KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Kendaraan melaju  di Tol Cipali, Kabupaten Subang, Jawa Barat (18/6/2018).  

Harian Kompas pada 19 dan 20 Juni 2018 menerbitkan liputannya tentang perlunya penataan ulang ekonomi jalur bukan tol (non-tol) di Jawa.

Hal ini terkait dengan perubahan rute jalan tol yang tidak lagi langsung melayani kegiatan ekonomi sepanjang kiri-kanan jalan tol, disebut sebagai l'effet de tunnel, demikian juga dalam jalan non-tol. Situasi ini telah dialami oleh Jagorawi.

Jalan tol ini mematikan atau melemahkan kegiatan ekonomi dalam dua jalur jalan lewat Cibinong maupun lewat Parung. Pengalaman paling dekat ialah efek pembukaan jalan tol Jakarta-Bandung yang terkenal dengan nama Cipularang. Cipularang mematikan banyak usaha dalam jalur Jakarta-Bandung melalui Puncak yang dulunya amat padat, dan kiri-kanan tol tidak dapat masuk.

Perubahan konfigurasi

Dalam ekonomi ruang, sistem jaringan jalan dengan kecepatan tinggi (dan prasarana transportasi pada umumnya) akan mengubah lokasi pusat-pusat kegiatan yang bermuara pada perubahan jaringan kota-kota dalam wilayah terkait.

Perubahan waktu tempuh pada jalan-jalan antarkota mengubah konfigurasi dimensi kota-kotanya mengarah pada pembentukan sistem kota baru yang lebih efisien. Ini adalah perubahan konfigurasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, yang dalam prosesnya merupakan disrupsi ekonomi, saat ini dikenal diakibatkan oleh sistem digital. Yang menjadi masalah, apakah disrupsi ruang ini tidak dapat dihindarkan?

Kota-kota yang menjadi obyek liputan Kompas adalah sebagian daerah di pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa. Pembukaan jalan tol antara Purwakarta dan Cirebon telah mematikan atau mengurangi volume kegiatan ekonomi di jalan lama, analog dengan Jalan Tol Cipularang.

Terjadi perubahan konfigurasi kegiatan ekonomi akibat perubahan konfigurasi prasarana jaringan jalan. Konfigurasi jaringan jalan diartikan komposisi jaringan jalan tol, nasional, provinsi, dan lokal serta interkoneksinya. Jaringan jalan tol berpengaruh besar sebab terjadi pengurangan signifikan waktu tempuh antardua kota yang dihubungkan oleh jalan tol tersebut.

Jalan tol mempunyai efek terowongan, di mana jalan itu seolah-oleh tertutup pada kegiatan yang dilaluinya, tetapi menutup akses pada kegiatan pada jalan-jalan lama. Akan tetapi, jalan tol bertindak sebagai penyingkat waktu tempuh antardua kota yang terletak di ujung-ujungnya.

Dalam hal ini, jalan tol seyogianya menjadi kerangka jaringan jalan dengan kecepatan tinggi di dalamnya, sedangkan jaringan jalan dengan hierarki lebih rendah menjadi kerangka jaringan jalan dengan kecepatan lebih rendah, yang bersifat pengumpul bagi arus barang dan arus orang. Dalam hal ini, integrasi semua hierarki jaringan jalan diarahkan untuk mencapai efektivitas ekonomi keseluruhan, baik operasional maupun pertumbuhan ekonomi.

Sumber masalah

Dengan demikian, masalahnya terletak pada perencanaan sistem jaringan jalan. Sistem jaringan jalan secara bersama hendaknya membentuk jaringan laba-laba atau grid system sehingga interkoneksi antartempat dalam wilayah pelayanan mendukung efektivitas aliran orang dan barang bagi efisiensi ekonomi.

Ini hendaknya menjadi pertimbangan perencanaan tata ruang, yang mencakup jaringan prasarana. Sebenarnya hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Tata Ruang (UUTR), tetapi pelaksanaan UUTR kelihatannya kurang mempertimbangkan dengan saksama aspek ekonominya yang dipengaruhi oleh jaringan jalan secara keseluruhan.

Salah satu yang perlu diketahui dari konfigurasi jaringan jalan ialah perbandingan panjang jalan menurut hierarki jaringan jalan bersangkutan atau keseluruhan. Perbandingan antara jalan (tol + nasional) dengan jalan provinsi dengan jalan kabupaten/lokal ialah 1:1:8, di mana intensitas jaringan jalan total ialah 0,23 kilometer per kilometer persegi. Proporsi itu tak sehat.

Ini jauh berbeda dengan Jepang, di mana perbandingan antar hierarki itu adalah 1:2:16 dengan intensitas jalan adalah 3 kilometer per kilometer persegi. Filipina mempunyai perbandingan sebesar 1:3:9,5 dengan intensitas jaringan jalan 0,72 kilometer, jauh di atas Indonesia.

Dari struktur jaringan jalan, Indonesia masih jauh dari bentuk grid system. Jepang, India, Jerman, dan lain-lain menunjukkan bentuk dasar jaringan grid sehingga interkoneksi antartempat jauh lebih baik di bandingkan Indonesia. Bentuk ini menyebabkan hubungan antarlokasi produksi dan konsumen pada jaringan jalan tidak efisien.

Demikianlah hubungan antara jaringan jalan tol dan jalan non-tol kurang serasi, sebab jalan non-tol seolah-olah tidak menyatu dengan jaringan jalan tol. Jepang sebagai negara kepulauan mempunyai jaringan jalan grid system, di mana jaringan jalan hierarki tertinggi yang mencakup jalan tol terhubung dengan sistem jaringan jalan hierarki lebih rendah.

Sistem jaringan jalan laba-laba juga dituntut ada di dalam kota sehingga meningkatkan interkoneksi antarzona sehingga mengurangi kemacetan. Analog dengan kurangnya intensitas jaringan jalan nasional di atas, luas permukaan jaringan jalan di DKI Jakarta hanya sekitar 6,5 persen dari luas DKI.

Kota Singapura mempunyai luas permukaan jalan 12 persen dari luas kota walaupun telah ada sistem kuota pemilikan kendaraan. Untuk Paris angkanya 20 persen dan Washington 23 persen. Demikianlah perencanaan sistem jaringan jalan di Indonesia, baik dalam kota maupun secara nasional, masih perlu diperbaiki untuk memenuhi berbagai tuntutan integrasi dan pertumbuhan ekonomi.