Kehadiran partai politik sejak era reformasi jumlahnya kian banyak. Sementara fungsi partai sejak proklamasi sampai sekarang belum berubah.

Bung Karno menyebutnya sebagai kekuatan kelompok orang-orang politik yang fungsinya untuk mengejar, melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan. Jadi, kalau kekuasaannya sudah diperoleh melalui perebutan kekuasaan, melalui impeachment, melalui pemilu atau pilkada dan sejenisnya, kekuasaan itu dipergunakan sendirian atau bersama kelompok pendukungnya. Setelah itu, partai-partai politik tersebut merancang strategi mempertahankan lima atau empat tahun lagi, menurut periode  sistem demokrasi bisa juga lebih dari lima tahun.

Itulah pandangan periode masa kekuasaan dalam etika demokrasi. Sementara dalam suatu negara dan pemerintahan yang demokratis, setiap lima atau empat tahun sekali partai politik berusaha merebut kekuasaan dengan memengaruhi suara rakyat sebanyak-banyaknya. Jika partai politik memenangi suara rakyat, partai tersebut mencapai kekuasaan pemerintahan.

Di negara kita, sejak era reformasi sampai sekarang, dalam tatanan  birokrasi pemerintahan yang demokratis belum pernah diatur suatu aturan yang menata hubungan partai politik dengan birokrasi pemerintah yang melahirkan tata pemerintahan yang baik (good governant). Upaya untuk menata sistem yang baik itu pernah dilakukan tahun 2008 sampai 2014, dengan melahirkan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sayang, di dalam UU itu pun cara-cara yang pernah dilakukan ketika pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru terulang sehingga hubungan partai politik dan birokrasi pemerintah belum selesai.

Pelaksanaan sistem merit

Sistem merit (merit system) yang dijadikan landasan kuat mengatur ASN kelihatannya masih compang-camping, tidak lurus, seperti yang diharapkan secara ilmiah. Sistem merit itu idealnya menjaga dan melaksanakan netralitas politik. Artinya, tidak ada kedekatan sistem birokrasi dengan politik.

Sementara yang terjadi, partai yang berkuasa berusaha menguasai sistem birokrasi pemerintah. Anggapan mereka bahwa partai politik yang "berkuasa—seperti sekarang dan ketika periode Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—semua aktivitas dan sistem birokrasi pemerintah diatur oleh keputusan politik partai politik yang berkuasa. Maka, sulit dihindari tata sistem hubungan  netralitas yang baik itu jika partai politik masih berpegang pada kekuasaan yang dimenangi itu.

Prinsip sistem merit bergantung pada sikap pemegang kekuasaan. Kalau pemegang kekuasaan itu pejabat politik, sulit dihindari untuk tidak dekat dengan politik.

Sebenarnya kedekatan yang membuat tidak netral itu tidak hanya dari unsur penekan politik, unsur penekan lain yang lebih hebat adalah ekonomi. Korupsi, gratifikasi, dan suap merupakan unsur penekan yang membuat pemegang kekuasaan kebijakan politik tidak netral. Kasus ditangkapnya pejabat politik dari partai politik yang menjabat kepala daerah—gubernur dan bupati/wali kota—tidak ada lain karena unsur kedekatan politik dan perekonomian.  Unsur  penekan lain yang dianggap lebih halus pengaruhnya adalah unsur keluarga, etnis, dan agama. Jika unsur-unsur penekan ini dijauhi, pembuat kebijakan bisa menjalankan sistem merit dengan baik.

Selain itu, dalam sistem merit yang diatur di UU Merit System Protecting Board di AS ada ketentuan bahwa semua pejabat yang berasal dari partai politik yang memenangi pemilu harus meninggalkan identitas partainya kalau memerintah birokrasi pemerintah. Semua pejabat itu disebut pejabat negara, bukan pejabat politik. Dengan demikian, di dalam kabinet presidensial, para menteri, walaupun ditunjuk dari partai pendukung, tak boleh membawa identitas partainya.

Jadi, tidak seperti di Indonesia, semenjak pemilu melahirkan kabinet SBY dan Jokowi, identitas partai—seperti warna partai—dipakai melekat pada dasi presiden dan menterinya. Alhasil, rakyat sekarang bisa bertanya: presiden kita ini presidennya rakyat Indonesia atau presidennya rakyat partai politik yang berkuasa. Sayang sekali ayat konstitusi RI sudah mengalami penafsiran yang jauh dari yang dahulu dimaksudkan oleh para pendahulu kita.

Pejabat pembina ASN

Dalam UU ASN ditetapkan bahwa pejabat pembina karier ASN adalah presiden, dan presiden dapat mendelegasikan kewenangannya itu kepada menteri dan kepala daerah. Pejabat-pejabat itu adalah asalnya dari partai politik yang memerintah.

Bagaimana mungkin ASN bisa diperlakukan mempergunakan prinsip netralitas sistem merit kalau yang menentukan  perkembangan kariernya adalah pejabat partai politik. Boleh jadi dalam menyeleksi calon dibentuk tim seleksi yang profesional dan netral. Akan tetapi, hasil tim seleksi yang diajukan kepada pejabat pembina karier biasanya ada tiga calon yang memungkinkan sang pembina menentukan calon yang dekat dengan dia. Mengapa tidak diajukan satu calon saja supaya pejabat pembina tidak memiliki alternatif untuk memilih calon terkait dengan aspek kedekatan.

Saya pernah mengusulkan agar pejabat pembina itu adalah pejabat karier ASN, seperti sekretaris jenderal di kementerian atau sekretaris daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sayang usulan itu ditolak oleh partai politik di DPR, maka yang dihasilkan adalah seperti yang tertera dalam UU ASN sekarang ini. Karena itu, untuk mewujudkan sistem merit yang konsekuen dan sistem netralitas yang tidak ditekan oleh kekuatan-kekuatan penekan politik, ekonomi, agama, etnis, keluarga, dan lain-lain, UU No 5/2014 tentang ASN perlu direvisi.

Pada masa yang akan datang, ada baiknya  dipikirkan perubahan tata kelola kewenangan ASN dan bisa juga dipergunakan menjalin hubungan antara politik dan birokrasi pemerintah menuju tata pemerintahan yang baik. Selain itu, kedudukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) yang selalu berwenang mengurusi sistem administrasi negara dan sumber daya ASN diusulkan hanya berwenang menata sistem administrasi negara. Adapun kewenangan pengelolaan sumber daya aparatur negara menjadi kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Selama ini Kementerian PAN-RB dijabat oleh menteri yang berasal dari partai politik. Agar kewenangan pengelolaan aparatur negara tidak berdekatan dengan politik, maka—sesuai dengan sistem merit—diserahkan ke KASN. Kementerian PAN-RB berubah namanya menjadi Kementerian Administrasi Negara, yang berwenang menetapkan ketentuan pengelolaan sistem administrasi negara yang melahirkan dan melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola sistem pemerintahan yang baik. Sebagai perbandingan, perlu dipelajari dan  dilihat praktik sistem Kementerian Administrasi Negara di Italia  yang dulu dipimpin oleh Dr Mario Beggini.

Beberapa model hubungan birokrasi dan politik

Dalam literatur ilmu administrasi publik terdapat beberapa model yang dipergunakan untuk menjalin tata hubungan antara birokrasi pemerintah dan partai politik yang memerintah. Model-model itu antara lain model birokrasi Hegelian yang mengatur hubungan antara kelompok partikular (bisa partai politik)  dan kelompok general (penguasa atau pemerintah).

Dalam hubungan dengan teori administrasi publik, kelompok general itu pemerintah yang memimpin kelompok partikular (semisal partai politik). Lembaga birokrasi diletakkan oleh Hegel sebagai jembatan yang menghubungkan antara kelompok general pemerintah dan kelompok partikular rakyat atau partai politik. Dengan kata lain, lembaga birokrasi berada pada posisi netral dari kelompok yang memerintah dan kelompok yang diperintah. Namun, lembaga birokrasi yang netral ini bukan berada dalam pengaruh wewenang politik penguasa, melainkan sebagai jembatan yang menyalurkan kebijakan politik ke partai politik atau rakyat dan menyalurkan aspirasi dari rakyat atau partai politik ke penguasa atau pemerintah.

Ada juga model birokrasi Marxis. Model ini berbeda dengan Hegel karena, menurut Karl Marx, pemerintah atau penguasa itu hakikatnya adalah kelompok partikular yang memenangi suara merebut kekuasaan. Oleh karena itu, lembaga birokrasi harus memihak kepada penguasa atau pemerintah.

Model executive ascendency. Model ini sama dengan model Marxis bahwa birokrasi memihak penguasa yang memerintah. Birokrasi bisa berubah gaya dan perilakunya bergantung gaya politik penguasa yang memerintah.

Model bureaucratic subblation. Di sini lembaga birokrasi diletakkan pada posisi co equality with executive; kewenangan lembaga birokrasi sama dengan kedudukan partai yang memerintah, bukan jadi onderbow atau patron- klien politik, tetapi kedudukan sederajat dan tidak bisa tidak dipecat, dipindah atau tidak disukai politik penguasa. Kedudukan sederajat ini diatur oleh UU. Kesamaan kedudukan ini yang belum pernah ada, kiranya perlu ada UU-nya atau bisa memperkuat merevisi dan memperkuat UU ASN.

Pemilu dan pilkada adalah suatu kegiatan yang rutin setiap lima tahun sekali pasti datang. Karena itu, perlu ditata dan diatur sebaik mungkin hubungan politik yang dilakukan parpol dan lembaga birokrasi pemerintah yang sistematis. Birokrasi pemerintah pada era tahun politik pilkada serentak dan pemilu presiden, kalau tak diikuti dengan per- aturan yang mengatur hubungan baik politik dan birokrasi, akan senantiasa membawa persoalan bagi karier dan sistem ASN.

Karena itu, perlu diterapkan sistem merit secara konsekuen, yang bisa menjadi jarak antara partai politik (terutama yang memerintah) dan ASN. Selanjutnya, melakukan revisi UU No 5/2014 tentang ASN, khususnya tentang kedudukan pejabat pembina karier ASN dan usulan tim seleksi calon yang bakal menjadi pejabat ASN dalam birokrasi pemerintah.

Setelah itu, perlu dipikirkan kewenangan pengelolaan sumber daya ASN dan kewenangan Kementerian PAN-RB yang dikhususkan nantinya hanya menangani sistem administrasi publik. Adapun ASN kewenangannya dilimpahkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara. Dari model-model  di atas, yang sesuai dengan aplikasi sistem merit kiranya model bureaucratic subblation. dapat dipertimbangkan.