Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki kuantitas sumber daya manusia sangat besar. Menurut Badan Pusat Statistik, penduduk Indonesia pada tahun 2010 berjumlah 238,5 juta dan diproyeksikan pada tahun 2035 menjadi 305,6 juta.

Besarnya jumlah penduduk tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pertumbuhan penduduk terbesar keempat di dunia. Salah satu modal dasar pembangunan adalah jumlah penduduk yang besar, dan Indonesia memiliki modal tersebut.

Seiring dengan perkembangan teknologi modern dan tuntutan zaman, kompetensi dan profesionalisme sumber daya manusia (SDM) menjadi sangat penting. Kemampuan seseorang dalam melakukan tugas atau pekerjaan secara kompeten dan profesional inilah yang dapat dijadikan tolok ukur untuk mengukur kinerja dan atau tingkat keberhasilan suatu organisasi atau unit usaha.

Sertifikasi kompetensi merupakan salah satu sarana bantu untuk menyatakan seseorang kompeten dan profesional di bidangnya. Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja, baik yang bersifat nasional maupun internasional.

Keluaran dari sertifikasi kompetensi adalah sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi diberikan berdasarkan kompetensi seseorang yang merupakan spesifikasi dari sikap, pengetahuan, keterampilan atau keahlian, dan penerapannya dalam melakukan pekerjaannya secara efektif dan efisien sesuai standar yang dipersyaratkan sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan tepat mutu, tepat waktu, dan aman.

Dengan memiliki sertifikat kompetensi suatu bidang pekerjaan, seseorang akan mendapatkan bukti pengakuan tertulis atas kompetensi yang dikuasainya berupa sertifikat kompetensi.

Dalam tataran regulasi, Indonesia memiliki sejumlah undang-undang (UU) yang mengatur tentang sertifikasi kompetensi. UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, UU No 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, UU No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dan masih banyak peraturan perundang-undangan lain.

Namun, terkait informasi geospasial, terdapat dua peraturan perundang-undangan yang secara umum mengatur tentang sertifikasi kompetensi, yakni UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Adanya dua UU yang mengatur sertifikasi kompetensi tentu berpotensi menimbulkan disharmoni dalam impelementasinya.

Meski banyak peraturan yang bersifat lex specialist yang mengatur tentang sertifikasi kompetensi SDM di Indonesia, secara umum terdapat dua UU yang memiliki irisan dalam pelaksanaan sertifikasi kompetensi SDM di Indonesia. Kedua UU itu adalah UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

Implikasi adanya dua UU ini adalah terdapat dua pengaturan terkait implementasi dalam tataran lembaga penilaian kesesuaian di mana salah satunya melingkupi lembaga sertifikasi profesinya.

UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanahkan bahwa sertifikasi profesi dilaksanakan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau lembaga sertifikasi profesi (baca: lembaga sertifikasi kompetensi) yang telah memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

Adapun UU No 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian mengamanahkan lembaga penilaian kesesuaian (baca: lembaga sertifikasi kompetensi) untuk diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. Konsekuensi dari adanya dua pengaturan ini adalah lembaga sertifikasi kompetensi wajib memperoleh akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional dan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

Belum lagi pengaturan lain yang bersifat lebih khusus, seperti UU No 4 Tahun 2011 yang mengamanahkan Badan Informasi Geospasial untuk melaksanakan akreditasi terhadap lembaga sertifikasi kompetensi.

Problem implementasi

Beragamnya pengaturan terkait sertifikasi kompetensi kemudian mengakibatkan ketidakpaduannya pelaksanaan sertifikasi kompetensi di tataran implementasi. Salah satu masalah yang muncul adalah besarnya biaya sertifikasi kompetensi.

Agar bisa mengeluarkan sertifikat yang diakui baik secara nasional maupun internasional, lembaga sertifikasi kompetensi paling sedikit harus mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional atau lembaga akreditasi internasional lainnya.

Meski pelaksanaan akreditasi dan pemberian lisensi menggunakan standar acuan yang sama, yaitu SNI ISO/IEC 17024 tentang Penilaian Kesesuaian-Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Profesi, tetapi karena dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda menjadikan terdapat konsekuensi membengkaknya biaya yang harus ditanggung di tataran implementasi.

Akibatnya, dengan dasar, salah satunya, untuk menekan harga, lembaga sertifikasi kompetensi akhirnya harus memilih di antara akreditasi dan pemberian lisensi. Konsekuensinya adalah muncul potensi tidak diakuinya sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi. Akan ada sertifikat kompetensi yang hanya diakui secara internasional, tetapi tidak diakui secara nasional. Begitu pun sebaliknya, diakui secara nasional, tetapi tidak diakui secara internasional.

Kalaupun ingin melaksanakan akreditasi dan pemberian lisensi, lembaga sertifikasi kompetensi harus menanggung biaya yang cukup besar yang ujung-ujungnya juga ditanggung oleh pemohon sertifikat kompetensi. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat kompetensi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan tentu menjadi ancaman untuk penyiapan SDM dalam negeri dalam menghadapi pasar bebas.

Perbedaan pengaturan sertifikasi kompetensi ini tentu perlu disikapi secara bijak sehingga tidak memberatkan dalam sisi implementasi. Badan Nasional Sertifikasi Profesi sesuai tugas dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2004 dapat diartikan sebagai lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk negara untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja di Indonesia.

Sebagai lembaga sertifikasi profesi, sesuai dengan UU No 20 Tahun 2014, Badan Nasional Sertifikasi Profesi juga perlu diakreditasi agar sertifikat yang dikeluarkan, baik oleh lembaga tersebut maupun lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi, diakui di dunia internasional. Pelaksanaan akreditasi dapat dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional sesuai dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian atau lembaga akreditasi lain yang diakui secara internasional.

Kolaborasi

Solusi lain yang dapat dilakukan untuk mengakomodasi dua peraturan perundang-undangan ini adalah adanya kolaborasi antara Komite Akreditasi Nasional dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Dua lembaga ini pada dasarnya memiliki kesamaan dalam acuan pelaksanaan baik akreditasi maupun pemberian lisensi. Baik Komite Akreditasi Nasional maupun Badan Nasional Sertifikasi Profesi dalam melaksanakan tugasnya mengacu pada standar SNI ISO/IEC 17024 tentang Penilaian Kesesuaian-Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Profesi. Kesamaan dalam dasar hukum pelaksanaan tugas ini seharusnya jadi pijakan awal kolaborasi dua lembaga ini.

Kolaborasi pelaksanaan akreditasi dan pemberian lisensi, meski secara prinsip terdapat perbedaan, tak tertutup kemungkinan untuk digabungkan sehingga lembaga sertifikasi profesi cukup mengikuti satu tahapan saja, tetapi mendapatkan dua keluaran, yaitu sertifikat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional dan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

Simplifikasi birokrasi ini akan memudahkan lembaga sertifikasi profesi dalam mendukung pelaksanaan tugasnya sekaligus akan menekan biaya sertifikasi kompetensi itu sendiri serta tidak akan menyulitkan pemohon sertifikat kompetensi di kemudian hari. Pemohon sertifikat kompetensi pun akan mendapatkan keuntungan dengan memperoleh sertifikat kompetensi yang dikeluarkan lembaga sertifikasi kompetensi yang legal dan diakui secara internasional.

Hasil harmonisasi ini juga akan menimbulkan aura positif dalam pelaksanaan sertifikasi kompetensi di Indonesia sehingga sumber daya manusia di Indonesia akan semakin siap dalam bersaing di pasar bebas.

Sertifikat kompetensi yang berlaku secara internasional tentu menjadi harga mati untuk masuk dalam pasar internasional sekaligus menjadi alat seleksi tenaga kerja asing yang akan bekerja di negara ini. Mengingat pentingnya posisi sertifikat kompetensi ini, jelas diperlukan terobosan cerdas agar pelaksanaan sertifikasi kompetensi berjalan dengan cepat, terjangkau, tetapi tetap terjaga kualitasnya.