KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga rumah susun di kawasan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, antre untuk mendapatkan bantuan air bersih, Senin (30/4/2018).  

Pada pertengahan April silam, setelah melewati pembahasan awal selama dua tahunan, DPR melalui Badan Legislasi bersepakat melalui Sidang Paripurna 1 untuk memajukan RUU tentang Sumber Daya Air untuk dapat dibahas bersama pemerintah.

RUU itu telah masuk Program Legislasi Nasional 2016 seiring pembatalan keseluruhan pasal dalam UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 18 Februari 2015. Sementara UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang jadi "pengisi kekosongan hukum" dinilai tak lagi memadai.

Niatan awal, RUU ini didasari pertimbangan pokok untuk mewujudkan hak rakyat atas air sekaligus merupakan pengaturan atas masalah air dewasa ini. Air sebagai sumber vital bagi kehidupan rakyat harus diurus untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat. Karena itu, sudah selayaknya negara memberikan fasilitasi agar kebutuhan rakyat atas air sebagai bagian dari HAM dapat dipenuhi, tidak sekadar memenuhi hak rakyat melalui perizinan yang hanya diberikan kepada badan usaha milik negara atau daerah dan entitas lainnya.

Air bersih dan air minum

Kebutuhan rakyat akan air bukan hanya air yang berasal dari alam. Rakyat berhak mendapatkan air bersih atau air minum sebagai kebutuhan pokok sehari-hari, sementara tak bisa diabaikan pula realitas bahwa negara ataupun perusahaan negara (BUMN) belum mampu menyediakan air minum dan bahkan belum dapat sepenuhnya menyediakan air bersih.

Sejauh ini kebutuhan rakyat atas air bersih dipenuhi Perusahaan Air Minum (PAM), sementara kebutuhan air minum sehari-hari bagi golongan yang mampu dipenuhi melalui air minum dalam kemasan (AMDK) produksi perusahaan swasta. Dalam setahun, total penggunaan air oleh Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) mencapai 6,4 triliun liter, sementara AMDK sekitar 27 miliar liter atau hanya 0,004 persen total air yang digunakan SPAM.

Praktik umum di dunia saat ini, pengusahaan SPAM untuk pelayanan ini diselenggarakan negara, sementara sebagian lain diselenggarakan melalui kerja sama negara dan swasta, dan hanya sebagian kecil oleh swasta. Jika negara telah menyediakan SPAM yang cukup untuk kebutuhan air bersih atau air minum untuk publik; pengalaman di negara-negara lain pengusahaan AMDK dan air yang diproses dengan berbagai tambahan pada umumnya diberikan peluang sepenuhnya diselenggarakan swasta.

Dengan demikian, pengusahaan air seharusnya dibedakan antara pengadaan air minum atau air bersih yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat melalui jaringan pipa (SPAM), dengan air untuk produksi AMDK. Pengadaan air melalui SPAM lebih merupakan kewajiban negara sehingga jika mengatur keterlibatan swasta di dalamnya adalah dalam kerangka membantu negara memenuhi kewajiban itu serta pengaturan prioritas yang tinggi untuk penggunaan SDA-nya, serta solusi atas masalah SPAM saat ini seperti misalnya masih besarnya NRW.

Adapun AMDK hanya minuman pilihan bagi masyarakat sehingga dalam penggunaan air untuk AMDK selayaknya negara tak ikut campur tangan di dalam pengusahaannya. Namun, sudah tentu negara akan menempatkan prioritas penggunaan air yang lebih rendah untuk keperluan ini dibandingkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

Lubang

Harus diingat bahwa amar putusan MK tak melarang swasta mengusahakan air. Air tak sepenuhnya public goods seperti udara karena ada bagian yang dapat disebut economy goods. Bagian economy goods ini sepenuhnya juga akan dikuasai negara.

Peran swasta di dalam pengusahaan air dibatasi hanya pada kerja sama dengan BUMN/ BUMD/BUMDes. Karena itu, adalah langkah yang baik jika kemudian DPR merevisi draf awal RUU yang semula sama sekali melarang badan usaha swasta dalam pengusahaan sumber daya air. Dalam naskah RUU telah dimungkinkan adanya pemberian izin kepada swasta di dalam pengusahaan SDA. Izin pengusahaan air tidak lagi hanya diberikan kepada BUMN/BUMD/BUMDes.

Pemberian izin kepada swasta dapat diberikan negara dengan syarat-syarat tertentu dan ketat. Ketentuan itu di antaranya bekerja sama dengan pemerintah pusat dan pemda, memberikan bank garansi sesuai volume air, menyisihkan laba 10 persen untuk konservasi energi. Namun, ketentuan itulah yang meninggalkan lubang yang justru berpotensi tak sejalan dan bahkan menjauh dari prinsip good governance.

Tak ada masalah jika ada pengaturan soal kerja sama ini karena selayaknya BUMN/BUMD sebagai representasi negara diberikan prioritas utama. Pemberian izin penggunaan sumber daya air untuk swasta dengan syarat tertentu dan ketat juga tak masalah karena sesuai amar putusan MK.

Yang menjadi masalah adalah pengaturan lebih lanjut atas ketentuan itu pada pasal-pasal pelaksanaannya. Keharusan bekerja sama dengan pemerintah jika diartikan dengan keharusan menggandeng BUMN/BUMD mengandung ketidakjelasan yang dapat menimbulkan dampak negatif dan berpeluang disalahgunakan.

Namun, syarat adanya bank garansi juga tak jelas tujuannya, juga tak jelas siapa yang memegang bank garansi. Pemerintah bukanlah badan usaha. Ketidaktaatan badan usaha swasta memenuhi kewajibannya dengan mudah dapat ditindak dengan kewenangan yang ada sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Jika kewajiban-kewajiban kepada negara atas penggunaan SDA tidak dipenuhi, berarti "bunuh diri" bagi pihak swasta karena pemerintah dapat mencabut SIPA tersebut kapan saja.

Sementara syarat keharusan menyisihkan 10 persen laba pun belum jelas karena belum ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan konservasi energi, mekanisme pungutan, ataupun penggunaannya. Kemudian, pihak mana yang akan menyelenggarakan, antara badan usaha itu sendiri ataukah pemerintah.

Program-program konservasi energi merupakan kewajiban pemerintah, dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai penjurunya melalui program pelestarian lingkungan dengan pendanaan APBN/APBD.

Pungutan kepada badan usaha seharusnya melalui mekanisme yang sudah diatur jelas di dalam UU tentang keuangan negara seperti pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), ataupun retribusi. Karena itu, jika ada kewajiban badan usaha untuk pengeluaran konservasi energi hendaknya melalui mekanisme yang telah diatur di peraturan perundangan yang ada. Tanpa itu semua, ketentuan ini hanya akan membentuk situasi yang tidak kondusif dalam good governance.

Akhirnya, niat mewujudkan hak rakyat atas air dan mengatur permasalahan air dengan menetapkan hak rakyat atas bagian dari air tentu layak diapresiasi. Sebelum palu pengesahan diketuk, tentunya materi RUU SDA sekaligus harus mampu memecahkan persoalan bahwa negara belum dapat menyediakan air bersih atau air minum untuk masyarakat dan juga tak mengesampingkan realitas bahwa ada industri yang menghasilkan air minum dan sangat dibutuhkan masyarakat.

Pengaturan ini semestinya juga mendukung pihak-pihak yang mengusahakan pemenuhan hak rakyat atas air bersih atau air minum walaupun ini menjadi prioritas berikutnya setelah pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk irigasi. Karena itu, sewajarnya juga jika ketentuan yang baru diharapkan mampu mengembangkan badan usaha swasta tumbuh secara harmonis dengan perkembangan industri maupun perekonomian.

Saat tulisan ini dibuat, pemerintah (Kementerian PUPR)  sedang memfinalkan Daftar Inventarisasi Masalah RUU SDA yang harus segera masuk ke DPR pada 23 Juli 2018, saat diselenggarakan rapat kerja dengan Menteri PUPR, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ESDM, Menteri Pertanian, dan Menteri Hukum dan HAM.