Kondisi kehidupan beragama di Indonesia masih melahirkan perlakuan diskriminasi terhadap penganut agama minoritas. Kondisi diskriminasi tersebut akan terus dialami kelompok minoritas jika Indonesia masih menggunakan model mayoritarianisme agama dalam hal pengelolaan keragaman.

Mayoritarianisme agama merupakan pengelolaan keragaman yang menggunakan pendekatan yang melanggengkan kepentingan dan aspirasi kelompok mayoritas demi harmonisasi sosial daripada pemenuhan hak dasar kelompok minoritas. Model seperti ini dapat terlihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak kelompok minoritas. Mulai dari UU Nomor 1/PNPS/1965, Surat Keputusan Bersama Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah, hingga klasifikasi agama resmi dan non-resmi.

Model mayoritarianisme agama yang selama ini diterapkan sering abai terhadap jaminan keadilan bagi penganut agama minoritas. Ahmadiyah dan Syiah menjadi barometer penting yang memperlihatkan kondisi demikian.

Ahmadiyah dan Syiah merupakan sekte di dalam agama Islam yang dianggap menyimpang dari ajaran resmi Islam. Oleh pandangan demikian, kondisi Ahmadiyah selama ini sungguh tragis karena sering mengalami persekusi. Penganut Ahmadiyah akhirnya jadi sangat rentan mengalami tindakan diskriminasi dan tidak terlindungi oleh negara.

Begitu pun kondisi penganut ajaran Syiah yang juga tidak berbeda dengan Ahmadiyah. Saat ini penganut Syiah di Sampang, Madura, merupakan warga negara yang paling merasakan sikap diskriminatif tersebut. Selama bertahun-tahun lamanya penganut ajaran Syiah yang berasal dari Sampang tinggal di pengungsian yang berada jauh dari tanah kelahiran karena lemahnya negara menjamin keselamatan warga negaranya dari ancaman kelompok mayoritas.

Konsep mayoritarianisme paling nyata diterapkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB merupakan lembaga yang dibentuk pemerintah daerah yang bertugas untuk "mengelola" proses-proses kerukunan agama di masyarakat. Kemampuan FKUB yang dapat melakukan konsolidasi antar-organisasi agama serta dialog lintas iman menjadi modal yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan agama di masyarakat.

Sayangnya, praktik selama ini yang terjadi FKUB sering tidak mampu menjalankan perannya dengan baik. Malah tak jarang FKUB justru memperkeruh situasi dengan mengeluarkan sikap pembenaran atas tindakan intoleransi yang dilakukan masyarakat.

Kelemahan utamanya ialah tidak berimbangnya jumlah representasi keterwakilan anggota FKUB yang selama ini dipraktikkan. Komposisi anggota FKUB banyak diisi oleh wakil-wakil penganut agama mayoritas. Pemilihan ketua FKUB pun lebih banyak ditempati oleh wakil penganut agama mayoritas. Komposisi seperti ini menihilkan posisi perwakilan agama minoritas dalam setiap pengambilan keputusan.

Misalnya, pada wilayah-wilayah dengan tingkat sebaran keragaman agama yang sedikit seperti Aceh, tentu kebijakan FKUB akan sangat mendukung kepentingan Islam sebagai agama mayoritas. Begitu pun pada daerah lain, semisal wilayah timur Indonesia yang bermayoritas Kristen, serta Bali yang bermayoritas Hindu. Belum lagi persoalan keterwakilan aliran sekte keagamaan seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sekte agama minoritas lain yang tidak mendapatkan ruang sama sekali.

Ancaman bagi keragaman

Model pengelolaan keragaman yang berwatak mayoritarianisme demikian mengancam keragaman agama yang dimiliki Indonesia. Hal ini karena mendorong masyarakat bereaksi secara massal ketika terjadi persoalan-persoalan agama di masyarakat. Republik ini tentu tidak ingin kembali ke masa di mana diskriminasi terhadap satu kelompok dibenarkan hanya demi sebuah kestabilan.

Negara harus paham bahwa dengan membatasi aliran agama tertentu akan menimbulkan kondisi diskriminasi. Maka, sudah sepatutnya negara mulai melepaskan diri dari pengaruh mayoritarianisme agama.

Untuk lepas dari mayoritarianisme agama dapat dilakukan dengan cara memperbaiki komposisi di FKUB. Hal ini karena besarnya peluang FKUB untuk mengelola keragaman agama di Indonesia.

Harus disadari, potensi FKUB dalam meminimalkan konflik agama sangat besar karena memiliki kuasa untuk mengatur lalu lintas hubungan antar-umat beragama di tingkat daerah. Demi menghadirkan kondisi demikian, FKUB perlu melakukan revisi aturan komposisi keanggotaannya. Representasi FKUB harus lebih berimbang dan adil.

Selama ini komposisi FKUB terlalu gemuk, yakni dengan jumlah anggota 21 orang untuk tingkat provinsi dan 17 orang untuk tingkat kabupaten/kota. Jika dibandingkan dengan representasi menurut agama, maka jumlah anggota akan tidak seimbang.

Belum lagi kondisi yang sering tampak dalam komposisi FKUB ialah banyaknya anggota yang memiliki afiliasi aliran agama yang sama. Sementara di sisi lain aliran agama yang minoritas tidak mendapatkan ruang hanya karena jumlah penganutnya sedikit. Akan lebih baik jika anggota FKUB dibatasi hanya satu orang untuk satu afiliasi aliran agama. Keanggotaan di FKUB juga tidak berdasarkan besarnya jumlah penganut agama, tetapi berdasarkan pada keberadaan penganut agama di daerah tersebut.

Hal yang selanjutnya perlu juga dilakukan ialah menghapus regulasi yang melanggengkan cara berpikir mayoritarianisme. Regulasi dimaksud ialah UU No 1/PNPS/1965 yang sangat mudah menjerat paham aliran yang dianggap menyimpang hanya karena berbeda dengan pandangan beragama mayoritas. Surat Keputusan Bersama Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah yang mengatur persoalan kuantitas dalam pemberian hak beragama daripada kualitas juga perlu kaji ulang keberadaannya. Selain itu, mestinya tidak ada lagi dikotomi agama resmi dan agama non-resmi dalam pemberian layanan bagi warga negara.