TOTO SIHONO

                      

Berkhidmat daulat rakyat adalah esensi dan representasi demokrasi, jelas infra-suprastruktur politik kita hari ini mengidap tiga cacat serius.

Pertama, demokrasi kita menihilkan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan."  Saluran permusyawaratan/perwakilan dimonopoli parpol. Deliberasi publik sebagai roh "kerakyatan" untuk pengambilan keputusan dan kebijakan menyangkut kepentingan bangsa terpinggirkan, semata-mata menjadi hajat elite dan menafikkan second opinion.

Rakyat stabil diperlakukan sebagai konstituen pasif, setara  massa mengambang di era Orde Baru. Reduksi aspirasi dan partisipasi publik dalam relasi eksekutif-legislatif menyuburkan praktik politik transaksi, kompromi dan "jalan buntu" sebagaimana dapat ditelusuri dari penerbitan UU yang banyak kejanggalan dan mengundang judicial review.

KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Warga memberikan suaranya dalam Pilkada 2018 di Tempat Pemungutan Suara 01 Desa Parahu, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (27/6/2018). Sejumlah warga enggan datang ke TPS karena merasa tidak ada perbaikan di Kabupaten Tangerang.

Absennya keterwakilan dan keterlibatan rakyat secara aktif dalam merumuskan dan membuat keputusan penting, membuang kesempatan melakukan  pendidikan politik secara terencana dan bertanggung jawab, Proses legislasi tanpa transparansi dan  akuntabilitas publik terukur, jelas mencederai prinsip demokrasi.

Kedua, pranata demokrasi menutup celah keragaman artikulasi. Demokrasi semestinya membuka lebar kanal aspirasi, ekspresi, dan aksentuasi semua golongan tanpa pembatasan dan pengaturan prosedural. Fakta berbagai survei yang menunjukkan tingkat kepercayaan dan legitimasi publik terhadap parpol sangat rendah, seharusnya membuka ruang aspirasi lebih terbuka pada kekuatan-kekuatan non parpol sebagai bagian otokritik untuk meningkatkan kualitas dan mendewasakan parpol,

Ketiga, dominasi parpol dalam infra-supra struktur bernegara menegasikan munculnya masyarakat madani. Tokoh-tokoh publik yang punya wawasan dan kegiatan melintasi sekat dan golongan tak terakomodasi kendati mereka memiliki integritas tinggi dan pengakuan luas di masyarakat. Komisi atau lembaga kuasi negara yang seharusnya steril dari kepentingan politik, justru jadi ajang perebutan pengaruh untuk menempatkan kepentingan parpol.

KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI

Petugas KPPS di TPS 005 Kelurahan Sukahati Kabupaten Bogor menata surat suara sebelum dihitung pada Rabu (27/6/2018) siang. Distribusi logistik pilkada seperti dokumen C1 Plano dan buku panduan KPPS menjadi permasalahan yang dihadapi dalam Pilkada Serentak 2018 di Kabupaten Bogor.

Demokrasi yang hanya dimaknai sekadar kontestasi antar parpol dalam memperebutkan kekuasaan di semua jenjang, terjerumus menjadi sekadar power game dan mengembang-biakan fragmentasi kepentingan. Hipokrisi lantas menjamur ketika antar parpol bebas "berselingkuh."

Mendeklarasikan sebagai kubu pro dan oposisi pemerintah, namun tak risih saling berkolaborasi demi mengusung kandidatnya pada ajang pilkada dan menyusun kebijakan yang mengakomodasi kepentingannya.

 Jalan ketiga

Konsolidasi demokrasi yang tak kunjung terwujud dua dasawarsa sejak reformasi kini malahan bergerak ke jurusan baru: segregasi kepentingan yang membelah masyarakat dalam balutan isu-isu SARA. Kita tidak akan melangkah kemana-mana jika tatanan demokrasi hanya memberi ruang bagi parpol dan menutup peluang hadirnya kekuatan alternatif, bukan sebagai tandingan melainkan untuk menguatkan kualitas demokrasi. Sejarah mengajarkan, sistem multi partai kering ideologi  persatuan dan kebinekaan, cepat atau lambat bakal menyeret bangsa ke kubangan pelik persoalan.

Persandingan atau persenyawaan prinsip keterwakilan dan keadilan proporsional dibutuhkan tatkala proses dan praktik politik saling mengunci dan menemui jalan buntu dalam merumuskan konsensus untuk meraih cita-cita bangsa. Jika hanya ada dua kekuatan utama pada pilar demokrasi: eksekutif dan legislatif, maka tidak tersedia "jalan ketiga" untuk mengurai kemacetan dan ketidaksepakatan dalam banyak proses politik.

KOMPAS/LASTI KURNIA (LKS)

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri (kanan) didampingi Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto menyampaikan keterangan pers di kantor DPP PDIP, usai Rapat Konsolidasi dengan seluruh DPD Partai se-Indonesia dalam Rangka Pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2017, Jakarta, Kamis (17/11). PDIP menyatakan menghormati keputusan penetapan calon Gubernur DKI Jakarta petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai tersangka dan tetap mendukung. PDIP juga fokus pada pelaksanaan Pilkada lainnya di seluruh Indonesia dan akan memberi porsi perhatian yang sama.
Kompas/Lasti Kurnia (LKS)
17-11-2016

Kesadaran atas ketidakmatangan proses politik yang jelas tidak menumbuhkan harapan tersebut tidak mungkin diselesaikan melalui pranata politik yang ada dan berlaku sekarang. Terjeratnya ratusan kepala daerah dan wakil rakyat dalam perkara korupsi jelas mengindikasikan proses politik berbiaya tinggi, sarat jebakan transaksional.

Demikian pula, biaya  ratusan triliun rupiah untuk menyelenggarakan pemilihan umum boleh disebut mubazir karena tidak ada jaminan pemimpin dan wakil rakyat terpilih telah melewati serangkaian seleksi berkualitas dan menjanjikan perubahan lebih baik. Sekalipun muncul pemimpin daerah dengan inisiatif dan kinerja cemerlang, ketokohannya tidak berawal dari proses kaderisasi politik yang matang dan berjenjang.

Pembukaan Muktamar PKB 2014-Ribuan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hadir dalam pembukaan Muktamar PKB 2014 di Hotel The Empire Palace, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (31/8). Dalam Muktamar 2014 tersebut PKB kembali menekankan peranan partai yang bertujuan strategis memajukan bangsa Indonesia tanpa menggolongkan suku, ras dan agama dalam berdemokrasi. Selain itu juga terus meningkatkan konsolidasi untuk kemajuan PKB ke depannya.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa (WEN)
31-08-2014

Dalam kaitan ini, jalan yang harus dilalui oleh calon-calon independen lebih terjal sehingga hampir seluruh pilkada dan pemilu legislatif merupakan hajat dan kontestasi parpol. Persemaian calon pemimpin dan wakil rakyat yang tidak membuka ruang bagi tokoh-tokoh alternatif ketika parpol krisis kader otentik, mematikan sumber-sumber kepemimpinan baru dengan rekam jejak teruji, ketokohan mengakar, keteladanan membumi.

Semakin menguatnya oligarki di tubuh parpol menunjuk problem meritokrasi akut dan muskil berubah tanpa kesadaran dari elitenya. Membiarkan kemacetan kaderisasi terus berlangsung sembari menutup hadirnya pemimpin alternatif, kelak akan melahirkan kelas pemimpin semenjana dan tidak teruji mengatasi persoalan bangsa.

Seluruh proses ini menyalahi kodrat natural yang semestinya memberi ruang terbuka bagi seluruh elemen bangsa untuk memajukan kehidupan negeri melalui berbagai prakarsa dan aktivitas tanpa harus bersikap partisan. Demokrasi berkualitas tumbuh berkembang manakala  pengorganisasian dan embrio kepemimpinan mandiri juga mendapatkan kesempatan mengaksentuasikan potensinya dan beroleh hak   konstitusional.

  Defisit demokrasi

Entropi wawasan kebangsaan dan kenegaraan akibat kejumudan pranata demokrasi memerlukan semacam "bedah caesar".   Kita tidak seharusnya meneruskan apa yang disebut George Orwell (Novel "1984") dengan kegilaan tiada henti (a continuous frenzy) yang dipertahankan untuk melanggengkan sirkulasi terbatas politik dan kekuasaan.

Segregasi sosial-ekonomi-politik yang terus berlangsung membutuhkan "jalan tengah" agar keterlibatan aktif semua komponen bangsa terwadahi dan sekaligus bersama-sama mengawal demokrasi dengan menyempurnakan sistem perwakilan yang cenderung menjadi rezim otoritarian baru. Krisis demokrasi—rendah legitimasi dan  kekuatan  pendukung—merupakan cacat bawaan sistem perwakilan. Ketika aspirasi rakyat tak beroleh resonansi di parlemen, koreksi harus dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi (Mark E Warren and Hillary Pearse: Designing Deliberative  Democracy, 2008).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Melawan Isu SARA – Warga melintasi spanduk yang muncul sebagai reaksi atas maraknya isu SARA di Kawasan Gelora, Tanah Abang, Jakarta, Jumat (16/2). Merawat dan memperkuat kembali, sifat-sifat dasar bangsa Indonesia yang toleran, saling menghormati, dan gotong-royong bisa menjadi upaya untuk melawan isu SARA dalam kehidupan bermasyarakat.
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
16-02-2018

Mendorong berkembangnya deliberasi publik akan membawa ke tataran baru demokrasi dengan tiga karakteristik positif: saling menguatkan, memampukan, dan mencerahkan. Proses itu juga akan mencairkan ketegangan, mengurangi unjuk kekuatan atau saling menihilkan, dan mengarah pada titik temu dalam meraih  mencapai konsensus bersama yang dihargai semua pihak.

Konsolidasi demokrasi pada akhirnya harus mengerucut pada ikhtiar bersama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar bangsa dalam kontestasi politik elok dan bermartabat. Semua itu mesti menggunakan perspektif hukum, moral, dan keadilan sehingga konsepsi negara hukum bukan sekadar berhenti sebagai pengaturan belaka:  law is not just for the sake of law namun law is for the sake of justice.

Tolak Isu SARA dalam Pilkada – Pejalan kaki melintas di dekat spanduk yang menolak digunakannya isu mengenai suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk meraih simpati dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di jembatan penyebrangan Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (10/10). Idealnya, proses Pilkada harus bisa menjadi kompetisi gagasan, ide, dan visi misi untuk membangun masyarakat dan peradabannya.
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
10-10-2016