TOTO SIHONO

Pilkada

Pada 27 Juni lalu telah dilangsungkan pilkada serentak di beberapa provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Hasilnya berhasil memvalidasi perkiraan beberapa lembaga survei  terhadap kemenangan pasangan kandidat, tetapi terjadi pula beberapa kejutan.

Rivalitas yang ketat terjadi dalam pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Para pasangan calon "pesaing" bertarung ketat dengan pasangan calon unggulan sampai saat-saat terakhir.

Wacana politik identitas tidak terlepas dari pilkada serentak yang baru diselenggarakan. Dari hasil survei yang dilakukan Kompas beberapa bulan lalu, isu-isu potensial Pilkada 2018 yang dipersepsikan muncul sebesar 68,3 persen adalah isu agama yang akan dipakai untuk menjatuhkan lawan; 11,7 persen isu-isu terkait dengan ras, etnis, suku; 11,2 persen terkait jender; dan 7,8 persen terkait latar belakang keluarga/keturunan.

Selain itu, kita juga boleh belajar dari Pilgub 2017, yang memperlihatkan polarisasi masyarakat terjadi karena manipulasi politik identitas. Rasionalitas pemilih akhirnya dikalahkan oleh "solidaritas" terhadap agama tertentu. Pada pilkada yang baru berlangsung sempat muncul juga faktor penyebab kekalahan seorang pasangan calon karena kemungkinan pengaruh "identitas". Misalnya di Sumatera Utara, Djarot Saiful Hidayat diisukan kalah karena permainan politik identitas.

Anomali

Terlepas dari polemik politik identitas dalam pilkada serentak, sebuah anomali justru terjadi di Pilgub Maluku. Fenomena di Maluku merupakan fenomena unik. Karena pengaruh kolonialisasi dan konflik Maluku 1999 yang berbasiskan agama, segregasi masyarakat terjadi. Masyarakat terpolarisasi menurut atribut agama. Pasca-konflik Maluku 1999, provinsi ini ibarat sebuah "laboratorium" dalam upaya menginisiasi perdamaian dan toleransi, suatu proses yang berkelanjutan sampai saat ini yang penuh tantangan.

Dari observasi Center for Strategic and International Studies (CSIS), pada Pilgub 2018 di Provinsi Maluku, ada tiga pasangan calon yang maju bertarung: Santun (Said Assagaff dan Andereas Rentanubun); Baileo (Murad Ismail dan Barnabas Orno), dan Hebat (Herman Koedoeboen dan Abdullah Vanath). Said adalah petahana Gubernur Maluku. Kecuali Murad yang merupakan eks petinggi Polri, semua pasangan yang maju pernah menjadi bupati di beberapa kabupaten di Maluku.

Identitas dan perimbangan

Pada masa kampanye beberapa atribut identitas mulai dimainkan. Atribut agama cenderung "dihindari" karena masyarakat trauma terhadap konflik Maluku 1999. Sejak pasca-konflik 1999 dan sebagai akibat dari Deklarasi Damai Malino 2002 yang mengakhiri konflik tersebut, ada konsensus informal bahwa "perimbangan" dari aspek agama Islam dan Kristen (cross religious pairing) harus terwakili dalam aspek birokrasi, termasuk dalam menentukan pasangan calon di pilkada.

Perimbangan dilihat sebagai benteng untuk melemahkan politisasi agama dalam pilkada. Perimbangan ini juga dianggap masuk akal melihat demografi Maluku, di mana ada proporsi yang relatif berimbang antara penduduk beragama Islam dan Kristen. Ketiga pasangan itu juga taat pada perimbangan tersebut.

Karena atribut agama ibarat sudah dimasukkan ke dalam "sangkar", yang cenderung dimainkan adalah atribut etnis dan wilayah. Ada dikotomi Alibaba (Arab-Tionghoa yang direpresentasikan Santun) yang distigmatisasi sebagai pendatang, melawan Alifuru atau penduduk asli Maluku yang direpresentasikan pasangan Baileo dan Hebat. Pasangan Hebat dianggap paling gencar memainkan isu etnis. Mereka melihat diri mereka sebagai representasi dari etnis Seram dan Maluku Tenggara; sebagai etnis-etnis mayoritas di Maluku, tetapi selama ini selalu marginal dari aspek ekonomi dan politik.

Rivalitas diprediksi akan terjadi antara pasangan Santun dan Hebat. Pasangan Baileo dengan Murad Ismail sebagai calon gubernur tidak diperhitungkan karena dianggap miskin dalam hal berpolitik dan urusan birokrasi. Selain itu diembuskan isu tidak menguntungkan jika memilih pemimpin yang eks anggota Polri melihat trauma konflik Maluku, di mana saat itu aparat keamanan dianggap tidak netral.

Meskipun tiga pasangan dilihat memainkan politik identitas, pasangan Baileo dianggap yang paling minim menggunakannya. Identitas ditonjolkan Baileo sebagai bentuk asal kewilayahan (dari Maluku) dan tidak dipakai untuk mengonstruksikan dikotomi mayoritas-minoritas. Slogan Baileo juga  menekankan pada aspek persatuan: "Maluku untuk Semua dan Maluku Bisa".

Setelah pemungutan suara dan dari hasil hitung cepat LSI, secara mengejutkan pasangan Baileo memenangi Pilgub Maluku 2018 dengan perolehan 40,2 persen suara, diikuti Santun (31,4 persen) dan Hebat (28,4 persen). Kemenangan Baileo menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis untuk tidak termakan lagi dengan isu politik identitas.

Pasangan Santun disinyalir kalah karena tidak menawarkan kebijakan inovatif. Masyarakat tidak merasa ada perubahan berarti pada era kepemimpinan Said Assagaff. Kekalahan Hebat diindikasikan sebagai akibat terlalu fokus pada politisasi identitas tanpa menawarkan program yang jelas.

Menariknya, di wilayah-wilayah asal pasangan Hebat—di mana populisme etnis dibangkitkan, seperti di Seram Bagian Barat dan Maluku Tenggara—pasangan ini justru mengalami kekalahan.

Adapun kemenangan Baileo dianggap sebagai akibat dari kemampuan mereka mengajak masyarakat untuk bersatu membangun Maluku. Slogan "Maluku untuk Semua" bisa mendatangkan efek psikologis buat masyarakat untuk mengubur trauma konflik berbasiskan identitas pada masa lalu yang telah mengakibatkan polarisasi di masyarakat.

Pasangan tersebut juga mengajak masyarakat untuk membuka lembaran baru, yakni Maluku bisa sejahtera kalau dibangun bersama secara lintas etnis, agama, dan kewilayahan.

Masyarakat juga secara kritis bisa menilai Murad Ismail, meskipun minim pengalaman secara politik, sekaligus "bersih dari dosa politik masa lalu". Artinya, masyarakat mulai bisa menilai pemimpin yang transparan dan akuntabel. Selain faktor-faktor tersebut, kearifan lokal masyarakat Maluku, Pela Gandong atau suatu ikatan kemasyarakatan yang berdasarkan kepentingan dan darah tanpa memperhitungkan identitas (suku, agama, dan etnis), diasumsikan membantu masyarakat bersikap kritis dalam memilih calon pemimpinnya.

Belum tren

Sebagai catatan penutup, menurunnya signifikansi politik identitas di Maluku belum bisa dijadikan sebuah tren untuk menggambarkan kondisi di seluruh wilayah di Indonesia yang mengadakan pilkada. Masih diperlukan observasi lanjutan untuk melihat bagaimana sebenarnya politisasi identitas menentukan kemenangan atau kekalahan para pasangan calon yang bertarung di pilkada. Yang jelas, politisasi identitas tetap merupakan sebuah ancaman dalam pilkada mendatang.

Untuk kasus di Maluku, sebagai suatu wilayah dengan berbagai atribut identitas sudah begitu embedded, dapat dijadikan sebagai contoh positif bahwa manipulasi politik identitas bisa "dilawan dan dilemahkan".

Selain itu, Maluku sebagai laboratorium yang secara kontinu dan penuh tantangan terus berusaha menginisiasi perdamaian dan toleransi dapat dijadikan contoh positif dalam upaya membangun "keindonesiaan", di mana heterogenitas atribut identitas, baik agama, suku, maupun etnis, dihargai dan mendapat tempat dalam konstruksi sosial politik, ekonomi, dan budaya di provinsi itu.