Keputusan Perdana Menteri Mahathir Mohamad membatalkan proyek Kereta Malaysia- Singapura demi menyela -matkan kondisi pereko -nomian Malaysia menuai banyak perhatian.
Meskipun sebagian pihak berpendapat bahwa pembatalan mega proyek ini didasari oleh pertimbangan politik Mahathir untuk menjaga jarak dengan Singapura, di sisi lain keputusan ini dinilai tepat untuk mengurangi beban fiskal pemerintah Malaysia. Di samping itu, proyek ini juga dinilai tidak berkontribusi besar bagi perekonomian Malaysia pada saat ini maupun di masa mendatang, sehingga keputusan Mahathir memperoleh dukungan luas dari masyarakat Malaysia.
Menjadi hal yang menarik ketika keputusan pemerintah di negara jiran tersebut juga memunculkan perdebatan mengenai urgensi penetapan kebijakan serupa di Indonesia. Dengan besarnya nilai utang yang dimiliki Indonesia, mengapa kita tidak bisa mengambil langkah kebijakan yang sama? Apakah beban utang kita sudah mencapai tingkat yang kritis dan membahayakan kesehatan perekonomian, sehingga pembatalan proyek strategis pada kepemimpinan Presiden Jokowi menjadi sangat diperlukan?
Krisis utang
Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara krisis utang yang dihadapi Malaysia dengan kondisi utang negara kita saat ini. Secara nilai absolut, nilai utang Indonesia memang lebih besar. Nilai utang Malaysia sebesar 1 triliun ringgit atau sekitar Rp 3.600 triliun, sedangkan utang Indonesia telah mencapai Rp 4.136,5 triliun (posisi Maret 2018).
Namun, perbandingan nilai utang itu perlu juga melihat skala dari perekonomian Indonesia yang juga jauh lebih besar daripada Malaysia. Jika dibandingkan antara total utang dengan Produk Domestik Bruto (PDB), utang Malaysia saat ini telah mencapai sekitar 60 persen dan meskipun nilai absolut utang Indonesia lebih besar, proporsi utang Indonesia saat ini masih sekitar 29,8 persen.
Pemerintahan Jokowi tentu memiliki argumentasi dalam menerapkan kebijakan utang, terutama untuk membiayai pembangunan infrastruktur demi mendukung pertumbuhan dan meningkatkan daya saing perekonomian kita. Ketersediaan infrastruktur memang menjadi kendala utama dalam percepatan pembangunan, misalnya terkait dengan penurunan biaya logistik yang saat ini masih 23 persen dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju di kisaran 11 – 14 persen.
Kondisi ini menyebabkan perekonomian kita menjadi tidak efisien dan tidak mampu bersaing dengan negara lain. Di samping itu, pemerataan pembangunan juga mengandalkan pada pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia, terutama di kawasan Timur, wilayah perbatasan, dan kawasan tertinggal lainnya. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, pembangunan infrastruktur secara masif saat ini memang memberi dampak besar terhadap peningkatan utang domestik dan luar negeri Indonesia.
Namun demikian, kita tidak dapat menghindari pertanyaan: dengan gejala ekonomi global yang kurang menguntungkan saat ini, apakah Indonesia tidak perlu meninjau kembali proyek-proyek besar sebagaimana langkah yang diambil pemerintahan Mahathir?
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya pernah menerapkan kebijakan serupa pada awal krisis moneter tahun 1997. Krisis moneter Asia yang awalnya menimpa Thailand pada Juli 1997 telah diperkirakan akan meluas hingga ke Indonesia. Dengan total utang negara yang saat itu mencapai Rp 538 triliun atau hampir 50 persen dari PDB, kondisi ekonomi Indonesia memang sudah mulai rawan. Maka pada Agustus 1997 pemerintah memutuskan untuk menangguhkan atau mengkaji kembali beberapa proyek strategis yang sedang dan akan dilaksanakan saat itu.
Kami di Bappenas mendapat tugas untuk mengidentifikasi proyek-proyek tersebut. Pada bulan September 1997, melalui Keppres No 39 Tahun 1997, pemerintah akhirnya menunda pelaksanaan 156 proyek atau sekitar 65 persen dari total 241 proyek prioritas, baik proyek yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah, proyek BUMN, maupun proyek swasta yang membutuhkan dukungan pembiayaan pemerintah dan BUMN.
Total nilai proyek yang ditunda sebesar Rp 111,2 triliun, atau saat ini senilai lebih dari Rp 520 triliun jika dikonversi ke nilai tukar rupiah terhadap dollar US (tahun 1997, 1 dollar AS = Rp 2.900). Langkah pemerintah untuk membatalkan proyek demi efisiensi fiskal memperoleh respons positif dari pelaku pasar dan masyarakat luas. Kebijakan tersebut menunjukkan betapa Pemerintah Indonesia dapat membaca situasi dengan jelas dan mengambil sikap yang tegas manakala dibutuhkan.
Namun berselang tiga bulan dari penetapan Keppres No 39 Tahun 1997, pada awal November 1997 terbit Keppres No 47 Tahun 1997 yang mencabut kembali keputusan untuk menunda pelaksanaan beberapa dari proyek-proyek nasional itu. Namun dalam proses peninjauan kembali ini Bappenas tidak dilibatkan.
Kebijakan terakhir tersebut mendapat respons yang sangat negatif dari pelaku pasar, yang berdampak langsung pada makin melemahnya nilai rupiah. Hal yang sama juga terjadi ketika pemerintah menutup 16 bank nasional yang bermasalah, yang awalnya sangat diapresiasi, namun tidak lama kemudian ditinjau lagi dengan menghidupkan kembali salah satu bank, dan segera menuai kecaman keras dari masyarakat dan reaksi negatif dari pasar.
Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan ekonomi pemerintah waktu itu berdampak pada krisis politik yang akhirnya berujung pada terjadinya suksesi kekuasaan di era reformasi.
Setelah memasuki periode krisis ekonomi dan politik, proses pemulihan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Habibie memberikan kesempatan kembali bagi pemerintah untuk melanjutkan proyek bernilai strategis yang memang sangat diperlukan untuk pembangunan. Melalui Keppres No 15 Tahun 2002, pemerintahan Megawati Soekarnoputri memutuskan untuk mencabut
Keppres No 39 Tahun 1997 dan melanjutkan beberapa proyek nasional yang sebelumnya dihentikan.
Kebijakan itu diambil sebagai upaya mendukung pemulihan ekonomi yang baru saja keluar dari periode krisis. Beberapa proyek yang sebelumnya masuk dalam daftar penundaan dalam Keppres No 39 Tahun 1997 akhirnya dilanjutkan dalam era kepemimpinan presiden selanjutnya, seperti Bandara Kuala Namu dan Ruas Tol Kanci-Pejagan yang selesai pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta Ruas Tol Seroja dan Tol Semarang-Solo yang diselesaikan pada era Jokowi saat ini. Bahkan beberapa proyek yang tercantum dalam keppres masih pada tahap persiapan dan tahap konstruksi hingga saat ini, misalnya Tol Semarang – Demak dan Tol Medan – Kuala Namu.
Pelajaran berharga
Banyak pelajaran berharga yang perlu menjadi renungan kita dari pengalaman pada saat krisis ekonomi 1997 di atas. Ketika menghadapi krisis ekonomi, negara memang perlu tampil untuk mengambil kebijakan yang tepat meskipun berat, namun kebijakan harus didukung konsistensi dalam pelaksanaannya. Pengalaman Indonesia dalam menetapkan kebijakan yang tidak konsisten pada saat krisis ekonomi 1997 patut menjadi pembelajaran bagi pemerintahan saat ini dan ke depan.
Indonesia juga perlu terus waspada terhadap krisis ekonomi yang mungkin terjadi setiap saat. Sebagai perekonomian kecil yang terbuka (small open economy), perekonomian Indonesia akan selalu terpengaruh oleh gejolak ekonomi di tingkat global. Tingkat utang kita yang saat ini masih berada pada taraf aman, dapat saja berubah menjadi beban yang besar apabila gejolak ekonomi global terus berlanjut dan kita sendiri tak mampu memanfaatkan uang pinjaman itu secara efektif untuk mencapai sasaran pembangunan dan percepatan ekonomi.
Strategi pembiayaan pembangunan melalui peningkatan utang domestik dan luar negeri yang diambil pemerintahan Jokowi perlu konsistensi dan disiplin dalam pemanfaatannya.
Sebagai catatan tambahan, dengan berbagai keterbatasan dan tantangan yang dihadapi saat ini, pemerintah perlu senantiasa waspada dalam memanfaatkan setiap rupiah agar strategi pembangunan mampu memberi dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan Inpres Desa Tertinggal yang diterapkan pada akhir 1990-an telah memberikan dampak pada keberhasilan kita menurunkan tingkat kemiskinan dari 13 persen menjadi 11 persen dalam kurun waktu tiga tahun, dengan total pembiayaan hanya sekitar Rp 1,4 triliun.
Meskipun tantangan yang dihadapi setiap periode pemerintahan mungkin berbeda, tetapi program penanggulangan kemiskinan tetap menentukan target dan efektivitas pelaksanaan yang terukur. SBY telah menerapkan kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dengan biaya per tahun Rp 15 triliun dan Presiden Jokowi menerapkan kebijakan Dana Desa yang setahunnya mencapai Rp 60 triliun, namun dampak program dengan jumlah dana yang demikian besar itu dinilai oleh banyak kalangan tak terlalu efektif menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar