MUKHAMAD KURNIAWAN

Pekerja tengah mencampur beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (4/1/2018).  

Kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras memasuki bulan ke-10. Namun, sejak berlaku 1 September 2017, beleid itu belum efektif. Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, dalam kurun waktu itu harga terendah beras medium Rp 11.250/kg, lebih tinggi daripada patokan HET (antara Rp 9.450/kg dan Rp 10.250/kg). Hampir bisa dipastikan, saat musim gadu (Juni-September) dan paceklik (Oktober-Januari 2019) harga beras medium di pasaran akan lebih tinggi lagi karena pasokan gabah/beras rendah.

Karena itu, jadi pertanyaan besar: bagaimana nasib beleid HET beras ketika Kementerian Perdagangan menurunkan patokan HET beras medium jadi Rp 8.900/kg? Pemerintah berdalih HET perlu ditekan lagi agar daya beli warga terjaga dan rantai pasok terpangkas.

Beberapa pertimbangan

Rencana penurunan HET diklaim telah diputuskan dalam rapat di level Kemenko Perekonomian. Regulasinya pun segera terbit. Belakangan pemerintah memutuskan menunda rencana ini. Kabar ini menerbitkan pertanyaan: perlukah (menekan) HET beras? Ada segepok alasan buat menimbang ulang, bahkan mempertanyakan HET beras.

Pertama, kerugian petani. HET beras membuat petani enggan berinovasi dan memproduksi padi berkualitas. HET tidak mengakomodasi dan membuka peluang petani untuk mendapatkan nilai lebih dari inovasi yang dilakukan. HET memaksa pedagang dan penggilingan padi memperlakukan sama para petani yang memproduksi padi berkualitas dengan yang tidak. HET beras medium dan beras premium (antara Rp 12.800/kg hingga Rp 13.600/kg) telah membatasi potensi keuntungan petani dari nilai lebih yang dilakukan.

Jika demikian, lalu apa gunanya subsidi pupuk Rp 31,2 triliun dan subsidi benih Rp 1,3 triliun apabila inovasi petani tak dihargai? Berbeda halnya jika HET mengakomodasi penciptaan nilai tambah beras dalam bentuk tidak ada pengaturan HET beras premium. Nilai tambah itu pasti akan membawa spill over ke petani dalam bentuk harga beli gabah lebih tinggi. Cara ini berpeluang menggerus keuntungan para tengkulak dan pengijon.

Kedua, HET berpotensi merugikan pelaku usaha. Mematok HET tunggal sepanjang tahun memang ideal. Bagi pemerintah, ini memudahkan pengawasan. Namun, bagi pelaku usaha, beleid itu memaksa mereka menekan drastis margin pemasaran. Aturan anti-profiteering ini berangkat dari keyakinan: margin keuntungan pelaku pemasaran beras terlalu besar. Ia jadi masalah karena pengurangan margin bukan dari peningkatan efisiensi kegiatan pemasaran, terutama pengeringan, transportasi, penggilingan, dan biaya modal.

Selain itu, keyakinan bahwa margin keuntungan pelaku pemasaran beras terlalu besar tidak benar. Rentang 2015-2016, margin perdagangan dan pengangkutan beras 10,49% alias amat efisien dan kompetitif. Namun, sejak ada beleid HET dan Satgas Pangan dibentuk dan masif masuk ke pasar, margin perdagangan dan pengangkutan beras meningkat jadi 26,12%. Padahal, mata rantai distribusi beras kian pendek: dari lima jadi empat pelaku (BPS, 2018). Ini menunjukkan rantai pasok yang pendek tak menjamin jalur distribusi makin efisien.

Ketiga, perbedaan HET beras antarwilayah (produsen dan konsumen) yang hanya mempertimbangkan ongkos angkut juga tidak adil. Sebab, biaya pemasaran beras juga dipengaruhi harga/kualitas GKP (gabah kering panen), biaya pengeringan dan penggilingan, biaya distribusi, dan modal kerja yang berbeda satu tempat dengan lainnya. HET yang dipatok sama sepanjang tahun juga menutup celah insentif perdagangan beras antarmusim, antarwilayah, dan antarpulau.

Keempat, kematian dini penggilingan padi. HET membuat risiko bisnis beras dan usaha penggilingan padi kian tinggi. Agar bisa menjual beras medium Rp 9.450/kg, harga gabah maksimal Rp 4.000/kg. Padahal, di pasar harga lebih tinggi. Tak ingin menanggung risiko terkena sanksi karena menjual beras di atas HET, penggilingan padi, terutama berskala kecil, berhenti giling. Hanya sepertiga dari 53 penggilingan padi di Karangsinom, Indramayu, yang beroperasi sejak ada beleid HET. Sisanya mati suri. Dengan 15-50 pekerja per pabrik, ratusan kuli di Indramayu menganggur. Daerah lain bernasib sama. Padahal, penggilingan padi kecil mencapai 169.044 (92,8%) dari 182.000 unit

Kelima, peta persaingan usaha beras bakal berubah. Dampak HET beras terhadap penggilingan padi berbeda-beda, bergantung jenis penggilingan. Dampak juga bergantung pada tipe bisnisnya. Ada dua tipe bisnis penggilingan padi: penjual jasa giling gabah, dan sebagai produsen dan pedagang beras. Menurut Persatuan Penggilingan Padi Indonesia (2016), 41% (75.400 unit) adalah penjual jasa giling. Bisnis ini ditekuni penggilingan padi kecil, dan bahkan sekitar 14% di antaranya adalah penggilingan padi kecil keliling.

Karena menjual jasa giling, penggilingan padi kecil dan penggilingan keliling ini tak terpengaruh tinggi-rendahnya harga gabah di pasar. Juga tak terdampak beleid HET. Sebaliknya, HET beras memaksa penggilingan padi sebagai produsen dan pedagang beras yang berjumlah 106.800 unit (59%) untuk menekan biaya pemasaran. Penggilingan padi kecil dan skala menengah yang menekuni bisnis ini diperkirakan bakal tersingkir dari peta persaingan. Jika itu terjadi, penggilingan besar yang hanya 2.075 buah (1,1%) bakal menguasai pasar. Pasar beras mudah bergejolak.

Keenam, bukan HET, tetapi pemerintah perlu memperbesar cadangan beras. Menjadi masalah karena cadangan beras pemerintah (CBP) hanya berjenis medium. Selain jumlahnya kecil, hanya 0,35 juta ton atau setara tiga hari kebutuhan, efektivitas CBP kualitas medium sebagai instrumen stabilisasi amat rendah. Karena itu, CBP harus diperbesar jadi 1,5 juta–2 juta ton. Ini sebagian diisi beras premium. Selain operasi pasar, CBP bisa dipakai buat beragam program: food for work, ekspor, program antikemiskinan, dan bantuan internasional.

Fokus pada kaum miskin

Ketujuh, perlukah mengatur HET beras premium? Beras, seperti komoditas lain, dapat diproses lebih lanjut guna memperoleh nilai tambah. Proses itu butuh investasi, teknologi, dan tenaga, yang ujung-ujungnya memperbesar ongkos produksi. Karena itu, harga jualnya lebih mahal. Segmen yang dibidik pengolah beras premium adalah warga berduit. Segmen ini rela merogoh dalam-dalam sakunya apabila ada produsen yang mampu mengolah beras sehingga mengandung antioksidan, cocok buat penderita diabetes, dan jadi obat awet muda. Mengapa negara mesti sibuk mengurus konsumen tajir yang tak terkendala daya beli? Bukankah mereka membeli nilai tambah dan eksklusivitas?

UUD 1945 mengamanatkan negara untuk menyantuni kaum fakir-miskin dan anak telantar (Pasal 34, Ayat 1) agar beroleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27, Ayat 2), bukan mengurus gaya hidup kaum tajir? Itu tugas negara, bukan tugas swasta. HET dibuat agar harga beras terjangkau oleh rata-rata daya beli masyarakat. Kalau konsisten dengan latar itu, konsumen yang hendak disasar sudah jelas: kaum miskin. Karena itu, HET seharusnya hanya mengatur jenis beras medium untuk segmen warga kebanyakan, bukan konsumen tajir.

Di luar itu, menjadikan HET sebagai pengendali harga beras membuat pemerintah kehilangan instrumen alarming. Sejatinya HET merupakan instrumen pemerintah, bukan peranti untuk mengatur pelaku usaha. HET adalah batas harga perlu-tidaknya pemerintah melakukan intervensi di pasar. Ketika harga melampaui persentase tertentu dari HET, ini sinyal bagi pemerintah turun ke pasar buat intervensi. Salah satunya menggelar operasi pasar. Ketika HET sebagai alat pengendali dan bukan alarm, pemerintah telah kehilangan peranti penting itu.