ANTARA FOTO/DHEMAS REVIYANTO

Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Kemendagri Suhajar Diantoro (kedua kanan), Deputi I bidang Pengelola Batas Wilayah Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Robert Simbolon (kedua kiri), Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kiri) dan Ketua Bawaslu Abhan (kanan) menjawab pertanyaan anggota dewan pada rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (4/6). Rapat membahas peraturan Bawaslu (perbawaslu) jelang Pemilu 2019.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menolak mengundangkan peraturan KPU yang melarang bekas narapidana korupsi menjadi caleg.

Penolakan Menkumham ini tentunya harus dibaca juga merupakan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo atas rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut. Rencana KPU menerbitkan peraturan KPU yang melarang bekas napi korupsi mendapat dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gagasan itu juga sejalan dengan keinginan publik untuk membebaskan lembaga legislatif dari orang-orang tercela yang pernah dihukum untuk kasus korupsi.

Dari sisi kepantasan dan kepatutan, memang seharusnya bekas napi korupsi tidak duduk sebagai anggota lembaga legislatif. Di sinilah sebenarnya diperlukan keberanian negara untuk mengatur masalah itu. Perlu diingat ada Ketetapan No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ada juga Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Ketetapan itu seharusnya bisa menjadi spirit elite bangsa ini mengelola bangsa.

Dalam perspektif HAM, memang benar setiap warga negara— apakah bekas napi korupsi, bekas napi narkotika, ataupun bekas napi teroris—mempunyai hak untuk dipilih dan memilih guna menyandang status "Yang Terhormat." Namun, tentu ada juga hak publik untuk mendapatkan calon anggota legislatif (caleg) yang betul-betul berintegritas, bukan caleg yang pernah dihukum untuk kasus korupsi.

Guna mendapatkan caleg yang bersih dari korupsi, memang bisa saja diserahkan pada pasar atau kepada para pemilih. Biarkan rakyat bersikap, apakah mau memilih caleg koruptor atau tidak. Dalam posisi demikian, pemerintah dan DPR sama sekali tidak mau mengambil sikap dan menyerahkan otoritasnya untuk membuat pasal atau regulasi dengan alasan bertentangan dengan hukum dan menyerahkannya pada pasar.

Kita mendorong KPU membuat aturan melarang bekas napi menjadi caleg dengan segala risiko hukumnya. Larangan yang sama juga diterapkan untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk calon anggota DPD tak terdengar ada keberatan. Apakah ada standar ganda, biarlah publik menilai.

Bahwa kemudian peraturan KPU itu digugat ke Mahkamah Agung (MA), biarlah MA mengujinya. Itulah mekanisme demokrasi yang disediakan. Janganlah kemudian pemerintah menolak mengundangkan peraturan KPU dengan alasan bertentangan dengan undang-undang (UU). KPU adalah komisi negara yang mandiri. Hak untuk menilai sebuah peraturan di bawah UU berada di MA, bukan pada Kementerian Hukum dan HAM. Biarlah KPU mempertahankan dalilnya, jika benar ada gugatan soal peraturan KPU itu.

Biarlah publik menilai, lembaga mana atau partai politik mana yang memang mempunyai komitmen untuk menciptakan lembaga legislatif yang bersih dan mana yang sebenarnya sama sekali tak memiliki komitmen. Habitus DPR baru tentunya harus dibangun melalui keberpihakan yang jelas dari negara agar bangsa ini bisa sedikit mengurangi caleg bekas koruptor.

Kompas, 6 Juni 2018