Agama kini mengambil dimensi sosial yang massal. Pertandanya terlihat di dalam cara berpakaian, pemilihan bank, kadar beribadah, dan lain-lain. Hal ini bisa jadi melahirkan warga yang alim dan spiritual. Tetapi, bagaimana jika menjelma sebagai patologi sosial yang berujung pada terorisme, seperti terjadi baru-baru ini?

Pertanyaan di atas tidak perlu didramatisasi: patologi sosial agama berakar jauh di dalam sejarah. Sebab musababnya adalah multi-kompleks, tetapi salah satu penyebab utama ialah perombakan "dadakan" pada sistem pengetahuan, yang mengobrak-abrik warisan tafsir atas agama.

Dunia Barat "jatuh korban" pertama dari patologi sejenis ini, sedini abad ke-16 dan ke-17. Alkisah sebelum Gutenberg dan mesin cetaknya, Al-Kitab adalah naskah langka nan sakral yang tafsirannya dimonopoli oleh Gereja Katolik. Namun, begitu dicetak oleh Gutenberg (1439) dan kemudian diterjemahkan dalam ribuan eksemplar, tafsirnya menjadi individual dan pindah dari para rahib gereja ke segelintir tokoh reformis—kemudian disebut Protestan (Luther, Calvin, Zwingli)—yang belum bersandar pada kerangka institusional yang stabil. Akibatnya: ketika konflik muncul, elemen-elemen bernada "babad perang" yang ditemukan di Perjanjian Lama cenderung ditafsir secara harfiah; muncullah "penafsir fanatik" yang memupuk permusuhan terhadap kaum yang disebut heretik, "kafir", "papist", dan lain-lainnya. Alhasil Eropa diporak-porandakan oleh perang agama selama 100 tahun. Baru kemudian dari kejenuhan perang lahirlah relativisme pemikiran, yang bermuara pada gerakan Pencerahan abad ke-18 dan humanisme kontemporer.

Kemodernan kita menimbulkan jebakan serupa. Dalam tradisi Islam lama, Al Quran hadir sebagai naskah langka dan disucikan; ajaran agama yang dipetiknya merupakan tafsir lunak nan simbolis yang ditawarkan oleh elite ulama yang berkepentingan menjaga kestabilan sosial, seperti rahib terhadap tradisi Katolik. Di Indonesia pada khususnya, peran simbolisme diperkuat lagi oleh kehadiran wayang sebagai sarana penyebaran nilai agama. Di dalam kondisi seperti itu, tafsir harfiah, apalagi jihadis, sangat langka.

Namun, literasi yang menyertai modernisasi merombak keseimbangan tradisional ini. Di dalam waktu beberapa puluh tahun saja (1950-1980), mayoritas penduduk menjadi melek huruf, jadi dapat langsung mengakses kitab suci dan terjemahannya secara personal. Dampak fenomena ini jauh melampaui pengaruh para tokoh modernis Islam, seperti Abduh, Qutb, dan al-Banna. Al-hasil, seperti pada orang Nasrani abad ke-16, tafsir yang pertama muncul pada kaum melek-huruf yang baru ini adalah tafsir polos nan harfiah yang, menurut situasi, berkembang menjadi kesolehan biasa atau, jika diimbuhi faktor lain (pengaruh kaum radikal, medsos, konflik, dan lain-lain), melahirkan semangat untuk berjihad ria, seperti disaksikan di beberapa kalangan. Singkatnya, apabila kaum Kristen abad ke-16 merujuk pada perang melawan kaum Amorit zaman Ibrani Kuno untuk membenarkan perang agamanya melawan musuh Tuhan, kaum radikal/teroris merujuk pada perang zaman Nabi untuk membenarkan jihad masa kini. Sama-sama terjebak keharfiahan; sama-sama korban pengetahuan yang salah kaprah.

Jangan dikira patologi agama ini hanya menimpa kaum Nasrani dan Islam. Zionisme adalah gejala patologi sosial orang Yahudi yang meyakini mereka dijanjikan Tanah Suci oleh ayat Al-Kitab. Adapun di India, partai Bharatiya Janata Party (BJP) dan onderbouw radikal Hindu-nya, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), yang anti-Islam dan anti-Nasrani itu adalah produk dari tafsir miring terhadap sastra suci India klasik. Yang di situ kerap diangkat untuk membenarkan permusuhan adalah perjuangan dharma melawan adharma. Dan, bagaimana dengan agama Buddha, yang "Jalan Tengahnya" dapat ditumpangi dan dibalikkan menjadi wahana kebencian terhadap orang Rohingya di Myanmar dan orang Tamil dan Islam di Sri Lanka?

Apakah gejala patologi sosial di atas adalah buah "demokratisasi pendidikan tanpa demokrasi" yang menghasilkan kaum "terdidik (agama) yang dongol", seperti ditulis Abdul Wahab Meddeb (2002: 161); atau merupakan gelombang struktural yang tak terelakkan, sebagaimana diramalkan Samuel P Huntington? Saya sendiri meyakini adanya gelombang historis tertentu, dengan zeitgeist tersendiri. Namun, tidak berarti gelombang itu tidak bisa dilawan. Dan, satu-satunya cara meredamnya ialah melalui "penyadaran", yang hanya bisa datang dari kebijakan pendidikan yang tercerahkan.