ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS

Harga daging di Pasar Senen, Jakarta Pusat, seusai Lebaran ini mulai turun dibandingkan saat masa Lebaran. Pada hari Senin (2/7/2018), harga daging sapi Rp 120.000 per kg. Saat Lebaran, harga daging mencapai Rp140.000 saat per kg.

Ramadhan dan Idul Fitri baru saja berlalu, dengan segala daya dan upayanya yang telah dilakukan pemerintah, ternyata harga daging tidak bergejolak.

Terkait dengan hal ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memberikan apresiasi dan penghargaan kepada asosiasi peternak penggemukan dan distributor daging karena telah membantu pemerintah menstabilkan harga. Akan tetapi, keinginan menurunkan harga daging sapi hingga kini tidak pernah terwujud, harga daging sapi masih tetap stabil tinggi.

Pada periode Ramadhan tahun ini terjadi kegiatan di luar dugaan. Pemerintah tidak lagi menggelontorkan daging impor beku dari India ke pasar tradisional. Berbeda dengan tahun lalu, di mana pasar tradisional dibanjiri dengan daging asal India dengan berbagai merek. Padahal, sebelum Ramadhan, pernyataan pemerintah cukup gencar mengenai upaya importasi 100.000 ton daging asal India untuk memenuhi kebutuhan Lebaran.

Dampaknya, permintaan akan sapi lokal dan sapi-sapi hasil penggemukan impor tahun ini melonjak tajam. Di beberapa rumah pemotongan hewan (RPH) bahkan terjadi peningkatan mencapai 100 persen dibandingkan tahun lalu. Harga daging eceran yang semula diprediksi menurun ternyata malah meningkat menjadi berkisar Rp 120.000-Rp 140.000 per kilogram.

Berdasarkan fenomena yang terjadi selama ini, sudah dapat diduga bahwa harga daging sapi akan tetap berada di posisi yang relatif tinggi. Pada peristiwa Ramadhan dan Idul Fitri, sesungguhnya kenaikan harga yang terjadi hanya sesaat. Namun, momen ini banyak dimanfaatkan oleh para pedagang dan juga para pemburu rente sebagai peristiwa rutin tahunan yang mampu menciptakan keuntungan usaha.

Dalam kaitannya dengan upaya pengendalian harga daging, yang perlu diperhatikan adalah proses ketersediaannya di RPH yang selama ini luput dari pengamatan. Dari catatan penulis (2003), hanya 5 persen RPH pemerintah yang layak berada di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Selebihnya, pada kondisi kurang layak sebagai RPH berdasarkan standar SNI.

Kondisi ini yang menyebabkan tidak tercatatnya jumlah pemotongan hewan secara akurat, kualitas daging yang rendah, dan tidak efisiennya proses pemotongan yang menyebabkan biaya tinggi.

Harga yang terbentuk pada kasus ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, faktor psikologis permintaan yang serempak dilakukan pada momen yang bersamaan. Berapa pun jumlah barang yang disediakan dengan infrastruktur yang ada seperti saat ini, dipastikan berlaku hukum permintaan dan penawaran, di mana pada akhirnya akan menentukan tinggi rendahnya harga.

Kedua, faktor infrastruktur RPH dan pasar tradisional sebagai sarana penyedia daging segar. Infrastruktur yang ada selama ini tidak diberdayakan oleh pemerintah dalam hal fungsi dan perannya. Maka, akan tetap terjadi permintaan komoditas daging segar yang berlebihan karena preferensinya, sedangkan jeroan, kaki, kepala, dan lemak tidak laku terjual.

Akibatnya, kerugian karena tidak lakunya jeroan, kaki, kepala, dan lemak secara otomatis akan dibebankan pada harga daging.

Pendekatan sosiologis dan rasio impor

Dalam mengatasi tingginya harga daging, kebijakan pemerintah selama ini hanya menyentuh aspek teknis dan ekonomis mengenai ketersediaan daging beku dan sapi hidup impor. Pemerintah tidak pernah melakukan pendekatan sosiologis, yang justru sangat penting pada kasus ini.

Akibatnya, kebijakan importasi daging beku asal India yang ditujukan agar harga daging maksimum Rp 80.000 per kilogram tidak efektif karena faktanya harga daging eks impor ini malah bergerak naik menjadi sekitar Rp 100.000-an per kilogram.

Selain itu, dalam dua tahun terakhir ini pemerintah telah melahirkan berbagai kebijakan yang kontraproduktif sehingga dampaknya telah menjadikan iklim usaha peternakan sapi potong menjadi tidak kondusif.

Banyak perusahaan feedlot tidak berproduksi sesuai dengan rencana bisnisnya. Bahkan, sekitar tujuh perusahaan feedlot sudah tidak lagi melakukan impor sapi bakalan.

Peternak rakyat pun tidak mampu lagi memasok sapinya ke RPH, terutama di sekitar Jabodetabek. Kontribusinya merosot hingga sekitar 50 persen karena pangsa pasarnya diintervensi oleh daging kerbau impor asal India.

Pemerintah hendaknya melakukan pendekatan sosiologis dengan menggunakan konsep "rasio impor" antara daging, sapi bakalan, dan produksi sapi di dalam negeri. Perilaku konsumsi masyarakat akan daging segar perlu diubah secara bertahap untuk mengonsumsi daging beku. Konsekuensi logisnya, akan terjadi perubahan rantai nilainya, dari rantai panas (hot chain) menjadi rantai dingin (cold chain).

Pendekatan sosiologis ini harus menjadi pertimbangan utama yang dilakukan secara masif. Selain itu, usaha peternakan rakyat juga harus tetap dijadikan sasaran utama dalam peningkatan produksi dan pendapatannya.

Selanjutnya, kebijakan impor daging dan sapi hanya sebagai substitusinya (Soehadji, 1996). Pada prinsipnya, kebijakan impor harus mampu memproteksi dan mengembangkan usaha peternakan sapi domestik, bukan sebaliknya.

Fokus penyediaan daging sapi di dalam negeri dapat dilakukan dengan menggunakan konsep rasio impor guna merangsang pertumbuhan sapi domestik. Konsep ini harus secara bersamaan melakukan pembinaan terhadap sistem logistik dan pemberdayaan infrastruktur RPH sebagai konsekuensi dari perubahan rantai nilainya menjadi rantai dingin.

Jadikan fungsi RPH sebagai industri pengolahan daging sehingga produknya dapat dikendalikan dan menguntungkan. Kebijakan ini tentu sangat kondusif sebab akan mampu meningkatkan produksi, produktivitas, dan pendapatan peternak sapi.