KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko Widodo dan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim (kedua kanan) saat meninjau Posyandu Kenanga 2 yang dilaksanakan di Halaman SDN Tangkil 1, desa Tangkil, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Rabu (4/7/2018). dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo memperlihatkan berbagai cara yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi stunting di seluruh Indonesia. 

Kunjungan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim menggaet topik utama stunting di desa. Kerja sama negara dan donor difokuskan guna mengurangi anak bertubuh pendek, terutama di kalangan keluarga miskin di desa.

Alpa gizi buruk anak Indonesia berlangsung terlalu lama, sampai stunting menjadi puncak dampaknya. Pada 2010 sebanyak 36 persen anak-anak berbadan rendah. Jumlahnya meningkat menjadi 37 persen pada 2013, lalu turun ke kisaran 29 persen pada kurun 2014-2017. Ini jumlah yang masih besar, dari setiap 10 anak ditemui tiga berbadan pendek, atau berjumlah 7 juta anak.

Wajah anak pendek

Pada abad ke-17 Raja Yogyakarta bertitah menyisir orang bertubuh pendek di desa. Kelainan itu dinilai sebagai jalan pintas berhubungan dengan Ilahi. Maka, tugas orang berbadan pendek mendahului jejak langkah raja agar mengabarkan keilahian takhta kepada rakyat.

Transisi menuju makna peyoratif terselip di sekelumit pidato Presiden Soeharto yang kerap ditimpali tepukan tangan anggota DPR sejak 1980-an, yaitu laporan kenaikan beberapa sentimeter rata-rata tinggi anak Indonesia. Problem anak bertubuh pendek baru diterima radar laporan kesehatan tahun 2000-an. Akhirnya, stunting dideklarasikan sebagai persoalan akbar sejak 2017.

Kementerian di pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah beserta donor mempercanggih program penanganan stunting. Sayang, kegiatan itu tidak efektif, teruji awal tahun ini anak pendek justru bertambah 2 persen.

Rupanya, sofistifikasi program kehilangan wajah pemanfaatnya. Angka stunting selama ini lahir dari survei, bukan sensus. Akibatnya, diketahui prevalensi nasional dan daerah, tetapi mustahil menemukan rumah penderita. Padahal, tanpa bank data anak stunting, implementasi program rentan melenceng ketimbang menyasar pemanfaat.

Perluasan cakupan informasi diupayakan bertingkat dari pelaporan kader posyandu, bidan desa, hingga puskesmas di kecamatan. Namun, ini pun terbatas mendata anak pendek yang kebetulan ditemui selama kegiatan bulanan posyandu atau sakit di tempat praktik bidan ataupun puskesmas.

Sesungguhnya, jangkauan informasi menyeluruh hanya bisa dipetik melalui sensus ke seluruh rumah tangga. Sayang, ini tidak kunjung dilaksanakan. Alasannya, pengelola sensus nasional tidak mampu menjalankan sendirian. Kuesioner dipandang kompleks, butuh biaya mahal, dan memerlukan bidan atau tenaga medis guna mengecek gizi anak satu per satu di lapangan.

Alasan teknis itu tidak fondasional. Millennium Challenge Account Indonesia telah merumuskan kuesioner stunting, mengajak bidan desa dan pegawai puskesmas, lalu menjalankan sensus pada 100 desa. Waktu sensus hanya dua minggu di desa di Jawa, hingga delapan minggu di desa terpencil di luar Jawa. Sensus menemukan rumah penderita stunting, lantas memetakannya di Google map, guna menyodorkan sosok pendek bersama alamatnya bagi publik.

Memutus masalah gizi

Jamak dipahami pangkal stunting lantaran kemiskinan menahun, gaya hidup tidak sehat, dan pengasuhan (parenting) yang sekadar menyisakan remah bagi anak. Anehnya, gizi akut-kronis anak tetap berdiam di 32 provinsi dan 452 kabupaten.

Hasrat penghapusan stunting di desa mesti dijalankan melalui dua tahapan, yaitu menyusun basis data alamat penderita, kemudian menanganinya secara kolaboratif.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bersama Unicef berpengalaman menyensus rumah tangga untuk Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM). Pendamping desa melatih pegiat dari dalam desa, adakalanya perangkat desa, guna mendata segi sosial dan ekonomi warga. Laiknya pendekatan partisipatif, enumerator dari dalam desa menyuburkan validitas data. Selanjutnya, konfirmasi hasilnya dalam musyawarah desa menjaga obyektivitas hasil.

Pengalaman lapangan di enam kabupaten layak diperluas ke seluruh 74.954 desa. Sebanyak 40.000 pendamping desa, bisa ditambah 40.000 tenaga kesejahteraan sosial dari Kementerian Sosial, dapat ditugasi 2-8 minggu mendata gizi warga desa. Cakupan informasi mencakup 67 juta rumah tangga, di mana 22 juta anggotanya tergolong balita.

Sebanyak 164.000 bidan dan 800.000 perangkat desa harus membantu melaksanakan sensus stunting.

Untuk mengurangi biaya pencetakan Rp 80 miliar, kuesioner disusun sebagai aplikasi telepon pintar, yang digunakan secara daring maupun kalis internet. Ini sekaligus memusnahkan biaya input dan pengolahan data. Bahkan, tiap asupan data otomatis menjelma menjadi informasi masalah gizi diikuti rekomendasi penyelesaiannya.

Data nama, alamat, dan status gizi anak dikompilasi pada http://datstunt.kemendesa.go.id. Basis data dimanfaatkan pendamping desa kala memprioritaskan rumah tangga penderita stunting dalam program kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Mereka menjadi pekerja padat karya desa, penerima kartu Indonesia sehat dan pintar.

Sampai Juni 2018 telah tersalur Rp 528 miliar dana desa di prioritas 1.000 desa stunting. Itu menyerap 2.056.119 hari orang kerja (HOK) lalu menghasilkan upah kerja Rp 376 miliar. Peningkatan pendapatan keluarga penderita stunting diarahkan untuk mengakses layanan sosial dasar. Sampai di sini persoalan stunting di desa diatasi.