Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Badan Pengatur Jalan Tol berencana mengintegrasikan tarif tol Jalan Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road/JORR) yang naik dari Rp 9.500 menjadi Rp 15.000 untuk Golongan I. Tak cuma itu, ruas lainnya yang masuk dalam integrasi juga ikut naik, seperti ruas Kebon Jeruk-Penjaringan dan Jalan Tol Pondok Aren-Bintaro Viaduct-Ulujami yang sebelumnya Rp 3.000 bakal naik menjadi Rp 15.000.

Pemerintah beralasan perubahan harga itu bukan kenaikan tarif tol, melainkan integrasi tarif dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi sistem transaksi tol. Bahkan, beberapa waktu lalu, di berbagai media massa, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto mengatakan, dengan kebijakan baru ini justru menguntungkan pengguna jalur tol JORR.

Kebijakan ini dimasudkan pemerintah untuk membuat arus logistik lebih cepat dan murah saat melintasi JORR. Integrasi transaksi tol merupakan langkah menujumultilane free flow (MLFF) atau pembayaran tol tanpa berhenti dan itu kebijakan yang ditargetkan berlaku di semua ruas tol pada 2019.

Pernyataan yang disampaikan Arie wajar jika hanya dilihat dari satu aspek, yakni biaya distribusi. Sebab, sebelum tol terintegrasi, proyek JORR dibangun oleh operator yang berbeda-beda dan kinerjanya juga sangat tergantung dari kekuatan finansial perusahaan setiap operator. Wajar jika banyak kalangan pada lima tahun lalu menyebut proyek ini sebagai "jalan ora rampung-rampung".

Pro dan kontra

Kini JORR sudah terintegrasi sehingga transaksi tol menjadi sistem terbuka. Namun, perubahan tarif yang signifikan ini justru menimbulkan pro dan kontra. Masyarakat menilai kenaikan itu tidak adil karena tidak diimbangi oleh keamanan, kenyamanan, dan keselamatan pengguna jalan tol.

Selain itu, kebijakan tersebut juga tidakfair karena terkesan hanya upaya untuk menggelembungkan pundi-pundi operator guna membuat buku mereka biru. Hasilnya kinerja perusahaan dianggap bluechipssehingga mendongkrak harga saham perusahaan operator di lantai bursa.

Kenaikan itu juga nyata belum diimbangi dengan perlindungan keselamatan pengguna jasa jalan tol. Masih segar dalam inggatan publik tragedi kematian pengemudi Toyota Calya, Saeful Mazizi, yang tewas akibat pelemparan batu sebesar kepala kerbau di jembatan penyeberangan orang saat akan mudik.

Bahkan, hanya berselang beberapa jam, mobil Toyota Avanza kembali menjadi korban teror batu dari jembatan penyeberangan orang. Beruntung pengendara tidak tewas, tetapi hanya mengalami luka dan kendaraan rusak. Belum lepas dari ingatan, kembali teror terjadi. Kali ini tepatnya pada 27 Juni 2018, kembali terjadi tragedi "teror batu"  di Tol Tangerang-Merak. Beruntung korban tidak meninggal, tetapi mengalami  luka-luka.

Jasa Marga dan kepolisian abai

Beberapa tragedi ini bisa dianggap bahwa PT Jasa Marga dan kepolisian abai soal keselamatan pengguna jalan tol sesuai dengan Undang-Undang Nomor Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 Ayat 1, tentang hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.

Mereka pengguna jalan berbayar, maka seharusnya dilindungi keselamatannya dari ulah pelaku teror saat melintas di  jalan layang ataupun jembatan penyeberangan orang di jalan tol. Mengantisipasi kejadian ini, seharusnya sejak awal PT Jasa Marga memasang pagar baja dan bukan lembaran pagar kawat baja yang terkesan seadanya, mudah dipotong dan berongga.

Selain itu, di jembatan penyeberangan orang dan jembatan layang banyak yang tidak dilengkapi dengan kamera pemantau (CCTV) yang memadai atau kalau ada rusak. Dengan demikian, tidak mampu mengantisipasi akan adanya rencana teror.

Tidak ada kegiatan patroli rutin dari kepolisian ataupun petugas keamanan PT Jasa Marga untuk mengusir masyarakat yang berhenti atau nongkrong di sepanjang jembatan layang dan jembatan penyeberangan orang. Padahal, kepentingan dan keberadaan mereka di sana tidak jelas dan melanggar aturan karena mengganggu kelancaran arus lalu lintas.

Perlindungan terhadap konsumen masih terasa marjinal meski para pelaku berhasil ditangkap kepolisian. Sampai sekarang masih saja di setiap jembatan penyeberangan orang tak seluruhnya dilengkapi CCTV, masih banyak orang nongkrong, dan tidak sedikit yang tidur di trotoar jembtan layang tol. Pengaman jembatan tetap saja hanya pagar kawat dan tidak bersih. Dengan demikian, wajar jika pengguna jalan tol tetap merasa waswas dan tidak nyaman. Mereka tetap khawatir teror sehingga reaksi kontra masyarakat akan perubahan tarif itu tetap kuat.

Harus dilakukan

Di sisi  lain, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan Kementerian PUPR tetap berkeyakinan tarif integrasi harus dilakukan. Kebijakan itu bertujuan tidak untuk menaikkan pendapatan operator. Kebijakan justru untuk efisiensi dan meningkatkan pelayanan bagi pengguna jalan tol. Kajian yang pernah dilakukan BPJT yang dikutip beberapa media, sistem pembayaran terintegrasi justru banyak menguntungkan masyarakat.

Sebab, sekitar 61 persen pengguna tol JORR jarak jauh sehingga dipastikan membayar lebih murah. Sementara jumlah pengguna jarak dekat lebih sedikit dan membayar lebih mahal, khususnya untuk Golongan I.

Jika tarif terintegrasi ini dianggap mahal, masyarakat tetap punya pilihan mengambil jalan alternatif arteri. Sebab, harus dakui konsumen pengguna tol jarak dekat akan membayar lebih mahal dari tarif sebelumnya. Namun, sebaliknya bagi kendaraan logistik akan jauh menjadi lebih murah sekitar 50 persen lebih. Hal ini jelas menguntungkan perekonomian nasional karena biaya logistik lebih murah sehingga harga jual produk bisa lebih murah.

KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI

Pagar kawat jembatan penyeberangan di atas Tol Jakarta-Cikampek yang terbuka, seperti yang terlihat pada Jumat (8/6/2018) sore. Lubang terbuka pada pagar diduga menjadi celah yang digunakan oleh pelaku untuk menjatuhkan batu dari atas jembatan.

Dua argumentasi

Argumentasi dua sisi ini tidak ada yang keliru. Masing-masing punya fakta dan data yang kuat soal kelemahan dan kelebihan serta kekuatan dan kelemahannya. Yang jelas bagi kebanyakan masyarakat riil penurunan biaya logistik dan online single submission (OSS) yang dibuat pemerintah tak serta-merta menurunkan harga barang. Harga jual komoditas tetap mahal di pasar konsumen ritel dan tidak ada kaitannya secara signifikan dengan penurunan tarif integrasi JORR.

Tinggal kearifan pemerintah untuk memilih jalan terbaik yang arif untuk masyarakat. Tahun ini hingga 2019 adalah tahun politik yang keras. Sekali membuat langkah kecil yang keliru ongkosnya akan mahal.

Rakyat melihatnya sederhana saja, sukses pengelola pemerintah ini bukan sekadar hanya dilihat dari kemajuan infrastruktur yang marak dibangun. Mereka tak sepenuhnya dapat ikut merasakan karena tidak semua orang dapat mengakses infrastruktur baru yang berbayar itu. Sebagian dari mereka hanya pengguna transportasi massal yang kini juga belum memadai dan murah.