KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Kebakaran lahan terjadi di Desa Kayu Labu, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (18/7/2018). Luas lahan yang terbakar di Sumatera Selatan terus meningkat seiring sudah masuknya musim kemarau. Pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta bekerjasama untuk menanggulangi api sehingga asap tidak merebak. Hal ini dinilai perlu karena keberadaan asap bisa mengancam penyelenggaraan Asian Games di Palembang.

Setelah bebas asap sepanjang 2017, Juli ini asap mengancam lagi. Kondisi jadi krusial karena sebentar lagi Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018.

Kekhawatiran muncul karena kegiatan Asian Games dipusatkan di Jakarta dan Palembang, Sumatera Selatan, sementara titik panas juga terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Data yang dihimpun Litbang Kompas menunjukkan, titik-titik panas yang menjadi sumber asap bermunculan di Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Awal Juli terpantau 74 titik panas, padahal sepanjang Juni hanya 52 titik.

Perkembangan titik panas ini agak mengherankan mengingat kondisi cuaca sebenarnya belum cukup signifikan untuk memicu eskalasi titik panas hingga puluhan jumlahnya.

Kita tahu, salah satu pemicu titik panas adalah udara kering musim kemarau, apalagi jika diperkuat fenomena alam El Nino. Namun, menurut prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), intensitasnya masih lemah pada September 2018 dan baru menguat April 2019. Kemarau di Sumatera tahun ini juga bersifat normal karena masih ada hujan.

Sebenarnya, pemerintah telah menerbitkan peraturan pemerintah mengenai perlindungan gambut atau PP Nomor 57 Tahun 2016. Dalam PP tersebut ditetapkan moratorium alih fungsi lahan gambut. Setiap orang dilarang membuka lahan usaha baru di lahan gambut sampai zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya ditetapkan kembali. Kalau ada areal yang terbakar, lahan konsesi korporasi akan diambil alih pemerintah.

Berbagai perusahaan yang beroperasi di kawasan gambut juga diwajibkan memiliki program pengelolaan lahan gambut dan kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA). Merekalah yang menjadi ujung tombak mengenali titik panas dan memadamkannya.

Langkah antisipatif juga diterapkan. Begitu ada titik panas terpantau satelit, langsung dicek di lapangan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memetakan daerah-daerah rawan kebakaran. Dari pelbagai upaya ini, luasan kebakaran sebenarnya sudah diminimalkan. Menurut situs www.sipongi.menlhk.go.id, luas area kebakaran Januari-Juni 2018 adalah 4.666 hektar, jauh lebih sedikit dibandingkan 2015 seluas 261.060 hektar atau 14.605 hektar di tahun 2016.

Oleh karena itu, meluasnya kebakaran Juli ini agak di luar logika. Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Bisa saja para pihak lengah setelah tahun 2017 sukses tanpa asap, pelaksanaan tidak sesuai harapan, atau memang ada pihak-pihak yang sengaja memicu kebakaran. Temuan obat nyamuk yang gagal terbakar adalah salah satu buktinya (Kompas, 19/7/2018).

Mengatasi hal ini, tidak ada jalan lain kecuali mengintensifkan patroli udara dan darat, sekaligus meningkatkan kerja sama para pemangku kepentingan—terutama dengan masyarakat—karena merekalah yang paling paham kondisi hutan dan lahan.

Di sisi lain, ketegasan hukum sangat diperlukan. Hukum seberat-beratnya para pembakar lahan ini, baik perseorangan maupun perusahaan. Ini tidak sekadar menjaga agar Asian Games 2018 berjalan lancar, tetapi utamanya adalah bagaimana negara mengelola sumber daya alam dan melindungi rakyatnya.

Kompas, 20 Juli 2018