputusan pada saat dua pihak sedang berada dalam kondisi persaingan atau konflik dengan berbagai kepentingan. Setiap pemain dalam game theory punya keinginan untuk menang, dengan solusi yang optimal.

Dalam kasus perang dagang ini, kita bisa analogikan dengan teori permainan dengan empat pilihan skenario: skenario 1, keduanya tak mau mengalah dengan masing-masing menerapkan tarif tinggi; skenario 2, AS menerapkan tarif di luar dugaan China; skenario 3, China menerapkan tarif di luar dugaan AS; dan skenario 4, keduanya mengalah mencari solusi untuk berdamai.

GETTY/AFP/NATALIE BEHRING

Para buruh mengisi baja pesanan untuk dikirim ke Pacific Machinery & Tool Steel Company, Pacific Northwest, pada 6 Maret 2018 di Portland, Oregon. Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa dia bermaksud memberlakukan tarif impor baja dan aluminium, yang memicu kekhawatiran bahwa tindakan semacam itu dapat memicu perang dagang.

Dari empat skenario, solusi optimal untuk keduanya adalah skenario 4. Kesepakatan kedua negara untuk menunda perang dagang kelihatan sejalan dengan skenario 4 pada teori permainan, dengan maksud mengambil jalan tengah dan mencari solusi terbaik.

Namun, tanpa diduga, satu minggu setelah kesepakatan, Trump mengumumkan kembali bahwa AS akan tetap menerapkan tarif 25 persen untuk barang-barang impor AS asal China sebesar 50 miliar dollar AS. Hal ini kembali mengkhawatirkan dunia akan merebaknya perang dagang karena China juga tak segan-segan akan melakukan retaliasi. Apakah Trump sedang menerapkan Teori Permainan?

Ketidakpastian global

Permainan ini tentunya meningkatkan ketidakpastian global. Indonesia perlu segera menyikapi dan mengambil peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong dan menjaga resiliensi perekonomian Indonesia.

Pertama, menjaga kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia. Kita perlu mengambil sikap untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik, sehingga perang dagang dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investor dan aliran modal masuk ke perekonomian Indonesia.

KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN

Menteri BUMN Rini Soemarno (atas kiri) berbicara di hadapan investor di Zurich, Swiss, Kamis (25/1). Pemerintah Indonesia membuka peluang investasi kepada investor global di sejumlah sektor, antara lain infrastruktur, perbankan, serta telekomunikasi.

Dengan adanya ketidakpastian perang dagang antar dua perekonomian besar dunia, investor tentunya akan mencari tempat yang relatif lebih aman dan stabil untuk menanamkan modalnya, pada saat itulah Indonesia harus mampu menjual daya tariknya dan mengambil hati para investor untuk masuk ke Indonesia.

Kedua, meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global. Pada saat AS menerapkan perang dagang dengan China, secara otomatis importir AS dalam jangka pendek akan mencari sumber impor alternatif yang lebih murah untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Ini yang sering disebut trade diversion(pengalihan perdagangan).

Industri dalam negeri AS tak akan mampu memenuhi sendiri seluruh kebutuhan dalam negerinya dalam jangka pendek dan menengah. Untuk itu, Indonesia berpeluang menjadi sumber impor baru bagi pasar AS, asalkan para eksportir dan pemangku kepentingan secara bersama-sama dan bahu-membahu dapat segera memanfaatkan peluang ini.

Pesaing utama bagi Indonesia untuk masuk ke pasar AS bila terjadi perang dagang adalah Vietnam. Selama ini Vietnam sudah mampu menaikkan pangsa pasarnya di AS dengan cepat karena dalam 10 tahun pangsa pasar naik dari 0,6 persen di 2007 menjadi 2,0 persen di 2017.

Nilai ekspor Vietnam ke AS naik empat kali lipat dari 11,4 miliar dollar AS di 2007 menjadi 48,4 miliar dollar AS di 2017. Sementara pangsa pasar produk Indonesia di AS selama 20 tahun terakhir hanya berkisar di 0,9 persen. Indonesia perlu belajar dari Vietnam untuk hal ini.

Ketiga, memperkokoh industri nasional. Sudah saatnya kita mendorong industrialisasi secara lebih serius dan kompetitif karena sektor industri inilah yang akan menopang kekuatan ekonomi Indonesia ke depan. Seluruh komponen masyarakat perlu bergerak dalam satu langkah dan satu visi untuk merealisasikan proses industrialisasi secara nyata karena sektor industri inilah yang akan menjadi penggerak bangsa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang layak.


BAMBANG PS BRODJONEGORO, MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

Kompas, 29 Juni 2018